Minggu, 03 Agustus 2014

Ahad, 03 Agustus 2014



Cerpen: Anam Khoirul Anam
Negeri Para Penyamun


LELAKI bertubuh tambun itu luruh ke lantai setelah tiga butir peluru bersarang ke dalam tubuhnya. Ia ambruk dengan kedua tangan terikat tali di belakang. Mulutnya masih dililit sehelai kain putih berlumuran darah dari bibir dan juga mulutnya akibat bogem popor senjata laras panjang. Ia disiksa sebelum darahnya muncrat ketika butir peluru menghujam dada sebelah kiri, lalu disusul dua peluru di bahu dan lengan kirinya. Ia mengerang bercampur desis menahan rasa sakit tak terikira. Tersengal-sengal. Bersimbah darah. Darah itu menggenang, menelusur pada garis-garis lantai dan menyisakan bercak-bercak merah saga. Ia pun gagal mengucapkan patah kata terakhir sekalipun sebatas isyarat sebab nyawanya lebih dulu meregang dari jasad. Ia telah sampai pada ajalnya.
“Ia sudah mati?” tanya Habail pada rekannya. Tergesa ia pegang tubuh lelaki tambun itu lalu mengarahkan telapak tangannya ke arah hidung untuk memastikan apakah masih ada embus nafas atau tidak. Tak ada lagi nafas mengembus. Tak terdengar detak jantung atau tubuh gemetar. Tubuh itu dingin.
Sementara penembak itu masih berdiri mematung dengan tangan gemetar setelah melesakkan tiga butir peluru hingga menewaskan seseorang yang sama sekali tak dikenalinya. Ia telah menghabisi nyawa seseorang dalam hitungan menit. Ini adalah kali pertama ia menjadi seorang pembunuh. “Entahlah?” hanya kata-kata itu yang keluar dari mulutnya sebagai jawaban. Ia masih tak percaya dengan apa yang telah dilakukan beberapa menit lalu. Mulanya, ia benar-benar ragu, namun karena terdesak, ia pun menarik pelatuk pistol tersebut hingga melahirkan bunyi desing bercampur suara ledakan peluru yang keluar dari moncong pistol tersebut. Saking tak percaya pada apa yang baru saja terjadi, ia masih berdiri kaku seperti posisi orang yang sedang melakukan gerakan kuda-kuda dalam ilmu persilatan. Kedua tangannya masih mengacung ke depan sembari memegang pistol begitu kuat. Ia merasakan aliran darahnya mengalir deras. Ada desir mengalir sampai ubun-ubun.
“Ia sudah mati. Ini bayaranmu!” kata Pak Bos yang duduk di atas kursi goyang. Asap putih mengepul dari mulutnya. Sebatang cerutu baru seperempat ia hisap. Ia ambil beberapa ikat uang dari koper. Ia lemparkan beberapa ikat uang itu pada pembunuh bayaran yang duduk di sampingnya. “Pergilah! Ingat, jangan sampai hal ini diketahui orang banyak. Tutup mulutmu! Jika tidak, aku habisi hidupmu, bahkan jika perlu seluruh keluargamu sekaligus. Jangan berbuat macam-macam, sebab aku punya ‘kaki-tangan’ yang akan memata-matai gerak-gerikmu di luar sana. Jika aku membutuhkanmu, akan kuhubungi nanti. Tak perlu takut. Apa yang kamu lakukan ini takkan dilaporkan ke pihak berwajib. Ini urusanku dan tanggungjawabku. Urusanmu sudah selesai sampai di sini. Silakan pergi dan bawa upahmu!”
Ia mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Ia pergi berlalu dari hadapan Pak Bos dan juga anak buahnya. Ya, ia masih pemula jadi pembunuh bayaran. Ia masih amatir. Ini adalah kali pertama baginya, dan hal itu ia lakukan karena terpaksa.
Ia hitung uang itu. Uang itu lebih dari cukup untuk dijadikan tebusan, bahkan cukup untuk melunasi utang-utangnya.
Sama sekali tak ada niat baginya menjadi seorang pembunuh, namun karena desakan hidup yang datang bertubi-tubi, didukung dengan situasi dan kondisi yang cukup mendesak, ia pun memilih jalan pintas. Memang masih ada pilihan lain selain menjadi seorang pembunuh. Masih ada pekerjaan lain selain membunuh. Namun waktu tak bisa menunggu. Ia butuh uang secara cepat. Segera dan sesegera mungkin. Esok ia harus membayar tebusan Rumah Sakit jika ingin anak istrinya pulang ke rumah. Ia tak ingin berlama-lama berurusan dengan instansi tertentu, terlebih jika hal itu ada kaitan dengan keuangan. Bukankah semakin lama istri dan anaknya ditahan di dalamnya, maka akan semakin banyak biaya yang dikeluarkan untuk menebusnya? Ia memang masih memiliki orang tua, sanak saudara, atau teman yang mungkin bisa dipinjami uangnya. Namun tidak! Ia tak mau melakukan itu lagi. Ia trauma dengan urusan pinjam meminjam. Ia pernah dipermalukan bahkan diremehkan oleh orangtuanya sendiri karena pinjam uang pada adiknya sendiri, “Kerjamu selama ini hasilnya apa? Bertahun-tahun kerja tak kelihatan hasilnya. Lihat adikmu! Dia sekarang sudah punya rumah. Sudah punya mobil. Dan sebentar lagi akan membuka cabang usahanya di berbagai kota.” Kata-kata itu benar-benar menyulut kepedihan dalam hatinya. Ia tahan rasa sakit dalam dadanya. Ia mencoba bersabar atas sikap yang selama ini ditunjukkan padanya. Selama ini ia selalu mengalah. Selalu saja ia dibanding-bandingkan dengan orang lain, terutama dengan adiknya. Ia tak terima, tapi tak dapat mengelak untuk menerima. Rasa sakit yang ia pendam dan redam tak berhenti sampai di situ. Adik kandung yang ia kira tulus membantu justru melontarkan kata-kata yang juga tak kalah menyakitkan, “Aku malu pada suamiku. Sudah berapa tahun uang itu tak segera dikembalikan. Kalau memang sudah punya uang, segeralah kembalikan, jangan hanya diam seeneknya sendiri. Kerja bertahun-tahun tak jelas hasilnya. Memangnya uang hasil kerjamu untuk apa?” Ya, kata-kata itu dilontarkan adiknya setahun setelah ia diremehkan oleh sebagian besar keluarganya sendiri. Ia dipandang oleh sebagian keluarganya terlalu merepotkan dan hanya bisa menyusahkan keluarga. Berawal dari itulah ia merasa tak perlu lagi berbagi beban hidup dengan keluarganya. Berawal dari itu pula ia berusaha menyelesaikan masalah-masalah hidupnya sendiri. Sayangnya, meski sudah berupaya hidup mandiri, tanpa mengharap belas kasih dari keluarganya, tetap saja ia masih diremehkan.
Akhirnya, pada satu titik tertentu, ketika dirinya dihadapkan pada persoalan pelik dan sangat mendesak, ia pun memilih tawaran menjadi seorang pembunuh bayaran dari seseorang yang baru saja ia kenal. Perkenalan itu terjadi begitu cepat. Awal mulanya pada suatu hari ia menulis di akun jejaring sosial pribadinya. “Aku butuh pekerjaan. Aku butuh uang cepat untuk operasi persalinan istirku.” Begitu ia menulis. Lalu ada beberapa orang mengomentari dan ada beberapa orang menawari pekerjaan. Ada yang menawari menjadi angen penjual produk tertentu. Ada yang menawari kerja di pabrik, dan lain sebagainya. Namun setelah dipikir-pikir pekerjaan yang ditawarkan membutuhkan waktu cukup lama untuk bisa menghasilkan uang banyak secara cepat dan singkat. Ia harus menebus biaya operasi persalinan istrinya dalam waktu dekat. Menghasilkan uang sepuluh juta dalam sehari tentu bukan perkara mudah. Di lain sisi, ia tak punya jaminan untuk berutang ke Bank atau ke pihak lainnya. Tak ada barang yang bisa ia gadaikan. Satu-satunya sepeda motor yang ia pergunakan untuk kerja pun jika dijual takkan cukup untuk tebusan. Pinjam pada teman-temannya belum tentu ada dan sudi meminjami. Tentunya, ia tak ingin pinjam lagi pada saudaranya, pasalnya pinjaman yang pertama belum ia bayar hingga kini, padahal adiknya sudah berulangkali menagih. Selain merasa malu, ia juga merasa dipermalukan. “Saudara itu orangnya, tapi tidak untuk uangnya.” Begitu kata salah satu rekannya, dan memang benar bahwa saudara itu hanya orangnya, tapi bukan untuk harta bendanya.
Ya, ditengah-tengah situasi yang kalut semacam itu tak ada pilihan lain selain mencari cara dan jalan lain agar anak istirnya bisa segera keluar dari Rumah Sakit. Beberapa hari kemudian, ada seseorang menelepon. Nomor baru dan tentunya ia tak tahu ataupun mengenalnya. Setelah berbicara panjang lebar lelaki itu menawari pekerjaan padanya.
Saya ada pekerjaan dan kemungkinan besar akan lebih cepat membantu menyelesaikan masalah yang sedang Anda hadapi,” begitu kata lelaki di seberang sana dengan suara agak serak.
“Pekerjaan apa itu?”
Kita ketemu saja. Nanti saya jelaskan tentang pekerjaan ini.”
Awalnya ia ragu, namun mengingat waktu yang terus bergulir dan ia tak ingin berlama-lama tenggelam dalam masalah, akhirnya ia menemui penelepon tersebut. Dan pada akhirnya dari pekerjaan itu pula ia berhasil membawa uang tebusan sekali pun dengan cara yang salah besar.
Entahlah? Hanya itu yang ada dalam pikirannya. Mendapat uang sebagai tebusan biaya persalinan.
Ia tak tahu apakah menjadi anak durhaka atau tidak. Pasalnya, ia tak memberi kabar pada orangtuanya perihal kelahiran anaknya itu. Ia sudah terlanjur sakit hati atas sikap dan perilaku yang ditunjukkan serta diberikan padanya selama ini. Akibat rasa sakit hati yang ia rasakan, lebih dari sepuluh tahun ia tak pulang kampung, bahkan nyaris tak memberi kabar. Ia merasa lebih aman dan nyaman ketika jauh dari keluarganya. Selalu saja ada hal-hal menyakitkan ketika berkumpul dengan keluarganya. Keluarganya terlalu cerewet, suka ikut campur, dan terlalu dalam mengorek urusan pribadi, bahkan kalau perlu ia pakai celana dalam pun akan ditanyakan darimana asalnya atau dengan uang siapa membelinya. Hal itu benar-benar sudah kelewat batas baginya. Jangan salahkan jika pada akhirnya ia memutuskan angkat kaki dari rumah untuk meredam rasa sakit hatinya. Lebih baik menjauh daripada dekat akan tetapi justru tak mendapat perlakuan secara semestinya. Justru setelah ia berada jauh dari keluarganya membuat dirinya lebih mandiri dan merasa tak diintimidasi oleh keluarga sendiri. Jika harus bertanya pada hati nuraninya, tentu ia tak ingin berbuat atau bersikap demikian terhadap keluarga, terutama orangtuanya. “Apa salah dan dosaku hingga aku diperlakukan seperti ini? Bukankah aku anaknya, bukankah aku juga keluarganya, darah dagingnya? Mengapa aku selalu saja diperlakukan sedemikian menyakitkan?” batinnya.

***
ENTAH iblis mana yang berhasil menghasut dirinya sampai-sampai ia memilih menjadi pembunuh bayaran daripada menjadi pekerja atau pengusaha lainnya. Ia berpikir itu adalah cara tercepat untuk menunjukkan kemampuan di hadapan keluarganya. Ia ingin sesegera mungkin mengobati rasa sakit hatinya. Ia sudah tak tahan mendengar cibiran, kata-kata nyinyir, bahkan sikap merendahkan yang ditunjukkan padanya. Selain keterlaluan dan sangat berlebihan, tak sepantasnya orang tua berbuat demikian pada anaknya. Sebuas-buasnya harimau, ia masih melindungi anaknya dari malabahaya. Jujur, ia tak ingin balas dendam, ia hanya ingin mengakhiri rasa sakit di dadanya yang sudah sejak sekian lama ditahan. Ia paham betul bagaimana sifat atau watak orangtuanya, mereka hanya ingin bukti bukan sekedar omong kosong belaka.
Ia kembali menghubungi Pak Bos dan menyatakan diri untuk ikut kerja bersamanya. Tanpa menuai kendala, ia pun dinyatakan telah bergabung dalam komplotan pembunuh bayaran alias menjadi anak buah Pak Bos. Awalnya canggung, lambat laun tak hanya jadi amatir melainkan sangat profesional. Dari pekerjaan itu, ia mendapatkan bayaran cukup besar. Pekerjaan itu tentu menjadi rahasia dirinya. Istrinya tak tahu, apa lagi keluarganya. Istrinya hanya tahu kalau tiap pagi ia pergi kerja ke kantor walau kadang pulang tak pasti, bahkan tak pulang selama beberapa hari.
Tak ayal dari usahanya itu ia bisa membeli rumah, membeli mobil, dan apa saja yang diinginkan. Perubahan itu pun berdampak pada sikap kedua orangtuanya. Mereka berubah pikiran, semula mencibir sekarang berubah pandangan dan anggapan bahwa anaknya sudah tajir. Dulu dianggap kere karena tinggal di kontrakan, sekarang tinggal di rumah gedongan. Dulu dengan nada sinis, sekarang bertutur kata manis. Padahal mereka tak tahu jika anak yang sekarang disanjungpuji adalah seorang pembunuh bayaran.
Tahun 1998 ia terlibat dalam aksi perampokan. Karena sudah dilatih dan terlatih ia pun dengan mulus membobol Bank. Merampok toko. Menjarah pusat perbelanjaan, dan beragam modus kejahatan lainnya. Dari pembunuhan secara manis sampai dengan pembunuhan secara sadis telah dilakukannya. Dari menggunakan alat sederhana yang tumpul sampai menggunakan alat paling tajam dan mengadung racun berbahaya. Dari senjata api sampai setrum berteganggan tinggi. Semua sudah ia lakukan. Perilaku keji itu pun dipuji oleh Pak Bos yang menjuluki dirinya pembunuh paling kejam di dunia. Sang Predator. Semua ia lakukan secara rapi dan nyaris tanpa gagal. Ya, karena selalu berhasil, sampai detik itu namanya masih bersih di mata istirnya maupun keluarga besarnya. Ia begitu cerdik dan pandai menyimpan rahasia. Dari usaha yang selama ini sudah dilakukan, ia melihat kebahagiaan di wajah-wajah keluarganya, namun ada rasa pilu bercampur sakit kian kelu di dadanya. Ia menelan senyum asam yang kemudian berubah getir dan pahit. Ia tak mampu mendustai rasa pilu yang menohok dadanya.

***
BARANGKALI Tuhan tidak ingin membiarkan kejahatan terlalu lama merajalela di muka bumi. Tentunya, Alam juga tidak ingin berlama-lama memutuskan ketetapan hukumnya. Kejahatan apapun pasti akan menuai hasilnya. Kejahatan apapun akan sampai pada ujungnya. Bangkai yang terlalu lama ditimbun pasti akan tercium pula bau busuknya.
Suatu hari ia lupa menaruh pistolnya di tempat biasa; tempat di mana ia biasa menyembunyikan benda berbahaya itu dari jangkauan siapapun. Kecerobohan dan keteledoran itu merupakan awal tersingkapnya tabir rahasia yang sudah ia tutupi selama kurang lebih dua puluh tahun. Lebih mengejutkan lagi, senjata itu ditemukan oleh anak ragilnya yang baru berumur 3 tahun. Pistol itu pun dibuat mainan. Mungkin karena terinspirasi dari film laga dari manca negara dan juga banyaknya mainan serupa, anak itu menarik pelatuk pistol revolver tersebut seperti ketika ia sedang memainkan senjata mainannya. Dor…..bunyi itu pecah dalam ruangan. Bunyi itu bergema. Biji peluru itu memantul dari tembok dan bersarang di kepala ayahnya yang sedang menonton televise. Meildar Saah—si pembunuh bayaran terkeji se-dunia, si Predator, tewas seketika di atas kursi sofa. Dan sore itu adalah akhir cerita bagi sang Predator yang ternyata sudah menjadi Daftar Pencarian Orang (DPO) dari Dalam Negeri maupun dari Luar Negeri.
Tak ayal jika Meildar Saah yang dikenal baik, pendiam, dan suka menolong atau memberi itu adalah seorang pembunuh bayaran kelas kakap. Siapa nyana di balik penampilannya yang ramah itu ada rahasia besar disembunyikan. Bermula dari senjata yang kali pertama ia pergunakan untuk membunuh—dan kini menjadi senjata makan tuan—adalah awal penyidikan demi penyidikan dari pihak Kepolisian. Perlahan, dari hasil investigasi membuahkan hasil yang menyatakan bahwa Meildar Saah telah terlibat dalam banyak kasus pembunuhan, perampokan, dan aksi kejahatan lainnya. Tak hanya secara organisir tapi juga dilakukan di berbagai tempat, bahkan hampir ke berbagai belahan dunia. Satu kejahatan yang tak pernah dilakukannya adalah kejahatan seksual. Selama menjadi pembunuh bayaran ia pantang melakukan tindak kejahatan seksual. Padahal jika ia mau melakukannya, bukan merupakan sesuatu hal mustahil baginya. Tapi tidak! Ia tidak mau melakukan hal itu. Apa alasannya, tentu Meildar Saah yang lebih mengetahui. Barangkali ia tak ingin menghianati istirnya. Ia hanya jahat secara perilaku, tapi dalam hal cinta ia tak ingin menjadi penjahat ataupun penghianat.
Berawal dari kematian Meildar Saah itu pula terungkap jaringan-jaringan yang pernah terlibat di dalamnya. Sayangnya, proses pengusutan itu berhenti sampai di tengah, tak sampai puncak atau sampai ke akar-akarnya. Sama sekali tak tuntas. Investigasi itu tak sampai menyentuh wilayah kekuasaan Pak Bos yang telah membawa perjalanan Meildar Saah menjadi seorang pembunuh bayaran.
Kabar kematian Meildar Saah dengan begitu cepat menyebar ke seantero jagat. Tak hanya secara nasional, berita kematiannya juga tersiar sampai media internasional. Kabar berita kematiannya disiarkan oleh seluruh stasiun televisi lokal, nasional, dan juga internasional. Menjadi tajuk utama pemberitaan media massa. Menjadi topik pemberitaan di halaman paling depan dan paling atas. Menjadi perbincangan hangat di berbagai media-media lainnya. Apa yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang selama ini, pelan tapi pasti, satu demi satu, tindak kejahatan yang dilakukannya mulai terbongkar.
Apa yang perlu disesali dari kejadian itu? Mungkin hanya kekecewaan yang tersisa di hati keluarga Meildar Saah. Kalau pun ingin marah, rasanya juga percuma. Semua sudah terlanjur terjadi. Ikhlas? Mungkin bisa, tapi berat. Mungkin itu pula alasan Meildar Saah selalu tutup mulut jika ditanya perihal pekerjaannya lebih jauh atau lebih mendalam. Selain karena tak ingin diketahui, ia juga tak ingin keluarganya terlibat dalam kasus hukumnya. Bukankah ketika orang lain atau keluarganya tahu justru akan menyeret keluarganya ke dalam masalah pribadinya, dan tentunya jika ia bercerita pada keluarganya pasti akan dijadikan sebagai saksi atas tindak kejahatannya? Bukankah dengan ia bersikap diam tidak akan ada yang dijadikan saksi, sekali pun tetap saja akan menjadi saksi. Tutup mulut merupakan cara efektif baginya. Setidaknya cara itu tidak akan memberatkan keluarganya lebih jauh. Ia tak ingin keluarganya lantas menderita setelah semua keburukan yang ia simpan terkuak. Mungkin ia benar, tapi tetap saja keliru. Bisa saja setelah meninggal tidak akan terkena sangsi hukum, tapi tidak untuk hukum lainnya, termasuk cacat yang akan ia tinggalkan pada keluarganya. Bisa saja selepas kematiannya keluarga yang ditinggalkan akan divonis sebagai keluarga pembunuh, atau tuduhan-tuduhan lainnya. Mungkin anaknya akan diejek teman sebayanya sebagai anak dari seorang pembunuh. Atau mungkin tuduhan-tuduhan lain yang justru lebih berat dari apa yang ia pikirkan. Ia mungkin bisa menghidari hukum dan hukuman, tapi tidak untuk mereka yang ditinggalkan. Mungkin ia pandai, tapi bisa jadi ia adalah orang bodoh yang gegabah dalam bersikap. Ia adalah tupai yang jatuh di tempat yang salah.[] 

Minggu, 06 Juli 2014

Ahad, 06 Juli 2014


Puisi-puisi: Ekohm Abiyasa


Percakapan Sunyi 1

aku sampai
pada bab yang melelahkan ini
semua seperti mimpi kosong
mimpi siang bolong

terbungkam pada sunyi
di beranda gelap sekali
kehilangan cahaya
di mana peta itu Kau simpan, Tuhan?
Desember 2012

Percakapan Sunyi 2

seharusnya aku
berdiri sendiri layaknya karang
ombak besar di pantai membungkam tubuh

seharusnya memang
berdiri sendiri
mendengus hujan di kamar mimpi
Jakal KM 14 Yogyakarta, September 2012

Percakapan Sunyi 3

o, mengapa Tuhan menciptakan aku di sini
mengapa tidak di surga saja
atau di mana saja selain bumi

o, mengapa hidup begini
udara mengalir menusuk
sekian sakitnya
aku mohon, jangan hidupkan aku lagi

aku lelah
berpura-pura begini
Jakal KM 14 Yogyakarta, Oktober 2012

Percakapan Sunyi 4

menyusun kata
terlalu gagap bicara
menyulam memori dan ingatan
beberapa kata saja

malam pertigaan kabut menebal
angin gontai
melambatkan harapan-harapan
kadang tenggelam
begitu saja; tanpa desis

terdiam
sedemikian rapi huruf-huruf tercetak
Karanganyar, November 2007


Ekohm Abiyasa: Lahir tahun 1987 di Karanganyar, Jawa Tengah. Penikmat sastra terutama puisi. Karya-karyanya dipublikasikan di Indopos, Solopos, Joglosemar, Suara Merdeka, Minggu Pagi, Koran Merapi, Kendari Pos, Frasa, Buletin Sastra Pawon dan lain-lain.

Puisi-puisinya termaktub dalam antologi puisi bersama: Requiem Bagi Rocker (2012), Wuyung Ketundhung (2012), Satu Kata: Istimewa (2012), Dari Sragen Memandang Indonesia (2012), Indonesia dalam Titik 13 (2013), Merawat Ingatan Rahim (2013), Puisi Menolak Korupsi (2013), Dari Dam Sengon ke Jembatan Panengel (2013), Habis Gelap Terbitlah Sajak (2013).


ESAI

Puisi, Penyair, dan Pelbagai Hambatannya

Oleh Alex R. Nainggolan

PUISI terkadang gagal menemukan bentuknya di hadapan publik pembaca. Terutama dengan keseriusan para penyair untuk merajut makna yang dianggap aneh, bertolak belakang, atau mungkin tak dipahami oleh pembacanya. Maka kita hanya dihadapkan pada sebuah asal-mula, yakni proses terbentuknya puisi itu sendiri. Sebagai sebuah nalar yang melingkar, puisi menjadi niscaya mengambil bagian sebuah publik untuk intim, sekaligus menyeluruh, dengan tidak ingkar pada lingkungan sekitar.

Persoalan yang banyak ditemui ialah kedalaman makna, di mana sejumlah diksi gagal membangkitkan aura, sehingga acapkali ditemui bentuk puisi yang datar, tak lagi mengejutkan, atau imajinasi yang terkesan biasa saja. Tentu ini persoalan mendasar bagi seorang penyair. Setiap penyair percaya, sebuah makna kata memerlukan kerja yang serius, bermain-main, atau tapak hari—jauh sebelum puisi itu dibentuk. Dan, apa yang ditulis H.B. Jassin beberapa tahun lampau, nampaknya masih pantas dijadikan sebuah rujukan, jika kita tak pernah tahu apa maksud si penyair dalam puisinya, maka masukilah bagaimana keseharian seorang penyair. Bagaimana ia mesti berkelahi dengan sejumlah kalimat, mencoret-coret sketsa, sebelum puisi itu dilempar dan menemui publiknya.

Sebagai suatu bentuk lingua yang lumayan tua, puisi memang harus menjaga semua komponennya. Dalam bahasa Hasif Amini, ibarat sejumlah mekanik yang membutuhkan tenaga dari luar (arus) listrik untuk membangkitkannya. Dengan demikian, puisi akan bersimpuh, kemudian menggeletar di antara aura bunyi lainnya. Sebab lingkar pikir manusia terkadang selalu membelenggu. Yang membuat kita membatasi gerak, sehingga imajinasi yang tertuang dalam sejumlah diksi berhenti, setelah kita selesai membacanya.

Seorang penyair pernah berucap kepada saya, puisi yang baik itu, yang tetap berdenyar sepanjang masa. Di mana seluruh rangkuman jejak tertinggal di sana. Kata-kata penuh pukau, memotret seluruh unsur depan sadar manusia. Getarannya membangunkan semua ketertinggalan kita.

Wah, kalau sudah begitu, saya kira puisi merupakan sebuah benda yang hebat. Memanarkan sejumlah aura, setiap kelindan di dalamnya terbungkus jadi satu. Sebuah tumpangan kalimat yang memaksa kita mengembara ke negeri-negeri yang tak “bernama”. Imajinasi mungkin sebuah formula ajaib, untuk itu seorang penyair harus rajin-rajin mengasah kepekaannya. Mengamati kehidupan, mendengarkan apa yang dirisaukan, menanam gelisah, menjemput seluruh kenangan yang pernah tinggal di kepalanya.

Puisi merupakan percikan yang sederhana, rumit, dan gampang.  Pengalaman “berkelahi”dengan kata itu yang makin membuncahkan nurani dalam teks sebuah puisi. Simak dalam sajak Goenawan Mohammad “Kwatrin Pada sebuah Poci”—sebuah konsep dasar puisi (seni, pada umumnya) yang pernah dibedah A. Teeuw dalam catatan akhir kumpulan Asmaradana. Pun usaha keras dari Joko Pinurbo dalam sajak “Koma”, “Pelajaran Menulis Puisi” di kumpulan Telepon Genggam. Sebagaimana belantara, kita pun memasuki puisi yang ditulis para penyair. Menyibak setiap ruas, sudut, jenis diksi, bertamsya dengan penuh debar. Sesekali ditemui banyak elegi yang muncul tak berkesudahan. Tapi di kali lain, kita bersua pula dengan kenyataan-kenyataan yang beku, meskipun tetap menyenangkan.

Puisi seakan membaurkan semua sisi-sisi kehidupan, yang paling hitam, putih, mungkin pula abu-abu. Tantangan para penyair ialah bagaimana menelurkan sebuah realitas ide itu menjadi ayam. Hal yang sama pula terjadi dalam pola pemikiran Plato, tentang sebuah konsep dunia ide, yang pernah ditulisnya. Jika dunia ide, tak pernah habis, akan terus ada.

Jarak Aman
SEMUA penulis, percaya setiap kali menuliskan sesuatu memerlukan jarak yang aman terhadap peristiwa. Dengan demikian, ia bisa membaca lagi semua hal yang tak terpikirkan sebelumnya. Melalui jarak aman tersebut, sebuah tulisan akan berdiri sendiri (independen), dengan tidak bergantung pada peristiwa tersebut. Meskipun sebuah puisi, sebagaimana yang pernah dilontarkan Sutardji Calzoum Bachri, acapkali berada pada posisi “sakratul maut”, seperti ingin menjemput setiap keinginan, dan menempatkan realitas secara kasar dan gamblang. Padahal realitas itu sendiri, terutama dalam sebuah karya sastra, memerlukan polesan-polesan. Sehingga membentuk sebuah tandingan dari realitas yang ada.

Setiap kali menghitung diksi yang dipakai dalam puisi, penyair mencoba memilah, membelah, kemudian menginsyafi diri sendiri. Sebuah puisi memang harus disusun dengan penuh kehati-hatian, sebuah kata yang gagal saja, bukan tidak mungkin bisa merusak seluruh bangunan puisi itu secara utuh.

Melalui teks itu pulalah, terjadi interaksi antara pembaca dan penulis. Sebuah permainan syaraf, sebuah himpunan kalimat yang memerlukan proses membaca. Membaca, sebut Goenawan, adalah usaha membongkar teks secara lebih jauh. Seperti lecutan gerak yang tampak. Melalui rangkai kalimat, alinea, lembar-lembar pengetahuan disibak. Mungkin.[]

Jumat, 04 Juli 2014

Menerbitkan Atas Nama Penerbitan Sendiri

Ingin cetak buku atas nama penerbitan sendiri? Penerbit Pustaka Puitika menjalin kerjasama menerbitkan buku-buku Anda.
NB: Untuk keterangan lebih lanjut bisa menghubungi Penerbit Pustaka Puitika. e-Mail: pustakapuitika@yahoo.com. FB: Penerbit Pustaka Puitika.

Selasa, 01 Juli 2014

Antara Orang Berilmu dan Orang yang Banyak Bicara

Debit air yang banyak dan dalam tentu takkan mudah beriak hanya karena sebongkah batu yang jatuh menimpa. Batu itu justru akan karam, tenggelam, dan takkan terlihat. Sebaliknya, air yang mengalir dan dangkal tentu lebih beriak dengan atau tanpa sebongkah batu jatuh menimpanya. Batu itu takkan karam namun justru menjadi sumber kekeruhan bagi aliran air tersebut. Bisa saja batu itu hanyut atau justru menjadi biang pengganjal sampah yang terbawa arus dari atas. Seseorang yang memiliki banyak ilmu tentu lebih memilih diam daripada banyak bicara tak berguna. Sebab, semakin banyak seseorang bicara tak bermanfaat akan semakin menunjukkan kedangkalan pikir dan juga ilmunya. ~ Anam Khoirul Anam

Serius, atau Sekedar Kesenangan?

Menulis secara serius tentu tidak sama dengan menulis karena kesenangan. Menulis secara serius akan memperhatikan kaidah secara baik dan benar, sedangkan menulis karena kesenangan tentu lebih pada rasa senang yang diinginkan, sesuka-sukanya, semau-maunya, dan seenak-enaknya.

Senin, 30 Juni 2014

Hati dan Akal

Seseorang yang tak mampu mengendalikan ucapan dan tindakannya jauh lebih buruk dari binatang. Manusia dibekali akal untuk berpikir, dibekali hati untuk merasa. Akal yang dipenuhi dengan pengetahuan buruk akan berdampak buruk bagi hati. Akal dan hati itulah yang menjadi bagian pengendali tutur serta tindakan seseorang. Sekuat apapun hati memulihkan, pikiran kotor yang dibiarkan terus ada akan membusukkan hati orang tersebut. ~ Anam Khoirul Anam

Ada Banyak Waktu Menulis

Sebenarnya banyak sekali waktu Anda untuk bisa menulis, karena satu dan lain hal, mungkin tak ada waktu untuk menulis. Alibi paling sederhana adalah karena alasan sibuk, padahal menulis bisa dilakukan di sela-sela rutinitas. Bisa menulis secara utuh atau pun masih sebatas abstraksi. Alasan yang mungkin sangat klasik adalah karena malas. Ya, alasan ini cenderung lebih efektif untuk menjadikan tiap diri penulis merasa nyaman dan tak perlu susah payah menulis. Malas adalah cara efektif untuk menjadikan diri kalah dalam berkarya.