Puisi-puisi: Ekohm Abiyasa
Percakapan Sunyi 1
aku sampai
pada bab yang melelahkan ini
semua seperti mimpi kosong
mimpi siang bolong
terbungkam pada sunyi
di beranda gelap sekali
kehilangan cahaya
di mana peta itu Kau simpan, Tuhan?
Desember 2012
Percakapan Sunyi 2
seharusnya aku
berdiri sendiri layaknya karang
ombak besar di pantai membungkam tubuh
seharusnya memang
berdiri sendiri
mendengus hujan di kamar mimpi
Jakal KM 14
Yogyakarta, September 2012
Percakapan Sunyi 3
o, mengapa Tuhan menciptakan aku di sini
mengapa tidak di surga saja
atau di mana saja selain bumi
o, mengapa hidup begini
udara mengalir menusuk
sekian sakitnya
aku mohon, jangan hidupkan aku lagi
aku lelah
berpura-pura begini
Jakal KM 14
Yogyakarta, Oktober 2012
Percakapan Sunyi 4
menyusun kata
terlalu gagap bicara
menyulam memori dan ingatan
beberapa kata saja
malam pertigaan kabut menebal
angin gontai
melambatkan harapan-harapan
kadang tenggelam
begitu saja; tanpa desis
terdiam
sedemikian rapi huruf-huruf tercetak
Karanganyar, November
2007
Ekohm Abiyasa: Lahir tahun 1987 di Karanganyar, Jawa Tengah.
Penikmat sastra terutama puisi. Karya-karyanya dipublikasikan di Indopos, Solopos,
Joglosemar, Suara Merdeka, Minggu Pagi, Koran Merapi, Kendari
Pos, Frasa, Buletin Sastra Pawon dan lain-lain.
Puisi-puisinya termaktub dalam
antologi puisi bersama: Requiem Bagi Rocker (2012), Wuyung Ketundhung
(2012), Satu Kata: Istimewa (2012), Dari Sragen Memandang Indonesia
(2012), Indonesia dalam Titik 13 (2013), Merawat Ingatan Rahim
(2013), Puisi Menolak Korupsi (2013), Dari Dam Sengon ke Jembatan
Panengel (2013), Habis Gelap Terbitlah Sajak (2013).
ESAI
Puisi, Penyair, dan Pelbagai Hambatannya
Oleh Alex R.
Nainggolan
PUISI
terkadang gagal menemukan bentuknya di hadapan publik pembaca. Terutama dengan
keseriusan para penyair untuk merajut makna yang dianggap aneh, bertolak belakang,
atau mungkin tak dipahami oleh pembacanya. Maka kita hanya dihadapkan pada
sebuah asal-mula, yakni proses terbentuknya puisi itu sendiri. Sebagai sebuah
nalar yang melingkar, puisi menjadi niscaya mengambil bagian sebuah publik
untuk intim, sekaligus menyeluruh, dengan tidak ingkar pada lingkungan sekitar.
Persoalan
yang banyak ditemui ialah kedalaman makna, di mana sejumlah diksi gagal
membangkitkan aura, sehingga acapkali ditemui bentuk puisi yang datar, tak lagi
mengejutkan, atau imajinasi yang terkesan biasa saja. Tentu ini persoalan
mendasar bagi seorang penyair. Setiap penyair percaya, sebuah makna kata
memerlukan kerja yang serius, bermain-main, atau tapak hari—jauh sebelum puisi
itu dibentuk. Dan, apa yang ditulis H.B. Jassin beberapa tahun lampau,
nampaknya masih pantas dijadikan sebuah rujukan, jika kita tak pernah tahu apa
maksud si penyair dalam puisinya, maka masukilah bagaimana keseharian seorang
penyair. Bagaimana ia mesti berkelahi dengan sejumlah kalimat, mencoret-coret
sketsa, sebelum puisi itu dilempar dan menemui publiknya.
Sebagai
suatu bentuk lingua yang lumayan tua, puisi memang harus menjaga semua
komponennya. Dalam bahasa Hasif Amini, ibarat sejumlah mekanik yang membutuhkan
tenaga dari luar (arus) listrik untuk membangkitkannya. Dengan demikian, puisi
akan bersimpuh, kemudian menggeletar di antara aura bunyi lainnya. Sebab
lingkar pikir manusia terkadang selalu membelenggu. Yang membuat kita membatasi
gerak, sehingga imajinasi yang tertuang dalam sejumlah diksi berhenti, setelah
kita selesai membacanya.
Seorang
penyair pernah berucap kepada saya, puisi yang baik itu, yang tetap berdenyar
sepanjang masa. Di mana seluruh rangkuman jejak tertinggal di sana. Kata-kata
penuh pukau, memotret seluruh unsur depan sadar manusia. Getarannya
membangunkan semua ketertinggalan kita.
Wah, kalau
sudah begitu, saya kira puisi merupakan sebuah benda yang hebat. Memanarkan
sejumlah aura, setiap kelindan di dalamnya terbungkus jadi satu. Sebuah
tumpangan kalimat yang memaksa kita mengembara ke negeri-negeri yang tak
“bernama”. Imajinasi mungkin sebuah formula ajaib, untuk itu seorang penyair
harus rajin-rajin mengasah kepekaannya. Mengamati kehidupan, mendengarkan apa
yang dirisaukan, menanam gelisah, menjemput seluruh kenangan yang pernah
tinggal di kepalanya.
Puisi
merupakan percikan yang sederhana, rumit, dan gampang. Pengalaman “berkelahi”dengan kata itu yang
makin membuncahkan nurani dalam teks sebuah puisi. Simak dalam sajak Goenawan
Mohammad “Kwatrin Pada sebuah Poci”—sebuah konsep dasar puisi (seni, pada
umumnya) yang pernah dibedah A. Teeuw dalam catatan akhir kumpulan Asmaradana.
Pun usaha keras dari Joko Pinurbo dalam sajak “Koma”, “Pelajaran Menulis Puisi”
di kumpulan Telepon Genggam. Sebagaimana belantara, kita pun memasuki
puisi yang ditulis para penyair. Menyibak setiap ruas, sudut, jenis diksi,
bertamsya dengan penuh debar. Sesekali ditemui banyak elegi yang muncul tak
berkesudahan. Tapi di kali lain, kita bersua pula dengan kenyataan-kenyataan
yang beku, meskipun tetap menyenangkan.
Puisi seakan
membaurkan semua sisi-sisi kehidupan, yang paling hitam, putih, mungkin pula
abu-abu. Tantangan para penyair ialah bagaimana menelurkan sebuah realitas ide
itu menjadi ayam. Hal yang sama pula terjadi dalam pola pemikiran Plato,
tentang sebuah konsep dunia ide, yang pernah ditulisnya. Jika dunia ide, tak
pernah habis, akan terus ada.
Jarak Aman
SEMUA
penulis, percaya setiap kali menuliskan sesuatu memerlukan jarak yang aman
terhadap peristiwa. Dengan demikian, ia bisa membaca lagi semua hal yang tak
terpikirkan sebelumnya. Melalui jarak aman tersebut, sebuah tulisan akan
berdiri sendiri (independen), dengan tidak bergantung pada peristiwa tersebut.
Meskipun sebuah puisi, sebagaimana yang pernah dilontarkan Sutardji Calzoum
Bachri, acapkali berada pada posisi “sakratul maut”, seperti ingin menjemput
setiap keinginan, dan menempatkan realitas secara kasar dan gamblang. Padahal
realitas itu sendiri, terutama dalam sebuah karya sastra, memerlukan
polesan-polesan. Sehingga membentuk sebuah tandingan dari realitas yang ada.
Setiap kali
menghitung diksi yang dipakai dalam puisi, penyair mencoba memilah, membelah,
kemudian menginsyafi diri sendiri. Sebuah puisi memang harus disusun dengan
penuh kehati-hatian, sebuah kata yang gagal saja, bukan tidak mungkin bisa
merusak seluruh bangunan puisi itu secara utuh.
Melalui teks
itu pulalah, terjadi interaksi antara pembaca dan penulis. Sebuah permainan
syaraf, sebuah himpunan kalimat yang memerlukan proses membaca. Membaca, sebut
Goenawan, adalah usaha membongkar teks secara lebih jauh. Seperti lecutan gerak
yang tampak. Melalui rangkai kalimat, alinea, lembar-lembar pengetahuan
disibak. Mungkin.[]