Minggu, 06 Juli 2014

Ahad, 06 Juli 2014


Puisi-puisi: Ekohm Abiyasa


Percakapan Sunyi 1

aku sampai
pada bab yang melelahkan ini
semua seperti mimpi kosong
mimpi siang bolong

terbungkam pada sunyi
di beranda gelap sekali
kehilangan cahaya
di mana peta itu Kau simpan, Tuhan?
Desember 2012

Percakapan Sunyi 2

seharusnya aku
berdiri sendiri layaknya karang
ombak besar di pantai membungkam tubuh

seharusnya memang
berdiri sendiri
mendengus hujan di kamar mimpi
Jakal KM 14 Yogyakarta, September 2012

Percakapan Sunyi 3

o, mengapa Tuhan menciptakan aku di sini
mengapa tidak di surga saja
atau di mana saja selain bumi

o, mengapa hidup begini
udara mengalir menusuk
sekian sakitnya
aku mohon, jangan hidupkan aku lagi

aku lelah
berpura-pura begini
Jakal KM 14 Yogyakarta, Oktober 2012

Percakapan Sunyi 4

menyusun kata
terlalu gagap bicara
menyulam memori dan ingatan
beberapa kata saja

malam pertigaan kabut menebal
angin gontai
melambatkan harapan-harapan
kadang tenggelam
begitu saja; tanpa desis

terdiam
sedemikian rapi huruf-huruf tercetak
Karanganyar, November 2007


Ekohm Abiyasa: Lahir tahun 1987 di Karanganyar, Jawa Tengah. Penikmat sastra terutama puisi. Karya-karyanya dipublikasikan di Indopos, Solopos, Joglosemar, Suara Merdeka, Minggu Pagi, Koran Merapi, Kendari Pos, Frasa, Buletin Sastra Pawon dan lain-lain.

Puisi-puisinya termaktub dalam antologi puisi bersama: Requiem Bagi Rocker (2012), Wuyung Ketundhung (2012), Satu Kata: Istimewa (2012), Dari Sragen Memandang Indonesia (2012), Indonesia dalam Titik 13 (2013), Merawat Ingatan Rahim (2013), Puisi Menolak Korupsi (2013), Dari Dam Sengon ke Jembatan Panengel (2013), Habis Gelap Terbitlah Sajak (2013).


ESAI

Puisi, Penyair, dan Pelbagai Hambatannya

Oleh Alex R. Nainggolan

PUISI terkadang gagal menemukan bentuknya di hadapan publik pembaca. Terutama dengan keseriusan para penyair untuk merajut makna yang dianggap aneh, bertolak belakang, atau mungkin tak dipahami oleh pembacanya. Maka kita hanya dihadapkan pada sebuah asal-mula, yakni proses terbentuknya puisi itu sendiri. Sebagai sebuah nalar yang melingkar, puisi menjadi niscaya mengambil bagian sebuah publik untuk intim, sekaligus menyeluruh, dengan tidak ingkar pada lingkungan sekitar.

Persoalan yang banyak ditemui ialah kedalaman makna, di mana sejumlah diksi gagal membangkitkan aura, sehingga acapkali ditemui bentuk puisi yang datar, tak lagi mengejutkan, atau imajinasi yang terkesan biasa saja. Tentu ini persoalan mendasar bagi seorang penyair. Setiap penyair percaya, sebuah makna kata memerlukan kerja yang serius, bermain-main, atau tapak hari—jauh sebelum puisi itu dibentuk. Dan, apa yang ditulis H.B. Jassin beberapa tahun lampau, nampaknya masih pantas dijadikan sebuah rujukan, jika kita tak pernah tahu apa maksud si penyair dalam puisinya, maka masukilah bagaimana keseharian seorang penyair. Bagaimana ia mesti berkelahi dengan sejumlah kalimat, mencoret-coret sketsa, sebelum puisi itu dilempar dan menemui publiknya.

Sebagai suatu bentuk lingua yang lumayan tua, puisi memang harus menjaga semua komponennya. Dalam bahasa Hasif Amini, ibarat sejumlah mekanik yang membutuhkan tenaga dari luar (arus) listrik untuk membangkitkannya. Dengan demikian, puisi akan bersimpuh, kemudian menggeletar di antara aura bunyi lainnya. Sebab lingkar pikir manusia terkadang selalu membelenggu. Yang membuat kita membatasi gerak, sehingga imajinasi yang tertuang dalam sejumlah diksi berhenti, setelah kita selesai membacanya.

Seorang penyair pernah berucap kepada saya, puisi yang baik itu, yang tetap berdenyar sepanjang masa. Di mana seluruh rangkuman jejak tertinggal di sana. Kata-kata penuh pukau, memotret seluruh unsur depan sadar manusia. Getarannya membangunkan semua ketertinggalan kita.

Wah, kalau sudah begitu, saya kira puisi merupakan sebuah benda yang hebat. Memanarkan sejumlah aura, setiap kelindan di dalamnya terbungkus jadi satu. Sebuah tumpangan kalimat yang memaksa kita mengembara ke negeri-negeri yang tak “bernama”. Imajinasi mungkin sebuah formula ajaib, untuk itu seorang penyair harus rajin-rajin mengasah kepekaannya. Mengamati kehidupan, mendengarkan apa yang dirisaukan, menanam gelisah, menjemput seluruh kenangan yang pernah tinggal di kepalanya.

Puisi merupakan percikan yang sederhana, rumit, dan gampang.  Pengalaman “berkelahi”dengan kata itu yang makin membuncahkan nurani dalam teks sebuah puisi. Simak dalam sajak Goenawan Mohammad “Kwatrin Pada sebuah Poci”—sebuah konsep dasar puisi (seni, pada umumnya) yang pernah dibedah A. Teeuw dalam catatan akhir kumpulan Asmaradana. Pun usaha keras dari Joko Pinurbo dalam sajak “Koma”, “Pelajaran Menulis Puisi” di kumpulan Telepon Genggam. Sebagaimana belantara, kita pun memasuki puisi yang ditulis para penyair. Menyibak setiap ruas, sudut, jenis diksi, bertamsya dengan penuh debar. Sesekali ditemui banyak elegi yang muncul tak berkesudahan. Tapi di kali lain, kita bersua pula dengan kenyataan-kenyataan yang beku, meskipun tetap menyenangkan.

Puisi seakan membaurkan semua sisi-sisi kehidupan, yang paling hitam, putih, mungkin pula abu-abu. Tantangan para penyair ialah bagaimana menelurkan sebuah realitas ide itu menjadi ayam. Hal yang sama pula terjadi dalam pola pemikiran Plato, tentang sebuah konsep dunia ide, yang pernah ditulisnya. Jika dunia ide, tak pernah habis, akan terus ada.

Jarak Aman
SEMUA penulis, percaya setiap kali menuliskan sesuatu memerlukan jarak yang aman terhadap peristiwa. Dengan demikian, ia bisa membaca lagi semua hal yang tak terpikirkan sebelumnya. Melalui jarak aman tersebut, sebuah tulisan akan berdiri sendiri (independen), dengan tidak bergantung pada peristiwa tersebut. Meskipun sebuah puisi, sebagaimana yang pernah dilontarkan Sutardji Calzoum Bachri, acapkali berada pada posisi “sakratul maut”, seperti ingin menjemput setiap keinginan, dan menempatkan realitas secara kasar dan gamblang. Padahal realitas itu sendiri, terutama dalam sebuah karya sastra, memerlukan polesan-polesan. Sehingga membentuk sebuah tandingan dari realitas yang ada.

Setiap kali menghitung diksi yang dipakai dalam puisi, penyair mencoba memilah, membelah, kemudian menginsyafi diri sendiri. Sebuah puisi memang harus disusun dengan penuh kehati-hatian, sebuah kata yang gagal saja, bukan tidak mungkin bisa merusak seluruh bangunan puisi itu secara utuh.

Melalui teks itu pulalah, terjadi interaksi antara pembaca dan penulis. Sebuah permainan syaraf, sebuah himpunan kalimat yang memerlukan proses membaca. Membaca, sebut Goenawan, adalah usaha membongkar teks secara lebih jauh. Seperti lecutan gerak yang tampak. Melalui rangkai kalimat, alinea, lembar-lembar pengetahuan disibak. Mungkin.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar