Senin, 30 Juni 2014

Hati dan Akal

Seseorang yang tak mampu mengendalikan ucapan dan tindakannya jauh lebih buruk dari binatang. Manusia dibekali akal untuk berpikir, dibekali hati untuk merasa. Akal yang dipenuhi dengan pengetahuan buruk akan berdampak buruk bagi hati. Akal dan hati itulah yang menjadi bagian pengendali tutur serta tindakan seseorang. Sekuat apapun hati memulihkan, pikiran kotor yang dibiarkan terus ada akan membusukkan hati orang tersebut. ~ Anam Khoirul Anam

Ada Banyak Waktu Menulis

Sebenarnya banyak sekali waktu Anda untuk bisa menulis, karena satu dan lain hal, mungkin tak ada waktu untuk menulis. Alibi paling sederhana adalah karena alasan sibuk, padahal menulis bisa dilakukan di sela-sela rutinitas. Bisa menulis secara utuh atau pun masih sebatas abstraksi. Alasan yang mungkin sangat klasik adalah karena malas. Ya, alasan ini cenderung lebih efektif untuk menjadikan tiap diri penulis merasa nyaman dan tak perlu susah payah menulis. Malas adalah cara efektif untuk menjadikan diri kalah dalam berkarya.

Perihal Kemampuan

Kata siapa Anda tidak mampu? Ketidakmampuan itu akan sirna ketika Anda mampu menghilangkan rasa tak mampu itu. Mencoba adalah cara paling baik untuk menunjukkan kemampuan. Tanpa mencoba, Anda tidak akan ternah tahu. Tidak mencoba itulah ketidakmampuan.

Perihal Masalah

Kalau melempar masalah, jangan lantas cari perlindungan yang mendukung masalah. Masalah tidak akan jadi masalah kalau tidak dipermasalahkan. Masalah hanya bisa diselesaikan dengan masalah itu sendiri, bukan dengan masalah yang lain. Kalau masalah lain dimasukkan dalam satu masalah, tentu akan melahirkan masalah-masalah lain selain masalah itu dan masalah lainnya. Masalah akan semakin tambah jadi masalah ketika satu masalah melahirkan banyak masalah. Kalau ingin cari masalah, carilah masalah yang menyelesaikan masalah. Jangan asal cari masalah tapi tak bisa menyelesaikan masalah, itu sama saja cari masalah. Sebab masalah takkan pernah habis jika terus cari masalah.

Pekerja atau Bukan Pekerja

Seseorang yang sebenar-benarnya mampu menikmati pekerjaannya, itulah sebenar-benarnya seorang pekerja. Sebaliknya, seseorang yang sebenar-benarnya tak mampu menikmati pekerjaannya adalah orang yang hidup dalam bayang-bayang pekerjaan. Ia bekerja, tapi tidak bekerja. Ia dapat penghasilan, namun tak cukup menyenangkan. Selalu merasa kurang, tiada rasa cukup.

Minggu, 29 Juni 2014

Ahad, 29 Juni 2014

Cerpen: Umar Affiq

Sungai Darah



Ketika aku mengamati perut buncit Pakde, tiba-tiba pandanganku merembang. Gelombang hitam serupa terowongan berpusar kencang bagai topan. Kepalaku pening. Aku serasa terseret ke dalam pusaran itu. Gelap.

AKU tak tahu dimana diriku. Seperti mimpi, sepertinya juga bukan. Kubuka GPS smartphone, namun tak menunjukkan koordinat keberadaanku. Tak ada sinyal disini. Tapi semua nampak begitu akrab: pohon hijau, gunung kapur, sungai mengalir sampai ke laut dan orang-orang telanjang badan berbondong menuju pinggul sungai. Mereka mengambil air, mencuci, mandi, buang hajat dan ada pula yang mencari ikan.

Aku mencoba mendekati mereka, sekadar menanyakan dimana aku berada.

Baru berjarak sepuluh meter dari sungai itu, bau anyir menubruk hidungku. Tajam sekali. Kecurigaanku kian bulat saat aku berpapasan dengan seorang perempuan dari sungai. Tubuhnya berkilat-kilat. Merah. Anyir. Seperti aroma darah. Tangannya kanannya menggendong bak cucian, sedang tangan kirinya membawa jirigen kecil.

Seoalah paham atas keherananku, perempuan itu mengajakku duduk. Setelah aku duduk, ia lalu meletakkan bawaannya di atas rumput kering. Tanpa kuminta, ia langsung bersapa:

“Kisanak tak perlu kaget dengan sungai ini.” ucapnya kalem. ”Dari dulu, beginilah sungai ini. Oleh leluhur kami, sungai ini dinamai Sungai Darah.”

Aku memandang matanya, penuh binar cahaya. Tak seperti mata orang-orang yang kutahu menyembunyikan kebohongan.

“Apa?” aku seolah tak percaya. Mana mungkin pada zaman modern seperti ini ada sungai darah. Setahuku, itu hanya sepotong kisah dalam kitab cerita Musa melawan kelaliman Firaun yang ngotot tak mau percaya bahwa Musa adalah utusan Tuhan. Dan kalaupun ada, pasti itu hanya cerita rekaan sama halnya Blood Moon, bulan darah.

“Benar. Sungai Darah.” Perempuan itu ingin menyakinkanku bahwa yang ia katakan benar. Ia menumpahkan sedikit air dari jirigen kecil bawaannya pada telapak tangannya. Ia munjukkannya padaku.

“Benar. Ini darah.” aku mencolek genangan merah di telapak tangannya. Mencecap colekan tadi hanya untuk memastikan saja. Ternyata benar. Asin dan amis.

“Dari dulu, sungai ini mengalir dari hulu perut ketamakan seorang lelaki. Kami akrab menyebut lelaki itu Qatil.”

“Pakde?!”

Telingaku seolah tak yakin apa yang dikatakan perempuan itu. Darimana dia tahu nama Pakde, sedang di sungai ini hanya nampak perempuan saja?

“Mungkin saja. Kami menamai orang-orang seperti itu dengan sebutan Qatil.”

Barangkali perempuan itu punya ilmu terawang, sehingga apa yang kudesirkan—bagaimana sungai ini mengalir?—langsung ia beri jawaban.
“Sungai ini akan terus mengalir selama lelaki itu dan orang-orang sepertinya terus mengorbankan orang-orang di sekitarnya demi menambang kekayaan. Lalu orang-orang yang dikorbankan akan terlarung dari liang ruh sampai kesini. Sedang raganya telah dikuburkan atau barangkali dikremasi oleh keluarga yang ditinggalkannya.”
“Jadi, orang-orang yang dikorbankan mati begitu saja?”

“Tidak. Ruh mereka akan menjelma menjadi ikan-ikan yang berenang di sungai ini. sautu waktu sekali, lelaki yang kami panggil Qotil itu akan datang kemari, member makan ikan-ikan dengan kembang dan bebijian.”

“Kami tak akan pernah cemas, apalagi takut jikalau suatu waktu sungai ini akan kering. Meski kemarau meranjau tanah dimana-mana, menciptakan lobang dan retakan, sungai ini akan tetap mengalir. Deras seperti biasanya. Bahkan bisa jadi justru lebih deras dari sebelumnya.”

“Bagaimana mungkin itu terjadi? Itu sangat berlawanan dengan hukum daur air.”

“Tapi beginilah aturannya. Sebab, selama lelaki itu dan orang-orang sepertinya masih melarungkan korban, sungai ini akan istiqomah mengalir. Ikan-ikannya akan semakin banyak seiring banyaknya jumlah korban lelaki itu.”

Mendengar penjelasan perempuan itu, dadaku terasa sesak. Dan entahlah, darah tiba-tiba mengucur dari tubuhku. Mengalir dari tubuhku yang robek. Aku mengamatinya lamat-lamat, darahku mengalir ke sungai itu. Lalu gelap mengerjap.

Baru ketika cahaya tumpah ke retina, kudapati diriku telah mengambang di tubuh Sungai Darah. Aku masih bisa melihat perut buncit Pakde, sosok lelaki yang disebut-sebut oleh perempuan misterius Sungai Darah sebagai Qobil, hulu sungai atau sumber sungai ini.

Lelaki perut buncit itu, lewat tangannya ia melempariku kembang dan bebijian seperti kacang hijau. Aku berteriak-teriak memanggilnya. Melambai-lambainya. Meminta tolong untuk mengangkatku dari sungai yang amis ini. Tapi apa daya, aku baru sadar aku tak lagi punya tangan. Tak juga kaki. Hanya tubuhku yang penuh sisik.
Tuban-Juwana, 3 Mei 2014

Sabtu, 28 Juni 2014

Di Mana Kita Berdiri?

Jika ingin menjadi orang bijak, berdirilah di tengah. Jika ingin menjadi orang yang memihak, berdirilah di samping. Dan jika ingin menjadi pembunuh, berdirilah di belakang. Bagaimana pun, ketika berdiri di belakang akan lebih mudah melampiaskan segala sesuatu tanpa perlawanan. ~ Anam Khoirul Anam

Ambisi

Orang yang begitu haus tentu akan tampak lebih ngotot ketika melihat air untuk melepas atau bahkan menghilangkan dahaga. Bagaimanapun caranya dan apapun alatnya, semua akan dilakukan untuk mendapatkan air tersebut. Berapapun yang akan ia dapatkan tak jadi soal asal mampu menguasai. Sebaliknya, seseorang yang sudah merasa cukup dengan air tentu akan lebih tenang dalam mendapatkan air tersebut. Ia tak perlu menggunakan banyak cara atau menggunakan banyak alat hanya untuk mengumpulkan air tersebut, sebab cukup dengan sebuah gayung atau sebuah selang ia dapat memenuhi gentong, kulah, atau bahkan kolam air sekaligus. ~ Anam Khoirul Anam

Yang Dangkal, Yang Dalam

Sungai yang dangkal perlu dikeruk jika ingin airnya jernih dan tak beriak. Sedangkan sungai yang dalam tak perlu dikeruk untuk menjadikan air mengalir secara teratur dan tentunya takkan terdengar suara beriaknya untuk menunjukkan kedalamannya. Aliran air yang ada di sungai dangkal akan sangat mudah kotor, sampah-sampah tersangkut, dan keruh. Sedangkan alir sungai yang dalam tak perlu membersihkan kotoran sebab debit air yang melimpah akan membersihkannya serta membuat air tersebut tetap bersih, terkecuali kotoran di dasar air yang perlu dibersihkan oleh air itu sendiri. ~ Anam Khoirul Anam

Larut

Gula tak mempersoalkan apakah ia larut di dalam air panas atau air dingin, hanya saja air panas lebih cepat membuat dirinya larut daripada air dingin. Demikian halnya dalam cinta. Tanpa saling bicara, rindu takkan pernah larut di dalamnya, dan tentunya akan semakin lambat untuk bisa saling memahami antara satu sama lainnya. ~ Anam Khoirul Anam

Hati dan Pikiran yang Luas

Air dalam satu gelas tentu akan lebih mudah keruh hanya dengan setetes tinta, tapi setetes tinta takkan berarti apa-apa jika jatuh di hamparan lautan. Hati dan pikiran luas takkan mudah keruh hanya karena setitik kebencian, terlebih hati dan pikiran luas itu dipenuhi rasa cinta serta kasih sayang, tentu kebencian hanya akan menjadi sampah yang mengapung di bibir pantai. Air laut tentu akan lebih mudah menghempas atau menghilangkan kotoran itu dengan terjang ombaknya, namun tidak untuk segelas air yang dibiarkan kotor oleh setetes tinta. Ia akan semakin kotor dan menjadi racun jika diminum. ~ Anam Khoirul Anam

Menikmati Pekerjaan

Seseorang yang sebenar-benarnya mampu menikmati pekerjaannya, itulah sebenar-benarnya seorang pekerja. Sebaliknya, seseorang yang sebenar-benarnya tak mampu menikmati pekerjaannya adalah orang yang hidup dalam bayang-bayang pekerjaan. Ia bekerja, tapi tidak bekerja. Ia dapat penghasilan, namun tak cukup menyenangkan. Selalu merasa kurang, tiada rasa cukup.

Jumat, 27 Juni 2014

Promo Cetak Murah

NB: Untuk keterangan lebih lanjut bisa menghubungi Penerbit Pustaka Puitika. e-Mail: pustakapuitika@yahoo.com. FB: Penerbit Pustaka Puitika.

Promo Buku

NB: Untuk keterangan lebih lanjut bisa menghubungi Penerbit Pustaka Puitika. e-Mail: pustakapuitika@yahoo.com. FB: Penerbit Pustaka Puitika.

Kamis, 26 Juni 2014

Eksekusi

Jika imajinasi diibaratkan sebuah senter, dan diksi adalah sebilah pedang, maka ketika seorang penulis sedang berjalan di tengah malam, seorang penulis harus benar-benar tebang-pilih untuk mencari sesuatu yang benar-benar dibutuhkan ketika menulis. Imajinasi akan menyorot apa saja yang dapat terlihat, lalu bilah pedang menetak segala yang terlihat itu ke dalam kalimat. Semakin baik memilih dan memilah tetakkan tentu akan sangat memengaruhi kualitas kata dalam kalimat yang sedang disusun untuk memperindah bangunan sebuah karya.

Selasa, 24 Juni 2014

Jangan Terlalu Lama

Jangan terlalu lama menjeda tulisan yang belum selesai dituliskan sebab hal itu akan berdampak tak baik untuk keberlangsungan tulisan itu sendiri. Lebih baik selesaikan, lalu baca berulangkali daripada membuat tulisan itu sempurna namun tak selesai.

Menulis Butuh Keyakinan

Selain harus menguasai teknis, menulis memerlukan keyakinan ketika membubuhkan kata demi kata ketika menulis. Sebab keyakinan itu sama seperti meniupkan ruh dalam tulisan itu sendiri. Ada kalanya sebuah kalimat perlu panjang lebar, namun ada kalanya cukup singkat, tergantung pada tingkat kebutuhan. Sebab tiap kalimat akan dicerna dengan sendirinya oleh pikiran untuk dipahami. Ketika sebuah tulisan tak mampu dipahami oleh karena tingkat kerumitan secara esensi, dari situlah pembaca perlu mengkaji dari satu unsur ke unsur lainnya supaya dimengerti. Dan ruh dalam kata-kata itulah yang kelak akan menghidupkan tulisan itu dalam pikiran pembacanya. ~ Anam Khoirul Anam.

Kreatifitas Itu Penting

Kreatifitas akan selalu tumbuh seiring dengan seberapa tekun seseorang mengasahnya. Jika kreatifitas merupakan bagian dari ilmu, maka ilmu merupakan tubuh dari sebuah pedang, sedangkan kreatifitas adalah mata pedang itu sendiri. Keduanya harus sama-sama diasah untuk memberi ketajaman serta daya di dalamnya. ~ Anam Khoirul Anam.

Coba Baca Ulang!

Coba baca ulang sekali lagi tulisan yang sudah Anda buat dan sudah cukup lama disimpan. Apa yang Anda rasakan? Apa yang terjadi? Anda bosan membaca tulisan itu? Anda malas membaca ulang tulisan itu? Ini bukan menyangkut situasi kejiwaan, emosi, atau apapun yang menjadi pemicu rasa negatif tersebut. Bisa jadi, rasa bosan, malas, atau apa pun itu akan berubah ketika karya itu sudah bermetamorfosa dalam bentuk buku atau diterbitkan di media massa, pastilah Anda akan merasa ingin terus membacanya dan membacanya berulangkali. Tak lain semua itu disebabkan oleh rasa senang atau bahagia. Maka dari itu, berbahagialah ketika berkarya, berkaryalah dengan penuh rasa bahagia, dan kebahagiaan itu akan terus bertahan sampai Anda lupa bahwa telah memiliki banyak karya, termasuk memiliki karya sendiri yang sedang dibaca tersebut.

Rasa Ingin Tahu

Rasa ingin tahu seseorang akan mendorong keinginannya untuk terus maju. Dan ketidaktahuan bukan karena tak ingin maju, melainkan berhenti di satu titik dan tak ingin menuju titik lainnya. ~ Anam Khoirul Anam

Sederhana Tapi Tak Sederhana

Jika ingin menyederhanakan sebuah masalah, memang inti sebuah tulisan adalah sampai pada pembaca. Tapi apakah itu sudah cukup? Belum, atau bahkan tidak demikian. Selain harus melalui proses atau tahapan-tahapan tertentu, menulis butuh keterampilan, butuh kematangan, butuh daya seni kreatif, butuh ketajaman dari atas hingga titik bawah, titik akhir. Butuh keselarasan sebagai penyeimbang menuju sempurna, butuh teknik atau jika perlu teori, dan lain sebagainya. Memang agak mengganggu jika mengikuti aturan-aturan tersebut, bahkan akan menjadi penghambat kebebasan dalam menulis. Dan mungkin jika mengikuti seluruh aturan itu, satu karya pun kemungkinan besar takkan ada yang jadi, kalau pun jadi progresnya lambat. Semua kembali pada diri masing-masing, tinggal pilih, hanya saja berkarya dengan menggunakan kecerdasan serta diimbangi dengan hal-hal yang sudah disebutkan tadi akan jauh lebih baik dan lebih bagus dari pada berkarya secara asal. Menulis secara asal, mungkin masih dianggap lebih baik daripada tidak berkarya sama sekali. Tapi, alangkah lebih mengerikan lagi kalau semua dilakukan secara asal dan cara menerbitkannya pun secara asal.

Penulis Adalah Penutur yang Baik

Penulis merupakan penutur yang baik setelah orang tua dan guru, baik secara lisan maupun tulisan. Jadi, pilihlah kata-kata yang edukatif, kreatif, dan tentunya berdaya seni imajinatif. Sebab, semakin asal memilih kata-kata tanpa pertimbangan normatif, akibat yang terjadi jauh lebih fatal dari yang Anda harapkan dari tulisan itu sendiri.

Matangkan Konsep!

Konsep yang matang akan mempermudah Anda untuk menulis. Tanpa itu, mungkin Anda akan berhasil menulis, tapi besar kemungkinan akan mengalami kendala atau bahkan gagal di tengah jalan.

Minggu, 22 Juni 2014

Ahad, 22 Juni 2014

Puisi: Anam Khoirul Anam

Petir yang Jadi Air

PERLU membetik sedikit saja agar petir menjadi air
kalau pun mendung gagal menyimpan uap laut,
biarlah matahari akan terus bersembunyi
biarkan malam bernyanyi lagu cinta, tanpa jeda.

Mari menari di lantai dansa
tanpa alas kaki, bertelanjang saja
agar tak menggugah anak-anak bumi.

Relakan saja langit terpejam kelam
karena rembulan akan terus berkias
pada gemintang lewat puisi mimpimu.

Sedemikian liris jiwa menepi
di ujung relung gelisah
mengerumuni lara hati.
Yogyakarta, 12 Januari 2014

Musim-musim yang Berlari

MUSIM-musim yang berlari bersama waktu
bukanlah kisah kias dalam sebongkah batu
lalu kita pecahkan dengan kepal tangan

Musim-musim yang berlarian itu adalah penjuru
kadang datang dengan rupa pasai dan nyaris masai
jika hujan turun lebat, ia serupa jala lurus bak tirai

Dan musim-musim yang jatuh di halaman rumah
bukanlah kisah kias imajiner yang lahir dari mimpi
tapi ia adalah sekawanan isyarat dari negeri semesta
Yogyakarta, 14 Januari 2014

Dalam Pikiran yang Menari

NADA-nada ritmis melesat di kedua bola matamu
ia mengantarkan sebuah lagu tentang elegi negeri
pada jamuan bisu ia membisik di telingamu
dan suara-suara itu berdansa senada dawai biola

Kalau saja para penyair kehabisan kata-kata
tak dapat dibayangkan betapa merana jiwa perawan
pastilah tak ada jamuan rindu semanis madu
tak ada cumbu mesra dalam secawan cinta
sebab bujuk rayu tak lagi bernyawa di dada

Dalam pikiran yang tak jemu menari
desir-desir hati menjelma siluet kelabu
dalam pikiran yang meredam sengkarut
aliran rasa hanya menjadi awan, sarat benih hujan
ia hanya menunggu, dan menunggu, pergantian cuaca
lalu lekat hangat di bibir musim pasca pancaroba
laun tumpah lazimnya bah airmata di kantung matamu.
Yogyakarta, 04 Juni 2014

Puisi: Alda Muhsi

TANPA ARAH

DI antara tebing yang menyusut terhisap angin dan debu
mata-mata mereka masih saja menyilaukan tanya
menikam langit-langit malam nan kelam
tak pernah tersebar dan terdengar kabar tentang jawab yang diimpikan
hujan selalu menyertai pengharapan
ke mana lagi arah yang pantas dituju
sedangkan burung-burung telah berhenti terbang
pohon-pohon menggugurkan doa
Medan, Juni 2014

BIARKAN SAJA

BIARKAN saja angin membawanya pulang
melalui dahan-dahan pohon mangga dan juga daun yang dijalari nadi
di belakang istana sang raja ia berkutat dengan panas
luka yang semakin menganga
mencari satu-dua keping penawar lara
dalam tumpukan dosa
Medan, Juni 2014

BIBIR MERAH

BIBIR merah itu mewangi serupa mawar
tapi ia tanpa duri-duri di bagian tubuh
menyemerbakkan napas di antara ribuan demonstran
Bibir merah yang pagi tadi kulihat
mengapa telah lekat di bajuku
tak ada ruang tersisa
gambar-gambar yang tertera ditimpanya
melukis mimpi-mimpi indah di ujung mata
Bibir merah itu menjadi kusam setelah malam
ketika bintang-bintang menampakkan kilau
menelanjangi muda-mudi dalam selimut dan kamar mandi
Medan, Juni 2014

ALDA MUHSI: Lahir di Medan, 8 Maret 1993. Tercatat sebagai mahasiswa jurusan Sastra Indonesia Universitas Negeri Medan. Kini berdomisili di Jl. Amaliun No. 152 Medan. Penyuka puisi dan cerpen.

Minggu, 15 Juni 2014

Penguasaan, Keyakinan, Ruh Tulisan, dan Kematangan

Selain harus menguasai teknis, menulis memerlukan keyakinan ketika membubuhkan kata demi kata ketika menulis. Sebab keyakinan itu sama seperti meniupkan ruh dalam tulisan itu sendiri. Ada kalanya sebuah kalimat perlu panjang lebar, namun ada kalanya cukup singkat, tergantung pada tingkat kebutuhan. Sebab tiap kalimat akan dicerna dengan sendirinya oleh pikiran untuk dipahami. Ketika sebuah tulisan tak mampu dipahami oleh karena tingkat kerumitan secara esensi, dari situlah pembaca perlu mengkaji dari satu unsur ke unsur lainnya supaya dimengerti. Dan ruh dalam kata-kata itulah yang kelak akan menghidupkan tulisan itu dalam pikiran pembacanya. ~ Anam Khoirul Anam.

Perihal Kreatifitas

Kreatifitas akan selalu tumbuh seiring dengan seberapa tekun seseorang mengasahnya. Jika kreatifitas merupakan bagian dari ilmu, maka ilmu merupakan tubuh dari sebuah pedang, sedangkan kreatifitas adalah mata pedang itu sendiri. Keduanya harus sama-sama diasah untuk memberi ketajaman serta daya di dalamnya. ~ Anam Khoirul Anam.

Karya Anda di Mata Anda Sendiri.

Seberapa bagus karya Anda di mata diri sendiri? Karya yang bagus di mata Anda sendiri adalah ketika dibaca berulangkali tidak membosankan, justru menimbulkan rasa haus untuk terus memperbaiki dan memicu daya kreatifitas baru. Meski tak ada jaminan, sudah pasti karya itu akan banyak disukai dan akan menjadi sumber inspirasi sekali pun tetap tak luput dari kekurangan di dalamnya.

Puisi-puisi: Sonny H. Sayangbati

Hujan dan Hujan Lagi


Senandung rindu itu bernama hujan
tak kenal saat,
ia membasahi ladang dengan rinai tak bertepi
terus mengguyur dengan derasnya
seolah-olah tak ada tempat penampung

Tidak!
Aku hanya bisa memberi
dengan kelimpahan

Daun-daun berkabut
menyerap cairku sampai yang terdalam
karena di situlah rumahku
Jaga Blengko, 30-01-2014


Dua Pohon


“Pohon yang besarnya sepelukan,
tumbuh dari benih yang kecil saja. 
Menara setinggi sembilan tingkat,
dibangun mulai dari seonggok tanah. 
Perjalanan seribu li,
dimulai dari satu langkah.”

― Laozi



Dari benih tinggi tiga puluh centimeter aku telah melihatmu tumbuh di dua sisi kiri dan kanan, aku yakin burunglah yang membawamu ke sana. Setiap tiba musim bertelur angin musim membawa mereka hinggap dan memenuhi hamparan air yang penuh dengan ikan-ikan bersisik terang yang pasrah di santap sang pelikan.

Beratahun-tahun lamanya siklus itu tidak berubah dan aku tetap setia duduk dan menikmati fenomena alam ini, entahlah sampai berapa tahun lagi burung-burung pelikan dan ikan-ikan saling menghidupi dan bermain, hampir sepanjang musim di bumi ini, semua jenis burung hadir, ada yang hanya mendarat sebentar lalu pergi, dan apa juga yang hanya seminggu saja lalu melanjutkan perjalanan mereka ke benua lainnya.

Ini adalah tanah, dan danau persinggahan yang hanya ditandai oleh kedua pohon yang dengan setia berdiri teguh acuh tak acuh, puluhan tahun pohon danau ini menjadi saksi kisah hidup manusia yang bercinta dan menangis sambil bersandar punggung di pohon, sudah banyak kekasih yang menikah dan memiliki keturunan dari generasi ke generasi.

Seperti sebuah pohon Tamariska, di mana Ibrahim menanam pohon sejarah bangsa-bangsa di gurun kering gersang. Ya, sebuah pohon kesaksian yang tak pernah mengeluh dan menangis, hanya diam meneduhkan setiap orang yang singgah ataupun sekedar melepas lelah.

Berbahagialah engkau pohon yang hidup di pinggir danau, di mana setiap makhluk terbang selalu merindukanmu untuk singgah ataupun sekedar mencium atau melihatmu, engkaupun menjadi tempat semua orang seisi kota untuk bertemu dan hanya sekedar berbicara, entah itu sebuah rahasia ataupun hanyalah sebah kata yang harus didengar oleh telinga, entahlah.

Dua pohon, mengapa engkau hanya dua tidak satu atau tiga, berbahagaialah engkau, sebab siapapun yang memandangmu dari kejauhan ataupun dekat, sesungguhnya engkau sepasang kekasih abadi. 
Jaga Blengko, 13-3-14 


Sabtu, 14 Juni 2014

Jangan Coba-coba!

Jangan coba-coba mengirimkan naskah ke media atau penerbit besar kalau membenarkan tanda baca, menulis kosakata, masih banyak terdapat kekeliruan menulis ejaan, dan kacau secara keseluruhan. Besar kemungkinan pasti akan ditolak. Jangankan penerbit atau media besar, media kecil saja mungkin akan enggan menerima sekali pun jutaan kali Anda mengirimkan naskah.

Jangan Menunggu Ditegur

Apakah harus penerbit, media, atau redaktur yang sering menuntut Anda, terlebih menegur untuk bisa sempurna ketika berkarya? Tentu tidak bijak dan etis jika itu dilakukan secara berulangkali, apa lagi jika Anda sudah memiliki banyak pengalaman dalam hal menulis, terkecuali jika Anda sama sekali belum pernah menulis dan sama sekali belum menghasilkan sebuah karya, maka wajar pihak terkait tersebut memberi arahan terhadap diri Anda. Idealnya, Anda sendiri yang harus menyempurnakan diri ketika berkarya, dari cara penulisan, teknis, atau hal-hal lain yang menyangkut karya Anda sendiri. Tentunya jika hal itu sudah sempurna Anda lakukan, besar kemungkinan pihak terkait tidak akan pusing, terlebih sakit kepala, ketika membaca karya Anda. Dan pastinya, pihak-pihak terkait itu takkan lagi banyak geleng-geleng kepala karena 'kedunguan', 'keras kepala', dan dicampur dengan kemalasan yang Anda biarkan dalam diri sendiri.

Simpan Idealisme!

Kalau Anda suka menulis di media massa, simpan idealisme menulis yang diyakini, sebab hal itu akan mempersulit sekaligus memperlama pemuatan. Biarkan redakturnya saja yang idealis. Terlepas dari keberuntungan atau benar tidaknya, dengan begitu karya Anda akan lancar untuk dipublikasikan.

Selesai Atau Tidak?

Karya yang tak selesai bukan karena isi tulisan yang masih berantakan, atau substansinya kurang sempurna, melainkan karya yang sudah ditulis namun tidak dijamah lagi sampai kapan pun.

Cepat Atau Lambat

Seberapa cepat karya Anda diterbitkan? Secepat Anda membuat karya yang bagus secara keseluruhan dan minim kekeliruan secara mendasar. Jika masih terdapat kekeliruan fatal, terlebih nyaris tidak bagus secara keseluruhan, berjuanglah secara terus menerus memperbaiki kekurangan-kekurangan tersebut.

Rabu, 11 Juni 2014

Butuh Kematangan, Bukan Kecepatan

Karya yang dikerjakan selama bertahun-tahun saja masih rentan kekeliruan bahkan tak luput dari kesalahan fatal, lalu bagaimana dengan karya yang hanya dikerjakan dalam waktu sehari? Terlepas dari benar atau tidak, sungguh tak dapat dibayangkan betapa sangat buruk hasil karya tersebut nantinya. Apa yang ingin dikejar para penulis semacam itu? Apa yang akan didapatkan? Kepuasan? Kepuasan yang mana? Kualitas? Kualitas yang mana? Bagian dari latihan? Latihan macam apa? Sudah pasti hanya rasa lelah yang didapatkan ketimbang banyaknya manfaat yang diberikan atau pun yang didapatkan dari karya semacam itu. Alangkah lebih baik tidak berkarya sama sekali daripada berkarya terlalu cepat namun berdampak sangat buruk bagi banyak orang.

Terus Berlatih dan Terus Menulis!

"Mengapa tulisan mereka bagus dan sering dipublikasikan di berbagai media atau penerbitan?" tanya seseorang yang baru belajar menulis.
"Karena mereka terus berlatih dan terus menulis. Itu jawabnya."
"Tapi saya masih minim pengalaman. Belum tahu banyak soal teori menulis yang baik. Belum tahu cara mengirimkannya."
"Teruslah berlatih, dan teruslah menulis!"
"Kira-kira butuh berapa lama untuk bisa dipublikasikan di media atau penerbitan?"
"Teruslah berlatih, dan teruslah menulis."
"Kok, jawabnya begitu terus?"
"Ya. Dengan terus berlatih dan terus menulis, diimbangi dengan usaha keras, pengetahuan tentang semua pertanyaan itu akan terjawab. Dan dengan sendirinya, Anda akan menjadi terlatih sebagai seorang penulis."

Senin, 09 Juni 2014

Menulis Tanpa Henti

Walau satu kata, menulislah! Sumber mata air yang tak meneteskan air selain kotor juga akan menghambat aliran air yang akan mengalir. Semakin terlatih seseorang dalam menulis, maka akan semakin membuat dirinya kaya esensi dalam kata-kata.

Puisi-puisi: Cipta Arief Wibawa


Kehilangan di Pihak Kami

sebentar lagi kau akan mengerti bahwa
sepi tak hanya bertambah lewat puisi.
hari itu renyai hujan berhamburan dari langit
dan mata kami, mengalirkan jalan bagi
kesedihan untuk datang dan mengucapimu
selamat pulang.
seperti ini rasanya kehilangan?
kenapa mirip dengan saat mendapat
nilai nol ketika ujian?
sementara, orang-orang terus membilang
kebaikan, mengumpulkannya sebagai tabungan
untuk disimpan dalam tubuhmu yang kusam.
lantas, di pinggir pertemuan
masing-masing kita mulai mengukur langkah.
memastikan jarak harus setipis
tubuh dan tanah.

pertanyaannya,
telah berapa
banyak kenangan
dikurangkan
setelah airmata habis
kita bagikan?
2014


Melayang di Udara

dalam gerak lambat, pesawatmu melayang.
tidak tinggi benar, menyusuri seprai putih.
ada rahasia kecil, di balik kasur. liur membuih,
tampak sebagai danau di kejauhan.
di bandara orang-orang sepertiku diam.
tidur terentang dan memandangi awan.
ada langit biru yang terciprat merah.
serombongan hering berkisar, barangkali
di sana ada mangsa yang selama ini
mereka intai. bagimu kehidupan
adalah mereka. alasan hanya pelengkap,
atau mungkin kelebihan yang sedikit
memberi beda.
pelukis kesulitan menggambar, sementara
pematung hanya menukul dalam mimpinya.
sungguh agung. mereka seperti kaus kaki angin
yang siap bergerak sesuai kedatangan
musim. sedangkan sebelum hari ini kau
telah berpesan, tolong belikan tiket pulang.
dan aku mengangguk, membayangkan
di suatu ketika engkau akan lewat
dengan senyum mengembang,
persis seorang turis dalam sambutan
“selamat datang”
2014