Ketika aku
mengamati perut buncit Pakde, tiba-tiba pandanganku merembang. Gelombang hitam
serupa terowongan berpusar kencang bagai topan. Kepalaku pening. Aku serasa
terseret ke dalam pusaran itu. Gelap.
AKU tak tahu dimana
diriku. Seperti mimpi, sepertinya juga bukan. Kubuka GPS smartphone,
namun tak menunjukkan koordinat keberadaanku. Tak ada sinyal disini. Tapi semua
nampak begitu akrab: pohon hijau, gunung kapur, sungai mengalir sampai ke laut
dan orang-orang telanjang badan berbondong menuju pinggul sungai. Mereka
mengambil air, mencuci, mandi, buang hajat dan ada pula yang mencari ikan.
Aku mencoba mendekati mereka, sekadar menanyakan dimana aku berada.
Baru berjarak sepuluh meter dari sungai itu, bau anyir menubruk hidungku. Tajam sekali. Kecurigaanku kian bulat saat aku berpapasan dengan seorang perempuan dari sungai. Tubuhnya berkilat-kilat. Merah. Anyir. Seperti aroma darah. Tangannya kanannya menggendong bak cucian, sedang tangan kirinya membawa jirigen kecil.
Seoalah paham atas keherananku, perempuan itu mengajakku duduk. Setelah aku duduk, ia lalu meletakkan bawaannya di atas rumput kering. Tanpa kuminta, ia langsung bersapa:
“Kisanak tak perlu kaget dengan sungai ini.” ucapnya kalem. ”Dari dulu, beginilah sungai ini. Oleh leluhur kami, sungai ini dinamai Sungai Darah.”
Aku memandang matanya, penuh binar cahaya. Tak seperti mata orang-orang yang kutahu menyembunyikan kebohongan.
“Apa?” aku seolah tak percaya. Mana mungkin pada zaman modern seperti ini ada sungai darah. Setahuku, itu hanya sepotong kisah dalam kitab cerita Musa melawan kelaliman Firaun yang ngotot tak mau percaya bahwa Musa adalah utusan Tuhan. Dan kalaupun ada, pasti itu hanya cerita rekaan sama halnya Blood Moon, bulan darah.
“Benar. Sungai Darah.” Perempuan itu ingin menyakinkanku bahwa yang ia katakan benar. Ia menumpahkan sedikit air dari jirigen kecil bawaannya pada telapak tangannya. Ia munjukkannya padaku.
“Benar. Ini darah.” aku mencolek genangan merah di telapak tangannya. Mencecap colekan tadi hanya untuk memastikan saja. Ternyata benar. Asin dan amis.
“Dari dulu, sungai ini mengalir dari hulu perut ketamakan seorang lelaki. Kami akrab menyebut lelaki itu Qatil.”
“Pakde?!”
Telingaku seolah tak yakin apa yang dikatakan perempuan itu. Darimana dia tahu nama Pakde, sedang di sungai ini hanya nampak perempuan saja?
“Mungkin saja. Kami menamai orang-orang seperti itu dengan sebutan Qatil.”
Barangkali perempuan itu punya ilmu terawang, sehingga apa yang kudesirkan—bagaimana sungai ini mengalir?—langsung ia beri jawaban.
“Sungai ini akan terus mengalir selama lelaki itu dan orang-orang sepertinya terus mengorbankan orang-orang di sekitarnya demi menambang kekayaan. Lalu orang-orang yang dikorbankan akan terlarung dari liang ruh sampai kesini. Sedang raganya telah dikuburkan atau barangkali dikremasi oleh keluarga yang ditinggalkannya.”
“Jadi,
orang-orang yang dikorbankan mati begitu saja?”
“Tidak. Ruh mereka akan menjelma menjadi ikan-ikan yang berenang di sungai ini. sautu waktu sekali, lelaki yang kami panggil Qotil itu akan datang kemari, member makan ikan-ikan dengan kembang dan bebijian.”
“Kami tak akan pernah cemas, apalagi takut jikalau suatu waktu sungai ini akan kering. Meski kemarau meranjau tanah dimana-mana, menciptakan lobang dan retakan, sungai ini akan tetap mengalir. Deras seperti biasanya. Bahkan bisa jadi justru lebih deras dari sebelumnya.”
“Bagaimana mungkin itu terjadi? Itu sangat berlawanan dengan hukum daur air.”
“Tapi beginilah aturannya. Sebab, selama lelaki itu dan orang-orang sepertinya masih melarungkan korban, sungai ini akan istiqomah mengalir. Ikan-ikannya akan semakin banyak seiring banyaknya jumlah korban lelaki itu.”
Mendengar penjelasan perempuan itu, dadaku terasa sesak. Dan entahlah, darah tiba-tiba mengucur dari tubuhku. Mengalir dari tubuhku yang robek. Aku mengamatinya lamat-lamat, darahku mengalir ke sungai itu. Lalu gelap mengerjap.
Baru ketika cahaya tumpah ke retina, kudapati diriku telah mengambang di tubuh Sungai Darah. Aku masih bisa melihat perut buncit Pakde, sosok lelaki yang disebut-sebut oleh perempuan misterius Sungai Darah sebagai Qobil, hulu sungai atau sumber sungai ini.
Lelaki perut buncit itu, lewat tangannya ia melempariku kembang dan bebijian seperti kacang hijau. Aku berteriak-teriak memanggilnya. Melambai-lambainya. Meminta tolong untuk mengangkatku dari sungai yang amis ini. Tapi apa daya, aku baru sadar aku tak lagi punya tangan. Tak juga kaki. Hanya tubuhku yang penuh sisik.
Tuban-Juwana,
3 Mei 2014
Diberitahukan kepada Sdr Umar Affiq, berhubung cerpen berjudul "Sungai Darah" dipublikasikan di media berbeda dan di hari yang sama (29/06), maka dengan ini kami sampaikan bahwa pemberian buku sebagai ganti royalti kami tiadakan. Naskah tidak akan kami hapus karena sebagai bahan pertimbangan dan juga arsip atas seleksi yang sudah kami lakukan. Semoga tidak terjadi salah pengertian di kemudian hari. Terimakasih. Salam. (Redaksi).
BalasHapus