Senin, 12 Mei 2014

Puisi-puisi: Anam Khoirul Anam


Anak-anak Kehidupan
1/
PERNAHKAH kamu dengar tentang kisah seorang bocah yang lari ke hutan karena ketakutan dengan saudaranya yang kejam? Pernahkah kamu dengar cerita tentang seorang gadis lari ke tengah laut karena takut dikawinkan dengan lelaki tua sebagai ganti hutang?

Tahukan bagaimana perasaan kedua anak itu ketika malam-malam, ketika sebayanya ditimang manja orangtuanya? Tentu itu lebih terasa sakit daripada sengat atau pun sekedar anjing menggigit kulit. Ya, kita memang harus cerdas membedakan mana pesakitan karena rasa cinta, dan mana pesakitan karena dianiaya.

Buih laut lebih mencintai anak-anak pantai daripada samudera. Buih lebih mencintai pasir daripada lautan. Buih lebih suka pada karang daripada selat. Sebab ia takkan disebut sebagai buih jika berada di tengah laut dan gelombang. Ia akan benar-benar disebut sebagai buih jika berada di tepian.

Seorang anak akan merasa dicintai, disayangi, dan akan ada ketika ia didengar. Ketika kata lembut orang tua menyapanya dengan sebutan: Anakku, bukan dengan dengan sebutan namanya, atau bahkan yang lainnya.

2/
TAPI cuaca tak bersahabat. Ia begitu ribut selepas pancaroba. Jauh di kutub salju runtuh satu demi satu. Musim pengujan sedemikian tak tentu. Terkadang hujan sedemikian lebat di bulan Januari lalu merotasi di bulan Februari. Bagaiamana anak-anak itu akan nyenyak tidur bila geludug begitu panjang berjalan di langit. Berulangkali kilat memecut pekat. Lalu gemuruhnya runtuh tepat di atas atap rumah.

Bukan! Ini bukan salah cuaca. Ini juga bukan salah semesta. Tapi kembali lagi pada sifat manusia yang seringkali keluar dari poros edarnya.

Sungguh, bagaimana perasaan kita ketika anak-anak yang semestinya tak terjaga di malam buta, harus berjuang melawan ketakutannya? Kiranya tak cukup kita menenangkan gejolak batinnya.

3/
KINI anak laki-laki itu telah tumbuh menjadi jiwa-jiwa singa perkasa. Sebab cinta telah menumbuhkan ruh dalam kekuatan yang utuh. Mereka tak lagi nyiut dengan amuk badai. Ia menyusuri jalan-jalan menuju kota; dimana banyak orang-orang sakit di dalamnya. Ia bagai Isa yang dengan mukjizatnya mampu sembuhkan beragam penyakit dan rasa sakit.

Laki-laki yang dulu hanya bersembunyi di balik ketiakmu entah karena malu atau karena takut akan sesuatu, kini telah tumbuh menjadi ksatria. Ia telah berani menghunus pedangnya, lalu menyambar kegelapan dengan sisi mata pedangnya yang begitu tajam.

Cukuplah bagi kita merestui langkahnya, jangan sampai kecemasan yang kita rasa justru mengganjal langkahnya. Biarkan saja mereka membentuk hidupnya sendiri. Biarkan mereka tumbuh dengan caranya sendiri. Cukuplah kita menjadi pembimbing terbaik, orangtua sekaligus menjadi sahabat terbaik. Bukankah sejauh apapun mereka pergi, mereka akan kembali? Mereka akan kembali pada kita sebagai anak-anak bumi yang telah dilahirkan dari Rahman dan Rahim cinta.
Yogyakarta, 11 Februari 2014





Menelaah Semesta
MARI menelaah sejenak perihal semesta yang kita huni. Mungkin kita perlu mengurai yang kasat sebelum menelisik pada yang tak kasat.

Bagaimana mungkin karang yang terdiri dari unsur tanah, pasir, dan bebatuan mampu melawan terjang badai? Bagaimana mungkin ia mampu berdiri jika hanya terdiri dari tiga unsur yang apabila kita tahu takkan mudah menyatu bila tak direkatkan sedemikian lekat. Ya, tak lain karena ketiganya dibangun atas kesadaran. Dibangun atas hakikat. Dan dibangun serta direkatkan oleh manfaat. Adakalanya memang ia akan runtuh. Adakalanya ia akan lebur seperti semula dan seperti asalnya. Pasir akan menjadi dirinya sendiri, demikian dengan tanah, pun batu.

Bukankah intisari dari laut adalah air. Bukankah tanpa keberadaan air, ia tak disebut sebagai laut. Bukankah tanpa air, laut hanya akan menjadi sahara?
Yogyakarta, 11 Februari 2014


Tidak ada komentar:

Posting Komentar