Senin, 20 Januari 2014

Cerpen: Anam Khoirul Anam



Anjing Tetangga


GABRIEL itu anjing tetanggaku. Ia mati bukan karena bunuh diri, pun tak dibunuh orang. Ia mati keracunan roti kadaluarsa. Beberapa hari lalu memang ada hajatan besar pernikahan di RT sebelah. Dan yang menikah itu kebetulan adalah kekasihku yang sebulan lalu memutuskan hubungan denganku. Sebelum meregang nyawa, ada busa keluar dan memenuhi moncong mulutnya. Kedua matanya berkedip-kedip. Meredup. Lalu tertutup. Roti kadaluarsa itulah penyebab nyawanya meregang. Pemiliknya sering memberi makan secara sembarangan. Setahuku, anjing itu tak pernah ke mana-mana selain di tempatnya dengan leher terikat pada tiang dekat kandangnya sendiri. Tiap hari ia hanya keluar masuk kandang dengan kondisi serupa, leher terikat. Si pemilik anjing tak mau melepaskan ikatan itu karena tak ingin cari masalah dengan tetangga. Anjing itu masih sulit dijinakkan. Galak. Anjng itu akan menggongong kalau ada orang melintas di depan rumah majikannya. Itu sangat menakutkan bagiku. Takut jika sewaktu-waktu lepas dan aku tak siap lari sekencang-kencangnya untuk menyelamatkan diri.
Dan, kekhawatiranku benar-benar terjadi.
Masih hangat diingatan tentang bagaimana mula kesialan itu terjadi padaku. Sore itu, ya, sore itu, seperti biasa aku hendak bermain bola dengan teman-teman selepas salat Ashar. Namun siapa nyana jika secara tiba-tiba seekor anjing besar menubruk tubuhku dari arah samping. Aku tak sempat lari. Aku tak sempat menghindar. Aku tak dapat berkutik. Tak ada suara menggonggong sebelumnya. Aku baru mendengar gonggongan anjing itu setelah berjarak kurang lebih tiga langkah. Jarak sedekat itu tentu menjadi hal tersulit untuk berpikir tentang bagaimana cara menghindari bahaya. Terlebih rasa takut dan panik campur aduk jadi satu, hal itu semakin mempersulit langkahku beranjak. Kalau pun aku bisa lari, tentu tak seperti larinya seorang yang dalam kondisi siap siaga. Benarlah. Aku lari pontang-panting. Jatuh terjengkang setelah menubruk tong sampah. Kaki kiriku jadi sasaran. Betisku digigitnya hingga luka parah. Betisku bersimbah darah. Susah payah kulepaskan gigitan. Aku menjerit. Aku meringis. Histeris. Merintih menahan pedih perih. Namun usahaku melepaskan diri hanya sia-sia.
Warga sekitar segera menyelamatkanku dari maut yang nyaris mengancam keselamatan jiwaku. Ah, hari itu aku memang benar-benar sial. Beruntung bukan leherku yang digigit. Jika itu terjadi, mungkin aku akan mati. Ruhku akan terenggut dan meregang dari raga. Aku hanya diberi beberapa lembar uang sebagai ganti pertanggungjawaban dan sebagai biaya berobat dari pemilik anjing tersebut. “Maaf atas kejadian ini. Ini untuk berobat!” kata lelaki itu sembari menyodorkan beberapa lembar uang padaku. Aku ingin menolak, tapi aku tak munafik. Uangku tak cukup untuk biaya pengobatan. Kuterima uang itu meski dengan setengah hati.  Kasus yang menimpaku memang bisa jadi kasus hukum, tapi aku tak ingin memperpanjang urusan. Sebab kutahu jika masuk ke ranah itu urusan takkan pernah selesai dengan memuaskan. Bahkan takkan pernah selesai karena dianggap sebagai kasus murahan serta tidak menguntungkan. Terlebih lawanku adalah orang berduit. Percuma jika diperpanjang. Hanya cari masalah buat diri sendiri. Biarlah! Rasa sakit jasmani dan rohani kutanggung sendiri. Toh, nyawaku tak melayang karenanya.
Ada keteledoran dari pemilik anjing itu ketika mengikat hewan piaraannya dan lupa menutup pintu gerbang. Biasanya pintu gerbang itu selalu tertutup sekali pun penghuninya berada di dalam rumah. Setelah diselidiki mengapa anjing itu bisa terlepas, ternyata tali pengikatnya sudah retas. Sudah seringkali warga memperingatkan agar anjing itu diikat dengan rantai, bukan dengan tali dari bahan kain, sekali pun itu khusus untuk anjing, namun teguran itu hanya jadi angin lalu baginya. Sudah banyak korban, dan mungkin saat itu adalah giliranku mendapatkannya. Entah karena merasa paling kaya, atau karena faktor lain hingga ia bersikap seperti itu. Kata para warga, pemilik rumah mewah itu memang nyaris tak pernah berkumpul dengan warga. Bahkan ketika mendapat undangan, entah kegiatan kampung, atau acara kampung, nyaris tak pernah datang. Sikapnya tak ramah. Bahkan pernah seorang anak kecil umur 10 tahun diusir secara kasar karena sudah merusak pot bunga yang ada di teras rumahnya. Tak hanya memecut dengan kata-kata kasar, tapi juga disertai dengan gagang sapu. Sudah tentu orangtua bocah itu tidak akan banyak tuntut, sebab jika hal itu dilakukan pasti hanya akan cari masalah. Buang tenaga, dan sia-sia.
Anjing itu telah mati. Mati karena makan roti kadaluarsa yang diberikan majikannya sendiri. Pemilik anjing itu memang sering buang-buang makanan. Hal itu ditegaskan dengan adanya tumpukan sampah yang sebagian besar adalah sisa makanan. Orang kaya itu sering buang sisa makanan yang masih utuh atau pun sisa makanan yang sudah basi. Sudah bisa dipastikan, jika tukang sampah terlambat datang, bau busuk dari sisa makanan dalam tong sampah itu akan sangat menyengat dan mengganggu pengguna jalan yang sedang melintas. Kini tak lagi terdengar suara gonggong anjing itu. Rumah besar itu akhirnya sepi dari suara-suara. Terkecuali pertengkaran dalam rumah tangga yang nyaris terjadi tiap hari.

***
AKU belum membasuh bekas gigitan anjing itu hingga tujuh kali, karena sampai saat ini sayatan luka yang mengoyak betisku makin parah. Sejak kejadian itu, aku hanya membersihkan sisa darah di betisku dengan air. Aku tidak kuat menahan perih jika membasuh dengan sabun. Aku juga takut infeksi jika menggunakan debu, karena lingkungan tempat tinggalku begitu kumuh, kotor, dan jorok. Banyak kotoran ayam, kambing, sapi, anjing, dan binatang lainnya berkeliaran di mana-mana. Lebih parahnya, lingkungan sekitar lebih suka buang air sembarangan padahal ada sungai dan sudah disediakan WC umum. Tapi warga lebih memilih cara lain untuk buang kotoran secara sembarangan. Hanya sampah atau limbah rumah tangga yang secara tertib dikelola dengan baik. Alasan utama mengapa hanya libah rumah tangga yang dikelola, karena mendatangkan keuntungan finansial serta keuntungan-keuntungan lainnya. Sepertinya akan menjadi najis jika aku memaksakan diri untuk membasuh lukaku dengan debu. Pengetahuanku tentang agama dan kedokteran masih cekak, jadi aku tak mau ambil resiko atas ketidaktahuanku hingga akhirnya berakibat fatal.
Kata dokter kakiku harus diamputasi. “Ini akan sangat berbahaya jika dibiarkan. Kaki Anda harus segera diamputasi,” terang Dokter setelah mendiagnosa bekas gigitan anjing itu di betisku. Tapi aku menolak karena aku ingin tampil normal. Aku tak ingin sakit. Aku tak ingin cacat seumur hidup. Aku yakin pasti ada solusi atau alternatif lain selain harus mengamputasi kakiku.
Karena belum membasuh tujuh kali kakiku dengan debu dan air, tentu aku tak boleh salat karena tubuhku masih najis. Aku tak lagi suci. Konsekuensi pun harus kutanggung. Tetangga sekitar kemudian menghukum serta menghakimi diriku sebagai kafir. Aku dianggap demikian karena telah meinggalkan kewajiban lima waktu. Ketika kali pertama aku datang ke kampung itu, warga sekitar mengakui jika diriku adalah pemuda yang rajin beribadah. Tapi anggapan itu memudar, bahkan berbalik negatif. Di kampung itu aku adalah pendatang. Aku berasal dari desa terpencil di Jawa Timur. Keputusanku membiarkan luka gigitan anjing itu menuai cibiran. Keputusanku untuk tidak bertanya pada ‘orang pintar’ perihal kasus yang menimpaku berbuntut masalah serta membuatku dijauhi. Nyaris aku dimusuhi. Masih untung aku tidak diusir. Bagaimana aku akan bertanya pada ‘orang pintar’ di kampung itu jika sebelum bertanya aku sudah dibenci karena tak sepemikiran dengannya. Tak se-mazhab dengannya. Aku bertanya pada ‘orang pintar’ lewat surat elektronik (e-mail) tak juga kunjung ada jawaban. Menunggu jawaban dari jarak jauh yang tak segera dibalas sama seperti membiarkan waktu terus terulur sedangkan ada sesuatu yang tak bisa dibiarkan menunggu terlalu lama. Menunggu jawaban tak pasti semacam itu tentu akan membiarkan lukaku makin meradang. Mencari lewat buku, nyatanya tidak tuntas dalam mengupas, bahkan untuk kasus yang kucari tak juga kutemukan jawabnya. Aku tak puas dengan apa yang dikupas. Justru melahirkan rasa ragu.
Aku masih punya iman, hanya saja aku tak melaksanakan kewajiban karena tubuhku terhalang najis yang tak kunjung kubersihkan. Perlu ditegaskan bahwa aku tak pernah menyatakan diri jika telah menjadi kafir. Jika aku menyatakan diri sebagai kafir, aku harus mengubah identitas agamaku sebagai kafir, bukan lagi tertulis: Islam atau Muslim. Tapi tidak! Lingkungan sudah sedemikian kejam menudingku seperti itu. Jadi, bagi lingkunganku, aku telah kafir, sekali pun pada dasarnya aku tak menyatakan diri sebagai seorang murtad.
Makin hari luka gigitan anjing itu semakin membusuk. Bau busuk itu semakin menyengat ketika pembalutnya kubuka. Sontak hal itu memicu kemarahan orang sekitar. Sudah pasti mereka akan merasa mual bahkan muntah bila mencium bau busuk dari kakiku. Seringkali orang di sekitarku menyarankan untuk segera berobat. Tapi itu hanya seruan saja, bukan memberi solusi bijak. Mana mungkin aku bisa berobat jika uangku hanya cukup untuk makan sehari-hari. Biaya berobat untuk penyakitku tentu jauh lebih mahal dari biaya hidupku. Terlebih penghasilanku yang tak pasti tiap bulannya, didukung dengan status sosialku yang hanya dari kalangan bawah. Tentu ini akan semakin mempersulit jalanku mendapatkan layanan kesehatan. Kalau pun mendapatkan, pasti tak ramah.
Mungkin karena mendapat pengaduan dari warga, akhirnya seorang lelaki berperawakan tambun datang ke tempatku. Lelaki itu adalah pak RT. “Atas pengaduan warga sekitar. Saya datang untuk memberitahukan pada Saudara agar mempertimbangkan lebih matang untuk tetap tinggal di kampung ini, atau ingin pindah tempat tinggal di kampung yang lain,” begitu tegur pak RT, menyampaikan pengaduan warga yang dialamatkan padanya. Tak lama ia bertamu di tempatku. Ia pun pergi dengan ekspresi yang kurang enak dipandang. Mungkin karena tak tahan dengan bau busuk, atau karena memang mengharapkan diriku segera angkat kaki dari kampung tersebut.
Aku hanya diam.
Hampir sepekan aku memikirkan keputusanku selanjutnya. Antara bertahan di kampung itu, atau pindah ke tempat lain. Kondisi ini tentu tidak bisa diulur-ulur lebih lama, terlebih sudah ada teguran dari ketua RT. Tentu hal ini sudah krtitis dan perlu keputusan tegas. Semakin aku mengulur akan semakin meruncing masalah. Semakin lama aku mengulur waktu, tentu akan semakin berdampat tak baik bagiku dan juga lingkungan sekitarku. Aku harus segera ambil keputusan. Ini sudah sangat genting.
“Tuhan. Maafkan hambaMu yang bersikap dzalim ini,” ucapku dalam batin yang perih.
Suasana di luar rumah begitu hening. Hanya ada beberapa orang yang tampak berseliweran namun tak menyusutkan keheningan yang ada.
Aku pergi ke dapur. Kulihat ada sebilah parang berukuran sedang tergeletak di atas jubin. “Mungkin ini lebih baik,” pikirku. “Kalau pun aku harus pindah tempat, hasilnya juga sama saja. Bahkan mungkin akan memicu kemarahan lebih besar lagi. Aku pasti akan dibenci dan dimusuhi, bahkan lebih sengit dari kampung ini. Dengan cara ini, tentu aku tak perlu keluar biaya lebih banyak lagi. Tak perlu meresahkan warga lebih banyak lagi karena masalah kakiku ini. Keputusanku ini tentu akan membebaskan diriku dari beban. Selain itu aku juga akan terbebas dari penyakit yang mungkin akan menjalar bahkan mungkin akan menjangkit. Tentunya keputusanku ini akan mendapat kembali ijin tinggal di kampung ini. Aku sudah malas beradaptasi dengan lingkungan baru,” batinku.
Aku memejamkan mata. Menghirup nafas dalam-dalam. Semakin dalam dan makin dalam hingga terasa lega. Aku merasa ada gigitan yang terasa begitu sakit. Perih bercampur nyeri. Lama aku terpejam. Setelah rasa sakit yang menggigit itu mereda, tanpa beban dan secara pelan-pelan kubuka kedua mata. Dan aku sudah mendapati kakiku tinggal sebelah, hanya tinggal sebelah kanan, selebihnya sebagian kiri sudah terlepas. []
Yogyakarta, 18 Desember 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar