Jumat, 20 Desember 2013

Puisi-puisi: Lasinta Ari Nendra Wibawa, S.T.

 DOA

I. bersama hujan kutitipkan muatanku padamu
   sebab kau yang mewakiliku menuju muara rindu
   sampaikan pula lumpur yang menempel di baju
   jangan lama-lama, aku bisa menjadi arca batu

  melesatlah engkau serupa seekor pegasus
  menuju singgasana Dzat Yang Maha Kudus
  sapalah jua malaikat yang tersenyum arif tulus
  yang menukar muatan di punggungmu
  dengan sebuah kado khusus

II. hilir mudik kau sampaikan semua pesanku
    kemudian kembali mesra di pangkuanku tepat waktu
    istirahatlah, dan sejenak ceritakan kepadaku
   arti di balik senyuman yang kau tahan itu
   adakah kabar yang senantiasa aku tunggu

III.  lancar sekali kau bercerita tentang perjalanan
      kau bercerita lepas, tanpa paksaan, ataupun rasa enggan
      sesekali kau terdiam mencari kata yang sepadan
     untuk melukiskan pengalamanmu yang mengagumkan
     tentang sambutan dan upacara penghormatan
     aku mengerti, Mereka memperlakukanmu penuh kearifan
Surakarta, 2010


PERJALANAN DEBU


apa yang kau pikir tentang debu
selain serbuk halus mengembara berlalu
seperti tamu yang tak pernah ditunggu
yang menerobos jendela dan celah pintu
ketika asyik tidur sambil berlagu

yang lembut tak terlihat di kamar gelap
juga di tempat berlampu saling menatap
kecuali kau nyalakan senter bersinar mantap
lalu menyorotinya di ruang pengap
berkerumun ia seperti sekawanan rayap

lewat hembusan angin ia berkelana
menyinggahi benda-benda yang ia suka
sebelum air sabun mengusirnya
sejenak kemudian meninggalkannya
tapi esok kau lihat ia masih di sana

kuyakin kau telah lama mengenal
sebab kulitmu kerap memintanya tinggal
diam-diam tanpa izinmu, wahai peramal
meninggalkan lanskap dalam ketika tanggal
ketika kembali ke tempat ia berawal

apa yang kau pikir tentang debu
selain noda mengering dan membeku
yang kerap membuatmu malu
sewaktu mengendap di belakang baju
tanpa sepengetahuanmu
Surakarta, 2011


HIKAYAT SEBUTIR MUTIARA

apa yang kau harap dari sebutir pasir
yang mudah diusir angin meski semilir
diterbangkan lalu dijatuhkan di atas laut
terombang-ambing ombak pasang-surut
hingga perjalanan serasa mengasingkan diri
menuju kedalaman laut yang penuh misteri
dan celakalah bagi sekawanan tiram
yang tak waspada hingga aku bersemayam
di dalam cangkangnya
menimbulkan perih luar biasa
hingga terlihat betapa merananya ia kini
yang tak memiliki sepasang tangan dan kaki
yang tak mudah mengusir rasa sakit ini
tapi dengan bantuan liurnya yang licin
menumpuklah segala ingin
dengan sabar aku dibalut air liurnya
agar tergelincir keluar dengan sendirinya
hari, bulan, dan tahun-tahun pun berganti
pamitku adalah pertanda perih terobati
dan aku pangling sewaktu mematut diri
warna kulitku menjadi kian semarak
tubuhku mulai berbentuk kian acak
aku mulai menjalani peran berbeda
menjadi sebutir benda yang cukup berharga

Yogyakarta-Jepara, 2012


 

BIODATA PENULIS

Lasinta Ari Nendra Wibawa, S.T., lahir di Sukoharjo, 28 Januari 1988. Menulis puisi, cerpen, artikel, dan esai. Karyanya pernah dimuat di 40 media massa lokal-nasional, 26 buku antologi bersama yang terbit skala nasional-internasional, dan meraih 26 penghargaan. Buku kumpulan puisinya yang berjudul Alpha Centauri (Shell, 2012) menjadi referensi di Library of Congress, Cornell University, Michigan, USA. Alumni mahasiswa Teknik Mesin UNS ini bergiat sebagai redaktur Buletin Sastra Pawon, Solo.

Cerpen: Anam Khoirul Anam

Lelaki dan Gadis Pemain Biola


SIANG itu aku sedang berteduh di bawah rindang pepohonan di tepi danau. Airnya yang tenang mencoba melipur galau yang mengerumuni jiwaku. Keheningan yang tercipta mengaramkan segala kemelut yang membalut palung jiwa. Dan suasana yang lahir terasa begitu menghanyutkan imaji. Kulihat seekor katak sedang mencari mangsa. Dan ada dua ekor kupu-kupu sedang berkejaran di antara tumbuhan yang tumbuh liar di sekitar bibir danau.
Aku menatap langit bercampur awan sembari menyandarkan tubuh dan merebahkan kepalaku pada sebatang pohon. Semilir angin yang membuai serasa ingin mengantarkan aku ke alam mimpi. Namun aku coba bertahan dengan terus berdiam diri dalam renungan. Merenung, ya, merenung adalah salah satu cara dimana aku melipur segala kecamuk yang terus bergolak dalam diriku. Seringkali dengan merenung aku menemukan sesuatu yang memercikkan cahaya pemahaman baru untukku.
Kudengar kicau burung sedang bercerita tentang sesuatu pada semesta. Namun sayangnya, jiwa-jiwa yang berpijak di bumi terlalu larut dalam ambisi duniawi hingga cerita yang ia tuturkan pun tak sampai. Bak bicara dengan orang tuli. Tubuhnya masih tampak kuyup oleh air. Sesekali kulihat ia mengepakkan kedua sayapnya hingga berhamburan air yang membasahi bulu halusnya.
Hal-hal semacam inilah yang sering aku lakukan terhadap diriku sendiri, memperhatikan diriku sendiri dan menyelami diri lebih dalam. Atau mengamati peristiwa kehidupan sebagai teladan dan juga pengetahuan hidup. Dan tentunya hal semacam ini pula yang memancing imajiku menuju ruang fantastis. Memancing daya kreatif serta imajinatif walau semuanya terendap dalam kesunyian diri tak bertepi.
Panas yang begitu terik membuat kerongkonganku kering diserang dahaga. Meski begitu aku tak  perduli, sebab bagiku ketenangan batin yang lebih ingin aku cari dan dapatkan dalam kehidupan ini.
Kulihat seorang gadis datang dan duduk di bibir danau dengan membawa sebuah biola tanpa memperdulikan keberadaanku yang masih merebahkan badan di bawah pepohonan. Entah, ia sama sekali tak ingin memalingkan wajahnya padaku sekali pun sebenarnya dia tahu keberadaanku di tempat ini. Ia terdiam sejenak, menghirup nafas lalu memainkan biolanya. Jari-jemarinya yang lentik begitu terampil dan lincah hingga melahirkan irama yang sangat indah didengar. Ia terlihat begitu hikmat memainkan biolanya hingga tak memperdulikan apa yang ada di sekitarnya. Ia sangat piawai, tenang, dan sangat terlatih dalam bermain musik.
Menyaksikan hal itu, aku turut larut menikmati simphoni yang lahir saat itu. Irama yang ia mainkan begitu membuai imajiku, seakan mengantarkan diriku menuju sebuah ruang asing penuh keindahan yang menakjubkan.
Tiap kali aku ke danau tersebut, tanpa sengaja seringkali pula aku melihatnya memainkan biolanya walau tanpa ada tegur sapa denganku. Bahkan sepertinya keberadaanku adalah ketiadaan baginya. Dia memang tak pasti datang ke danau ini, tapi bisa dipastikan dalam sepekan aku seringkali melihatnya berada di situ dengan membawa beragam ekspresi yang ia pendam dari rumahnya.
Seperti apa yang telah ia lakukan, ia duduk di bawah pohon rindang. Kali ini ia berdandan begitu sederhana namun tetap terlihat anggun. Sejauh aku mengamatinya, ketika berada di danau tersebut, ia selalu berpenampilan sekedarnya. Tak penah aku melihatnya mengenakan busana serba terbuka, seronok, atau memperlihatkan lekuk tubuhnya. Sepertinya ia paham betul dengan gaya busana yang tepat untuknya. Tak harus gelamor, tapi tetap berpenampilan elegan. Sehelai kain syal ia lingkarkan dan ia ikatkan pada lehernya, seperti memakai jilbab, selain untuk melindungi diri dari terik matahari, hal itu juga dikarenakan untuk menutup rambutnya agar tidak acak-acakan diterpa embus angin.
Entah apa yang terjadi padanya dan apa yang sedang ia rasakan, kali ini aku mendapati sebuah pemandangan berbeda darinya. Sorot matanya tampak layu menyiratkan kesedihan yang begitu mendalam. Sepertinya beban berat sedang mengguncang dan mengacaukan laju pikirnya. Hal itu tersirat dari permainan biolanya yang tidak ritmis seperti yang sering kudengar, bahkan terasa sumbang dan tak dinamis. Harmonisasi yang ia mainkan terasa tak beraturan. Berulangkali ia gagal memainkan sebuah irama lagu. Kulihat ia menundukkan wajah dan menutup dengan kedua tangannya. Perlahan tubuhnya bergetar bercampur gigil. Sepertinya ia sedang menumpahkan beban di benaknya.
Aku berpikir, meski sudah akrab dan berulangkali bermusik dengan irama yang sama, namun jika suasana hati tak karuan akan sangat mempengaruhi konsentrasi dan juga cara bermusiknya.
Ia pun mengangkat wajahnya lalu menjuruskan pandangan jauh ke depan. Ia berkaca-kaca, dan di antara kedua pipinya ada sisa-sisa airmata jatuh berlinang. Entah apa yang sedang berkecamuk dalam pikirannya. Ada sesuatu yang mengusik ketenangan batinnya. Ia kembali meraih biola yang telah ia letakkan di pangkuannya lalu dengan separuh hati mencoba kembali bermain musik, namun lagi-lagi ia harus menuai kegagalan. Beberapa kali ia mencoba memainkan dawai-dawai biolanya, namun lagi-lagi ia mendapati hal serupa, bahkan terdengar jauh lebih buruk.
Untuk beberapa saat ia duduk terdiam dan meletakkan kembali biolanya pada pangkuan. Suasana yang berjalan semakin terasa lengang. Terlebih tak adanya suara-suara selain hanya angin yang mengayun-ayunkan dedaunan atau menyapu daun kering yang sudah gugur. Sesekali terdengar burung berkicau dan air yang memercik akibat benda jatuh.
Kulihat ia melempar secara pelan dan berulangkali batu kerikil yang ia pungut dari sekitar tempat duduknya. Entah apa yang terjadi, tak lama setelah itu ia kembali meraih biolanya dan mencoba memainkannya. Barangkali ia sedang mendapat ilham atau inspirasi dari bunyi-bunyian yang ditimbulkan dari percik air danau yang ia lempari dengan batu kerikil tersebut.
Benarlah apa yang aku kira, kali ini nada yang ia mainkan terasa sangat berbeda. Bunyi yang dihasilkan pun begitu merdu, syahdu, dan sangat menyentuh. Tampak sekali ia begitu menghayati permainannya. Sepertinya ia sudah memulih, ia mendapatkan kembali ruh permainannya yang cantik dan menakjubkan. Dan bersamaan dengan itu, datanglah angin bertiup sepoi-sepoi melambaikan beberapa helai rambutnya yang tergerai pada sebagian pundaknya.
Aku pun turut larut dalam alunan instrumentasi musik yang ia gubah. Dan imajiku pun terguggah, serasa terpanggil untuk berdansa di lantai keheningan yang menakjubkan. Bahkan tak dapat kupungkiri bahwa emosi jiwaku pun turut larut dalam simphoni yang begitu harmonis dan dinamis.
Tiba-tiba suasana hening dan hikmat itu pun berubah panik karena dawai biola gadis itu putus dan merobek sisi kiri wajahnya. Dengan tergesa aku berlari mendekat padanya dan segera membantu menutupi wajahnya dengan kain syal yang ia kalungkan pada lehernya. Darah segar terus mengalir hingga membasahi kain syal yang ia pergunakan sebagai pembalut luka.
Tanpa banyak bicara, aku segera membantunya berdiri lalu mengajak pulang ke rumahnya. Gadis itu pun memberi petunjuk jalan ke mana kami harus melangkahkan kaki. Secara tergesa kami melangkahkan kaki hingga sampailah kami di sebuah halaman rumah yang begitu megah dan sangat mewah. Kami segera masuk dan mengobati luka bekas sayatan dawai yang ada di wajahnya.
“Terimakasih sudah menolong dan membantuku,” ucapnya, meski masih terasa kaku dan dingin, sembari duduk di sofa.
“Sama-sama.”
“Untunglah dawainya tidak mengenai bola mataku,” ucapnya sekembali mengambil obat dan sambil mengoleskan obat pada luka di bagian bawah kelopak matanya. “Tentu aku akan sangat kehilangan harta paling berharga dalam hidupku,” lanjutnya.
Aku hanya mengiyakan apa yang sedang ia katakan padaku.
“Aku terlalu terbawa emosi ketika memainkan biola ini. Mungkin karena gesekan yang aku lakukan terlalu keras dan kasar hingga memutus dawainya,” tuturnya.
“Gubahan musikmu tadi sungguh indah. Kamu begitu piawai memainkan alat musik itu,” ucapku.
Aku mulai merasakan adanya keakraban antar kami.
Ia tersenyum, “Kadang aku mencoba menggubah sebuah irama lagu ketika mendapat inspirasi atau mengikuti suasana hatiku. Sebagian ada yang tuntas kugubah, tapi tak jarang pula ada yang gagal untuk aku selesaikan menjadi sebuah instrument musik,” terangnya.
Di sela itu kami pun saling berkenalan dan sedikit membumbui dengan cerita-cerita singkat tentang kehidupan kami sebagai bahan perbincangan.
Ia pun meminta maaf padaku karena tak menyapaku ketika ia ke danau. Aku memaklumi itu. Selain karena memang aku orang asing di daerah itu, aku juga menyadari betul bahwa diantara kami belum saling kenal.
Sesekali aku mengamati tiap sudut ruang rumahnya, dimana di dalamnya terdapat beragam pajangan hiasan dinding yang tentunya bernilai seni tinggi, mahal harganya, bahkan mungkin jauh dari mimpi dan harapan orang-orang miskin untuk mendapatkan atau memilikinya.
Dari perbincangan kami, baru kuketahui jika gadis itu memang memiliki talenta dalam bermusik. Hal itu ditegaskan dengan begitu banyaknya piala penghargaan yang ia dapatkan dari kejuaraan-kejuaraan yang pernah ia ikuti. Tak hanya tingkat nasional, tapi juga pada ajang internasional.
Ia begitu gemar memainkan musik klasik atau sesekali bermain musik kontemporer yang menurutnya memiliki citarasa dan kualitas tinggi. Baginya, musik klasik adalah komposisi nada yang begitu menakjubkan. Tak hanya harmonis, tapi juga memiliki citarasa yang sangat tinggi. Bila ia ingin memainkan musik tersebut, ia butuh ketenangan, ketentraman batin, dan setidaknya membutuhkan penghayatan penuh untuk memainkannya. Tak hanya membutuhkan kepiawaian memainkan alat musik, tapi juga harus pandai memainkan ritme emosi.
“Hal terpenting dan perlu diperhatikan dalam bermusik adalah memainkan emosi. Memainkan ritme emosi dalam bermusik itu sangat dibutuhkan. Sebab bermusik tidak sekedar bisa membunyikan nada atau irama, tapi juga harus benar-benar bisa menguasai emosi. Tak hanya emosi pemusiknya, tapi juga emosi para pendengarnya,” ungkapnya.
Lagu klasik yang sering ia mainkan adalah milik Beethoven atau pun Mozart, Paganini, dan maestro musik klasik lainnya. Adapun musik-musik instrumental era modern yang sering ia mainkan adalah Like an Angel, Prelude to April, Guardian Angel, Miracle of Life, Sarabande, Fuguetta, Toccata, Vivace, dan masih banyak lagi musik instrumental yang sering ia perdengarkan dari permainan seorang gitaris asal manca negara, salah satunya yakni Yngwie J. Malmsteen atau pun dari para maestro komponis lainnya.
“Bermusik adalah bentuk lain dari berdialog serta menyampaikan maksud hati pada orang lain dengan irama atau lagu. Dan lagu adalah bahasa yang paling lembut, selain bahasa puisi, syair, atau pun kasidah untuk menyuarakan hati walau pun dimainkan dengan tempo cepat dan keras,” tuturnya sembari memainkan instrument musik hasil gubahannya sendiri.
Di sekolah musik itulah ia mulai mengenal berbagai aliran musik, dari musik klasik, hingga ragam musik modern yang semakin mengalami perkembangan sedemikian pesat. Namun ia lebih suka memainkan musik klasik dari pada musik lainnya. Biola dan gitar adalah alat musik yang paling ia sukai diantara alat musik lainnya meski pun ada beberapa alat musik lain yang bisa ia mainkan seperti piano dan kecapi.
Tanpa rasa sungkan, ia pun menunjukkan padaku kepiawaiannya dalam bermain kedua alat musik tersebut dengan memutar salah satu lagu kesukaannya. Dari gramofon itu terdengar alunan musik instrumental karya Mozart. Dan sungguh betapa aku sangat berdecak kagum atas kepiawaiannya dalam memainkan gitar tersebut. Lalu, ia menunjukkan kepiawaiannya memainkan alat musik lainnya dengan diiringi musik insturmen kegemarannya.
Kami pun semakin akrab dan semakin komunikatif dalam berdialog. Ada banyak hal dan juga pertanyaan-pertanyaan yang bisa kusampaikan padanya. Dari cara bermain musik yang bagus hingga pengalaman hidup yang bisa kujadikan sebagai teladan.
Dan aku pun diajari tentang bagaimana teknik-teknik bermain gitar yang bagus. Dari tangga nada hingga melatih suara bernyanyi ia uraikan secara rinci walau sejujurnya dari apa yang ia uraikan tersebut aku belum begitu paham sepenuhnya.
“Setiap nada dalam sebuah lagu mampu mewakili ribuan bahasa hati, bahkan bisa dijadikan sebagai media berkomunikasi, tergantung pada pencipta lagu-lagu tersebut. Apakah lagu yang ia buat menggambarkan suasana hati yang sedang riang gembira atau sebaliknya. Disitulah peran seorang pencipta lagu. Setidaknya ia dituntut untuk bisa jenuis dalam menggubahnya sekalipun dengan sarana dan prasarana kurang memadahi.”
“Bagi mereka yang sudah terbiasa menciptakan lagu, maka dengan sangat mudah ia menghasilkan ribuan lagu dalam kurun waktu tertentu. Tapi, bermusik tidak sekedar membuat lagu, dinyanyikan, atau laku dijual, tapi lebih daripada itu. Seorang komponis selain dituntut jenius dalam menggubah lagu, ia harus bisa membuat lagu yang benar-benar bermutu, berkualitas, serta memiliki citarasa yang tinggi. Tak hanya sekedar bisa menyelesaikan dengan tuntas, enak didengar, lalu laku di pasaran. Lagu atau karya apapun yang hanya sekedar memenuhi selera pasaran bisa dipastikan akan segera hilang ketika pasar itu sudah tak berminat lagi pada karya tersebut. Beda halnya dengan lagu, musik, atau sebuah karya yang benar-benar digubah dengan kesungguhan hati, memperhatikan mutu serta kualitas. Selain tahan lama, bisa dipastikan musik atau karya tersebut enak didengar serta tahan lama. Salah satu buktinya adalah lagu atau instrument dari kompuser tempo dulu yang sangat populer serta akrab dipendengaran kita bahkan bisa dinikmati hingga kini seperti karya Mozart, Beethoven, Paganini, dan yang lainnya,” terangnya secara gamblang serta lugas.
“Orang-orang yang berkualitas biasanya selalu memilih sesuatu yang memiliki citarasa tinggi dan berkualitas, bukan segala sesuatu yang bersifat instan dan berselera pasaran,” ujarnya dengan intonasi menegaskan. “Perlu dimaklumi bahwa karya yang memiliki mutu serta kualitas cenderung kurang diminati, bahkan nyaris tak laku, dibandingkan dengan karya pasaran. Perlu digarisbawahi pula bahwa dalam hal ini tiap orang selalu tak sama ketika menilai sebuah karya. Menurut kita bagus, belum tentu menurut orang lain adalah bagus. Karena yang berbicara dalam hal ini adalah selera tiap masing-masing orang terhadap sebuah karya,” lanjutnya dengan intonasi menegaskan.
Di sela-sela itu kami saling berkisah tentang masa lalu atas kehidupan yang telah kami lewati. Ia pun mengisahkan betapa kehidupan yang ia jalani selama ini hanyalah bagai sosok yang berjalan sendirian di tengah malam gulita. Ia merasa bahwa gemerlap dan gelimang kemewahan yang ada di sekitarnya semakin membuat hidupnya terpuruk dalam kubang kesendirian tak berujung. Ia merasa bagaikan hidup di tengah-tengah fatamurgana.
“Sayangnya, semua kebahagiaan ini hanya seperti fatamurgana dalam kehidupanku sendiri,” ungkapnya. “Di lain sisi aku memang mendapatkan banyak fasilitas dan bisa dibilang bahwa aku selalu dalam kecukupan. Apapun yang kuinginkan sebagian besar pasti terkabulkan. Tapi di sisi lain pula, aku seperti air di atas daun talas. Aku merasa hidup dalam kesendirian di tengah-tengah kedua orangtuaku sendiri. Kebersamaanku dengan mereka bahkan bisa dihitung dengan jari, dan itu pun tak pasti. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah. Orangtuaku begitu ambisi dengan urusan mereka, sehingga aku dibiarkan tumbuh dan besar bukan atas perhatian penuh dari mereka, melainkan dari orang lain, walaupun mereka yang turut membesarkan, mengasuh, dan merawatku adalah kakek-nenekku sendiri. Aku benar-benar merasakan hampa, kesepian, dan seolah hidup sendirian atas keberadaan kedua orangtuaku sendiri dalam kehidupanku. Dan hal itulah yang membuatku selalu merasa iri dengan mereka-mereka yang mendapatkan kasih-sayang serta perhatian penuh dari kedua orangtuanya walau dalam kondisi kekurangan.”
Ia menghela nafas pelan, lalu mengembuskan ke udara. Sepetinya ia ingin membebaskan beban yang menyesak dalam dadanya.
“Bahkan kadang aku dititipkan pada orang lain jika kakek dan nenek sedang bepergian jauh atau sedang ada urusan lain yang tidak bisa diganggu. Ini memang terasa tak menyenangkan, tapi apa boleh buat? Semua harus aku terima dengan lapang dada. Aku masih bersyukur masih memiliki kakek-nenek yang begitu sayang dan mencintaiku setulus hati. Perhatian serta curah kasih sayang yang mereka berikan sedikit bisa melipur kepedihan yang begitu dalam kurasakan. Sungguh tak bisa kubayangkan jika kelak mereka sudah tiada. Aku benar-benar tak tahu apakah kelak kehidupanku akan jauh lebih baik, atau hidupku justru akan sebaliknya. Sebab aku tak yakin bisa hidup bahagia bersama kedua orangtuaku jika mereka masih tetap dengan kondisi dan cara yang seperti itu terhadapku. Entahlah?! Aku merasa pesimis, dan rasa pesimisku pada kenyataan sudah sedemikian akut hingga keyakinanku terasa memudar seiring waktu,” lanjutnya dengan mimik sedih.
Ia mendesah. Lalu menyeka bulir-bulir airmatanya yang jatuh berlinang. Tersirat dari wajahnya kisah pilu yang ia simpan jauh di kedalaman lubuk hatinya. Denting perih yang ia rasakan terasa tembus ke dalam dinding jiwaku. Aku pun turut merasakan sebagian dari apa yang sedang ia rasakan dan memercik diantara desir aliran darahku hingga menyusup dalam rasa yang kutelan ketika itu.
Meski ia terlahir dari keluarga yang berkecukupan, namun ia sama sekali tak ingin memperdulikan hal itu. Ia justru memilih jalannya sendiri; pilihan hidup yang membuatnya nyaman, aman, tentram, dan tentunya bisa membuat keseluruhan hidupnya bahagia. Hal itu ia buktikan dengan ketidakmauan dirinya untuk ikut bersama kedua orangtuanya, sekali pun kedua orangtuanya cukup mampu untuk memenuhi segala apa yang ia butuhkan. Tapi tidak untuk keinginannya. Ia justru lebih memilih atau perpikir lain yakni hidup serta tinggal di rumah kakek-neneknya.
“Aku tidak membenci mereka. Mereka masih kedua orangtuaku yang telah melahirkan aku, merawat, mendidik, serta membesarkan aku. Aku masih menaruh rasa hormat serta baktiku pada mereka. Aku hanya tak suka dengan gaya hidup mereka. Cara pandang hidup antara kami itulah yang membuat kebersamaan kami terasa renggang, bahkan beda adanya. Dan dari hal itu pula aku lebih memilih jalan hidupku sendiri daripada harus mengikuti atau menuruti keinginan mereka,” ungkapnya.
“Mereka seringkali bilang padaku kalau semua itu dilakukan untukku. Tapi semua yang mereka lakukan justru membuatku merasa semakin jauh dari mereka. Aku benar-benar merasa asing di tengah-tengah mereka. Bahkan aku merasa ada dalam ketiadaan diantara kehidupan mereka.”
“Aku tak membutuhkan kecukupan materi, sekalipun itu perlu, ada hal yang lebih penting dari pada sekedar mengurusi harta benda, duniawi. Aku hanya ingin kasih sayang dan cinta mereka. Sikap mereka itulah yang membuat hubungan antar kami kurang harmonis. Bagaimana mungkin diantara kami bisa saling berinteraksi secara komunikatif jika intensitas kebersamaan antara kami sangat jarang,” keluhnya.
Sejak rasa muak itu tak tertahankan dan meluap dari dalam dirinya, ia memutuskan untuk pergi dari rumahnya yang tak kalah mewah, bahkan mungkin lebih megah dari rumah yang ia tinggali saat ini.
Menurut apa yang ia kisahkan; bagaimana dirinya akan merasa bahagia jika di rumahnya sendiri justru kurang bahkan hampir tidak mendapat perhatian serta kasih sayang penuh dari kedua orangtuanya sendiri. “Dari kebutuhan materi, aku memang tak pernah kekurangan, bahkan apa pun yang aku minta pasti akan dikabulkan. Tapi aku tak bahagia dengan semua itu, bahkan aku merasa tak mendapat apa-apa selain hanya rasa hambar dan tawar dalam menjalani kehidupan,” ujarnya.
Pagi hari, sebelum subuh, ayahnya sudah pergi dan lebih sering pulang ke rumah saat malam sudah sedemikian larut. Demikian juga dengan ibunya, meski tidak sama persis seperti ayahnya, tetap saja kehampaan yang ia dapatkan di rumahnya. Dan begitu seterusnya pemandangan yang ia saksikan saban waktu. Kedua orangtuanya adalah pengusaha terkaya di daerah tersebut. Selain menjadi pengusaha kaya, tentunya kedua orangtuanya cukup terpandang serta memiliki tempat di pandangan masyarakat di daerah tersebut.
“Aku jenuh tiap hari dengan suasana seperti itu. Aku hanya tahu bahwa mereka adalah kedua orangtuaku oleh karena kami hidup dalam satu rumah. Selebihnya aku merasa seperti orang lain.”
“Harta duniawi. Lagi-lagi mereka selalu membahas itu. Di rumah, bahkan di luar rumah. Mereka selalu membahas itu. Dalam pikiran mereka yang ada hanyalah bagaimana caranya mendapatkan uang, meraih keuntungan sebanyak mungkin. Tak perduli itu benar atau salah. Yang penting mereka tak mau rugi,” ucapnya dengan rasa geram. Ketus.
“Secara materi dan apa yang tampak dari pengelihatan luar, kami memang terlihat serba cukup, bahkan serba ada. Tapi, jika kamu mencoba menelisik jauh ke dalam apa yang aku rasakan, kamu pasti akan mendapati kekosongan tak bertepi, terutama dalam diriku,” terangnya. “Jika aku bahagia dengan gelimang harta yang saat ini kamu lihat, tentu kamu takkan pernah melihatku berada di tepi danau itu. Tentunya aku tak mencari kebahagiaan lain dengan cara yang lain pula. Dan tentunya kamu takkan pernah melihatku bermain biola di tepi danau itu. Barangkali aku sudah berada di tempat lain dengan suasana yang lain pula. Tapi tidak! Aku sama sekali tak mendapati kebahagiaan dari kemewahan yang diberikan padaku.”
“Aku bukan tidak bersyukur atas semua ini, tapi aku merasakan ada sesuatu yang kurang lengkap dalam kehidupanku.”
“Aku justru merasa iri dengan mereka yang bisa hidup merdeka tanpa harus memikul beban berat di pundaknya,” ungkapnya. “Mereka bisa menjalani kehidupan dengan penuh kehangatan cinta kasih. Mereka hanya merasa kurang secara materi, tapi mereka telah bahagia dengan jalan hidup yang mereka pilih. Hal itulah yang belum aku dapatkan sejauh ini.”
Mendengar penjelasannya, aku hanya tersenyum. Terenyuh.
“Kadang aku berkunjung ke rumah-rumah mereka. Aku ingin merasakan hidup dan berbaur dengan apa yang mereka rasakan walau sebenarnya itu belum cukup memuaskan dahaga yang kurasakan. Setidaknya dengan caraku seperti itu lebih memberikan pemahaman bagiku tentang kehidupan. Banyak hal yang kemudian aku dapatkan dari kehidupan mereka. Tak sekedar pemahaman hidup, tapi kearifanbijaksanaan dalam memandang kehidupan itu sendiri.”
“Sesekali mereka bercerita tentang betapa sulitnya mencari sesuap nasi untuk keluarganya. Mereka harus kerja seadanya, tak perduli siang atau malam yang penting mereka bisa menutupi kebutuhan hidup. Mereka harus memikirkan masa depan anak-anaknya yang terancam putus sekolah hanya karena tidak tepat waktu membayar biaya. Tak hanya tidak tepat waktu tapi juga harus melunasi kekurangan bulan sebelum-sebelumnya. Sungguh hal itu berbeda jauh dengan kehidupanku.”
“Seringkali aku ingin membantu meringankan beban mereka dengan membayar lunas utang atau membantu biaya sekolah anak-anak mereka, namun mereka menolak dengan alasan sebuah tanggungjawab. Mereka enggan meminta belas kasihan atau berpangkutangan pada orang lain selama mereka masih mampu, sehat, dan masih tegap berdiri. Hal itulah yang membuatku benar-benar merasa salut dengan mereka.”
“Jika aku lihat dari keseharian mereka, kekuatan beribadah orang-orang seperti mereka jauh lebih kuat dan lebih tekun dibandingkan mereka-mereka yang bergelimang harta kemewahan.”
Ia terus berkisah tentang pengalaman serta pemahaman hidupnya. Dan aku terus menyimak dengan sesekali mengimbangi pembicaraan.
Apa yang ia alami dalam keluarganya kurang lebihnya hampir sama seperti apa yang aku rasakan dalam keluargaku sendiri. Bedanya, jika ia bisa mendapatkan apa yang ia inginkan, maka aku adalah sebaliknya. Aku harus mengusahakan sendiri semua yang aku inginkan. Jika ia mendapat tempat dan sedikit curah kasih sayang dari kakek-nenaknya, maka aku adalah sebaliknya. Selain itu ia juga memiliki kepekaan sosial tinggi, sedangkan aku kurang begitu peka terhadap sesama.
Dalam keluargaku sendiri, aku hanya mendapati sengketa, perseleisihan, kedengkian, dan prahara diantara kedua keluargaku sendiri. Sekalipun aku tinggal bersama dengan kedua orangtuaku, namun aku sama sekali tak merasakan kehangatan dan kebersamaan di dalamnya. Semua terasa datar. Jangankan bercengkerama dan dukuk bersama secara akrab, berbicara saja diantara kami hanya seperlunya. Aku sendiri sebenarnya bingung dengan semua itu. Apa salah dan dosaku hingga harus mendapati suasana dalam keluargaku seperti itu.
Kukira hal ini bukan karena lingkungan, tradisi, atau adat kebiasaan warga, sebab teman-teman sepermainanku bisa akrab dengan keluarganya. Tapi, mengapa aku tidak bisa mendapatkan dan merasakannya? Hal inilah yang membuatku seringkali diliputi rasa iri dan terus diliputi tanda tanya besar saban waktu. Terbesit pertanyaan-pertanyaan kecil dalam diriku: sebenarnya aku ini siapa?
Seringkali aku mengalami trauma-trauma kecil yang berimbas pada mental serta kejiwaaanku. Seringkali pula aku sakit hati dan terluka oleh karena sikap yang diperlihatkan kedua orangtuaku terhadapku. Aku memang tidak menerima kekerasan fisik, tapi aku selalu mendapat luapan amarah. Aku sering dibentak hanya karena sebuah kesalahan kecil. Dan hal itu membuatku merasa kecil nyali, terlebih tak jarang aku dimarahi di depan banyak orang dan kesalahanku selalu diceritakan berulang-kali pada tiap warga sekitar rumah. Tentunya aku semakin terpuruk dalam kubang malu.
Dari peristiwa itulah aku memutuskan untuk pergi dari rumah. Aku berpikir mungkin lebih baik jika berpetualang dan mencari pengalaman hidup yang lebih baik daripada tinggal di rumah tapi seperti hidup dalam penjara. Banyak aturan-aturan yang harus aku ikuti dan taati, namun semua itu justru tidak membuatku menjadi pribadi yang terdidik, berkembang, dan terpelajar, tapi justru kian hari merasa semakin terkekang dan terbelakang, dan nyaris aku seperti orang bodoh dan dungu yang kehilangan arah serta tujuan hidup. Aku hanya merasa tangguh pada kenyataan, tapi aku rapuh pada diriku sendiri. Diam dan berdialog dengan diri sendiri adalah pelampiasan atas ketakberdayaanku pada nasib. Ingin aku tumpahkan semua jeritan hatiku, namun tak seorang pun ingin perduli dan mendengar. Pada Tuhan, ya, seringkali aku mendialogkan semua apa yang aku alami padaNya walau aku tak tahu apakah semua yang kukeluhkan sampai pada-Nya, atau justru tersapu semilir angin.
Aku pun memberontak sekalipun bukan dengan perlawanan fisik. Meski demikian sedikitpun tak tertanam dalam diriku untuk menjadi anak durhaka, inilah pilihanku, pilihan hidupku. Memilih menjauh daripada hidup dalam ketakmengertian.
Lamunanku buyar mendengar apa yang ia katakan padaku, “Aku tidak mencari kebahagiaan dari hal semacam itu. Sebab hakikatnya kebahagiaan tidak terletak di sana,” tegasnya.
“Aku lebih suka kehidupan yang lengang, jauh dari hingarbingar keduaniawian yang sifatnya adalah fana belaka. Aku tak ingin munafik, tapi itulah yang kuinginkan; yakni hidup dalam kesederhanaan. Hidup dalam ketenangan batin.” “Dan aku menemukan itu semua itu di sini, di rumah ini.”
“Tak ada jaminan bagi seseorang bahwa hidup serba gelimang harta akan selalu mendapat kebahagiaan hidup yang sesungguhnya. Bisa jadi itu adalah kebahagiaan yang hanya tampak dari luar, sedangkan di dalamnya merupakan kebalikannya yakni hidup dengan penuh guncangan dan tekanan batin tak terkira peliknya. Seseorang mungkin bisa menipu orang lain, tapi mereka tak bisa menipu kenyataan hidup.”
“Bukankah kecukupan materi adalah impian serta keinginan semua orang?” tanyaku.
“Itulah kekeliruan orang dalam melihat kehidupan. Tiap orang menginginkan dirinya kaya raya dan memiliki harta melimpah agar mendapatkan semua yang mereka inginkan dalam menjalani hidup. Segala cara dilakukan untuk mewujudkan semua itu. Mereka akan bersusah payah untuk memenuhi segala kebutuhan hidup yang mereka inginkan, namun itu adalah keinginan dan tujuan yang salah. Semakin banyak harta dikumpulkan maka semakin banyak pula waktu, pikiran, dan tenaga yang dikeluarkan atau dibutuhkan untuk mengurusi semua itu. Bahkan secara tak langsung mereka akan menjadi budak kemewahan yang dimiliki. Tanpa sadar mereka akan masuk dalam kubang kegilaan yang menjadikan dirinya lupa pada dirinya sendiri. Mereka akan selalu dihantui rasa takut akan kelaparan, kekurangan, kemiskinan, dan rasa khawatir jika akan mati dalam keadaan perut kosong.”
“Mereka akan selalu berpikir bahwa menjadi orang kaya yang banyak uang bisa membeli apa saja yang ia inginkan. Tapi perlu diingat bahwa orang kaya sama sekali tak pernah bisa membeli kebahagiaan dan kesederhanaan. Sebab kebahagiaan sama sekali tak bisa dinilai dan diukur dengan sebesar atau sebanyak apa pun kekayaan. Dan hanya bagi mereka yang mampu meraih kebahagiaan hidup itulah sebenar-benarnya orang merdeka, terlebih jika ia mampu menyederhanakan kehidupannya, serta mampu berbagi kebahagiaan dengan orang lain. Merekalah orang-orang yang paling bahagia dan paling kaya dalam menjalani hidup.”
“Mungkin perlu kutegaskan sekali lagi bahwa tiap orang bisa saja menipu orang lain dari apa yang tampak pada bagian luarnya, namun siapa yang bisa menipu kebenaran yang ada pada dirinya sendiri?”
Tiap orang pastilah memiliki cara berpikir dan juga pilihan ketika menjalani kehidupannya. Dan inilah bentuk lain dari kebebasan yang diberikan Tuhan pada hambaNya, batinku di sela penuturan panjang yang ia sampaikan padaku.
Matahari mulai meredup. Aku pun undur diri. Sepanjang jalan aku merenung dan mencoba meresapi segapa apa yang hadir dalam hati serta pikiranku.
“Aku takkan pernah mendapatkan pengetahuan serta pemahaman seperti ini jika aku tetap bertahan di rumah. Kukira aku akan menjadi pemuda yang tak pernah tahu tentang sisi lain dari kehidupan di dunia ini. Tentunya, aku hanya akan menjadi pribadi yang datar, kurang pengetahuan, dan tentunya kurang pengalaman,” batinku.[]
Yogyakarta, 11 Oktober 2013

Kamis, 19 Desember 2013

Puisi-puisi: Muhammad Arfani Budiman



AUTUMN

autumn, musim gugur di wajahku
air jatuh ke tanah dadaku
kejantung kering dan perih bunyi namamu
seperti pertengkaran kita yang senyap
dalam perutku dalam seluruh tubuh
lidahku terbakar, autumn
tak henti-hentinya menggeletar
mulut teriak
melepas matahari
melepas daun-daun di taman
menarik-narik jantungku
badanku bukanlah bumi yang sabar
melepas badai di mana-mana
meremuk palka dan buritan
sampai sajakku terbalik
menangisi luka yang telah hancur, autumn
2010




RIWAYAT MATAHARI

aku bukan matahari yang disuratkan untuk bersinar
kadang aku redup ditelan waktu
mencambuk setiap kemunculan
kadang kesemuanya bermula dari cahaya yang di rahasiakan
di baliknya ada kesabaran, ada muara
ada keluasan matamu

kini aku terbaring
kesepian
semua ini kukekalkan pada matahari
2010



SERIBU MAWAR DIMATA SYIFA

Bergegaslah hempaskan segala denyut rindu
Rahim kata-kata merambat di pelupuk matanya
Seribu mawar di mata syifa mengunci segala denyut langit
Menasbihkan jelaga sunyi, merakit bulan menanak sepi
Jika cinta hanya kobaran api disiram pelupuk rindu
Mawar di mata syifa adalah puisi yang dititipkan hujan kepada bumi
Mengupas segala rahim kata-kata
2013

Muhammad Arfani Budiman, Bandung 6-januari 1989 kuliah dijurusan pendidikan Bahasa dan Sastra indonesia, Universitas Pendidikan Indonesia. Bergiat di ASAS UPI