SIANG itu aku sedang berteduh di bawah rindang
pepohonan di tepi danau. Airnya yang tenang mencoba melipur galau yang
mengerumuni jiwaku. Keheningan yang tercipta mengaramkan segala kemelut yang
membalut palung jiwa. Dan suasana yang lahir terasa begitu menghanyutkan imaji.
Kulihat seekor katak sedang mencari mangsa. Dan ada dua ekor kupu-kupu sedang
berkejaran di antara tumbuhan yang tumbuh liar di sekitar bibir danau.
Aku menatap langit bercampur awan sembari
menyandarkan tubuh dan merebahkan kepalaku pada sebatang pohon. Semilir angin
yang membuai serasa ingin mengantarkan aku ke alam mimpi. Namun aku coba
bertahan dengan terus berdiam diri dalam renungan. Merenung, ya, merenung
adalah salah satu cara dimana aku melipur segala kecamuk yang terus bergolak
dalam diriku. Seringkali dengan merenung aku menemukan sesuatu yang memercikkan
cahaya pemahaman baru untukku.
Kudengar kicau burung sedang bercerita tentang
sesuatu pada semesta. Namun sayangnya, jiwa-jiwa yang berpijak di bumi terlalu
larut dalam ambisi duniawi hingga cerita yang ia tuturkan pun tak sampai. Bak
bicara dengan orang tuli. Tubuhnya masih tampak kuyup oleh air. Sesekali
kulihat ia mengepakkan kedua sayapnya hingga berhamburan air yang membasahi
bulu halusnya.
Hal-hal semacam inilah yang sering aku lakukan
terhadap diriku sendiri, memperhatikan diriku sendiri dan menyelami diri lebih
dalam. Atau mengamati peristiwa kehidupan sebagai teladan dan juga pengetahuan
hidup. Dan tentunya hal semacam ini pula yang memancing imajiku menuju ruang
fantastis. Memancing daya kreatif serta imajinatif walau semuanya terendap
dalam kesunyian diri tak bertepi.
Panas yang begitu terik membuat kerongkonganku
kering diserang dahaga. Meski begitu aku tak
perduli, sebab bagiku ketenangan batin yang lebih ingin aku cari dan
dapatkan dalam kehidupan ini.
Kulihat seorang gadis datang dan duduk di bibir
danau dengan membawa sebuah biola tanpa memperdulikan keberadaanku yang masih
merebahkan badan di bawah pepohonan. Entah, ia sama sekali tak ingin
memalingkan wajahnya padaku sekali pun sebenarnya dia tahu keberadaanku di
tempat ini. Ia terdiam sejenak, menghirup nafas lalu memainkan biolanya.
Jari-jemarinya yang lentik begitu terampil dan lincah hingga melahirkan irama
yang sangat indah didengar. Ia terlihat begitu hikmat memainkan biolanya hingga
tak memperdulikan apa yang ada di sekitarnya. Ia sangat piawai, tenang, dan
sangat terlatih dalam bermain musik.
Menyaksikan hal itu, aku turut larut menikmati
simphoni yang lahir saat itu. Irama yang ia mainkan begitu membuai imajiku,
seakan mengantarkan diriku menuju sebuah ruang asing penuh keindahan yang
menakjubkan.
Tiap kali aku ke danau tersebut, tanpa sengaja
seringkali pula aku melihatnya memainkan biolanya walau tanpa ada tegur sapa
denganku. Bahkan sepertinya keberadaanku adalah ketiadaan baginya. Dia memang
tak pasti datang ke danau ini, tapi bisa dipastikan dalam sepekan aku
seringkali melihatnya berada di situ dengan membawa beragam ekspresi yang ia
pendam dari rumahnya.
Seperti apa yang telah ia lakukan, ia duduk di
bawah pohon rindang. Kali ini ia berdandan begitu sederhana namun tetap
terlihat anggun. Sejauh aku mengamatinya, ketika berada di danau tersebut, ia
selalu berpenampilan sekedarnya. Tak penah aku melihatnya mengenakan busana
serba terbuka, seronok, atau memperlihatkan lekuk tubuhnya. Sepertinya ia paham
betul dengan gaya busana yang tepat untuknya. Tak harus gelamor, tapi tetap
berpenampilan elegan. Sehelai kain syal ia lingkarkan dan ia ikatkan pada
lehernya, seperti memakai jilbab, selain untuk melindungi diri dari terik
matahari, hal itu juga dikarenakan untuk menutup rambutnya agar tidak acak-acakan
diterpa embus angin.
Entah apa yang terjadi padanya dan apa yang
sedang ia rasakan, kali ini aku mendapati sebuah pemandangan berbeda darinya.
Sorot matanya tampak layu menyiratkan kesedihan yang begitu mendalam.
Sepertinya beban berat sedang mengguncang dan mengacaukan laju pikirnya. Hal
itu tersirat dari permainan biolanya yang tidak ritmis seperti yang sering
kudengar, bahkan terasa sumbang dan tak dinamis. Harmonisasi yang ia mainkan
terasa tak beraturan. Berulangkali ia gagal memainkan sebuah irama lagu.
Kulihat ia menundukkan wajah dan menutup dengan kedua tangannya. Perlahan
tubuhnya bergetar bercampur gigil. Sepertinya ia sedang menumpahkan beban di
benaknya.
Aku berpikir, meski sudah akrab dan
berulangkali bermusik dengan irama yang sama, namun jika suasana hati tak
karuan akan sangat mempengaruhi konsentrasi dan juga cara bermusiknya.
Ia pun mengangkat wajahnya lalu menjuruskan
pandangan jauh ke depan. Ia berkaca-kaca, dan di antara kedua pipinya ada
sisa-sisa airmata jatuh berlinang. Entah apa yang sedang berkecamuk dalam
pikirannya. Ada sesuatu yang mengusik ketenangan batinnya. Ia kembali meraih
biola yang telah ia letakkan di pangkuannya lalu dengan separuh hati mencoba
kembali bermain musik, namun lagi-lagi ia harus menuai kegagalan. Beberapa kali
ia mencoba memainkan dawai-dawai biolanya, namun lagi-lagi ia mendapati hal
serupa, bahkan terdengar jauh lebih buruk.
Untuk beberapa saat ia duduk terdiam dan
meletakkan kembali biolanya pada pangkuan. Suasana yang berjalan semakin terasa
lengang. Terlebih tak adanya suara-suara selain hanya angin yang
mengayun-ayunkan dedaunan atau menyapu daun kering yang sudah gugur. Sesekali
terdengar burung berkicau dan air yang memercik akibat benda jatuh.
Kulihat ia melempar secara pelan dan
berulangkali batu kerikil yang ia pungut dari sekitar tempat duduknya. Entah
apa yang terjadi, tak lama setelah itu ia kembali meraih biolanya dan mencoba
memainkannya. Barangkali ia sedang mendapat ilham atau inspirasi dari
bunyi-bunyian yang ditimbulkan dari percik air danau yang ia lempari dengan
batu kerikil tersebut.
Benarlah apa yang aku kira, kali ini nada yang
ia mainkan terasa sangat berbeda. Bunyi yang dihasilkan pun begitu merdu,
syahdu, dan sangat menyentuh. Tampak sekali ia begitu menghayati permainannya.
Sepertinya ia sudah memulih, ia mendapatkan kembali ruh permainannya yang
cantik dan menakjubkan. Dan bersamaan dengan itu, datanglah angin bertiup
sepoi-sepoi melambaikan beberapa helai rambutnya yang tergerai pada sebagian
pundaknya.
Aku pun turut larut dalam alunan instrumentasi
musik yang ia gubah. Dan imajiku pun terguggah, serasa terpanggil untuk
berdansa di lantai keheningan yang menakjubkan. Bahkan tak dapat kupungkiri
bahwa emosi jiwaku pun turut larut dalam simphoni yang begitu harmonis dan
dinamis.
Tiba-tiba suasana hening dan hikmat itu pun
berubah panik karena dawai biola gadis itu putus dan merobek sisi kiri
wajahnya. Dengan tergesa aku berlari mendekat padanya dan segera membantu
menutupi wajahnya dengan kain syal yang ia kalungkan pada lehernya. Darah segar
terus mengalir hingga membasahi kain syal yang ia pergunakan sebagai pembalut
luka.
Tanpa banyak bicara, aku segera membantunya
berdiri lalu mengajak pulang ke rumahnya. Gadis itu pun memberi petunjuk jalan
ke mana kami harus melangkahkan kaki. Secara tergesa kami melangkahkan kaki
hingga sampailah kami di sebuah halaman rumah yang begitu megah dan sangat
mewah. Kami segera masuk dan mengobati luka bekas sayatan dawai yang ada di
wajahnya.
“Terimakasih sudah menolong dan membantuku,”
ucapnya, meski masih terasa kaku dan dingin, sembari duduk di sofa.
“Sama-sama.”
“Untunglah dawainya tidak mengenai bola
mataku,” ucapnya sekembali mengambil obat dan sambil mengoleskan obat pada luka
di bagian bawah kelopak matanya. “Tentu aku akan sangat kehilangan harta paling
berharga dalam hidupku,” lanjutnya.
Aku hanya mengiyakan apa yang sedang ia katakan
padaku.
“Aku terlalu terbawa emosi ketika memainkan
biola ini. Mungkin karena gesekan yang aku lakukan terlalu keras dan kasar
hingga memutus dawainya,” tuturnya.
“Gubahan musikmu tadi sungguh indah. Kamu
begitu piawai memainkan alat musik itu,” ucapku.
Aku mulai merasakan adanya keakraban antar
kami.
Ia tersenyum, “Kadang aku mencoba menggubah
sebuah irama lagu ketika mendapat inspirasi atau mengikuti suasana hatiku.
Sebagian ada yang tuntas kugubah, tapi tak jarang pula ada yang gagal untuk aku
selesaikan menjadi sebuah instrument musik,” terangnya.
Di sela itu kami pun saling berkenalan dan
sedikit membumbui dengan cerita-cerita singkat tentang kehidupan kami sebagai
bahan perbincangan.
Ia pun meminta maaf padaku karena tak menyapaku
ketika ia ke danau. Aku memaklumi itu. Selain karena memang aku orang asing di
daerah itu, aku juga menyadari betul bahwa diantara kami belum saling kenal.
Sesekali aku mengamati tiap sudut ruang
rumahnya, dimana di dalamnya terdapat beragam pajangan hiasan dinding yang
tentunya bernilai seni tinggi, mahal harganya, bahkan mungkin jauh dari mimpi
dan harapan orang-orang miskin untuk mendapatkan atau memilikinya.
Dari perbincangan kami, baru kuketahui jika
gadis itu memang memiliki talenta dalam bermusik. Hal itu ditegaskan dengan
begitu banyaknya piala penghargaan yang ia dapatkan dari kejuaraan-kejuaraan
yang pernah ia ikuti. Tak hanya tingkat nasional, tapi juga pada ajang
internasional.
Ia begitu gemar memainkan musik klasik atau
sesekali bermain musik kontemporer yang menurutnya memiliki citarasa dan
kualitas tinggi. Baginya, musik klasik adalah komposisi nada yang begitu
menakjubkan. Tak hanya harmonis, tapi juga memiliki citarasa yang sangat
tinggi. Bila ia ingin memainkan musik tersebut, ia butuh ketenangan,
ketentraman batin, dan setidaknya membutuhkan penghayatan penuh untuk
memainkannya. Tak hanya membutuhkan kepiawaian memainkan alat musik, tapi juga
harus pandai memainkan ritme emosi.
“Hal terpenting dan perlu diperhatikan dalam
bermusik adalah memainkan emosi. Memainkan ritme emosi dalam bermusik itu
sangat dibutuhkan. Sebab bermusik tidak sekedar bisa membunyikan nada atau
irama, tapi juga harus benar-benar bisa menguasai emosi. Tak hanya emosi
pemusiknya, tapi juga emosi para pendengarnya,” ungkapnya.
Lagu klasik yang sering ia mainkan adalah milik
Beethoven atau pun Mozart, Paganini, dan maestro musik klasik lainnya. Adapun
musik-musik instrumental era modern yang sering ia mainkan adalah Like an
Angel, Prelude to April, Guardian Angel, Miracle of Life, Sarabande,
Fuguetta, Toccata, Vivace, dan masih banyak lagi musik
instrumental yang sering ia perdengarkan dari permainan seorang gitaris asal
manca negara, salah satunya yakni Yngwie J. Malmsteen atau pun dari para
maestro komponis lainnya.
“Bermusik adalah bentuk lain dari berdialog
serta menyampaikan maksud hati pada orang lain dengan irama atau lagu. Dan lagu
adalah bahasa yang paling lembut, selain bahasa puisi, syair, atau pun kasidah
untuk menyuarakan hati walau pun dimainkan dengan tempo cepat dan keras,”
tuturnya sembari memainkan instrument musik hasil gubahannya sendiri.
Di sekolah musik itulah ia mulai mengenal
berbagai aliran musik, dari musik klasik, hingga ragam musik modern yang
semakin mengalami perkembangan sedemikian pesat. Namun ia lebih suka memainkan
musik klasik dari pada musik lainnya. Biola dan gitar adalah alat musik yang
paling ia sukai diantara alat musik lainnya meski pun ada beberapa alat musik
lain yang bisa ia mainkan seperti piano dan kecapi.
Tanpa rasa sungkan, ia pun menunjukkan padaku
kepiawaiannya dalam bermain kedua alat musik tersebut dengan memutar salah satu
lagu kesukaannya. Dari gramofon itu terdengar alunan musik instrumental karya
Mozart. Dan sungguh betapa aku sangat berdecak kagum atas kepiawaiannya dalam
memainkan gitar tersebut. Lalu, ia menunjukkan kepiawaiannya memainkan alat
musik lainnya dengan diiringi musik insturmen kegemarannya.
Kami pun semakin akrab dan semakin komunikatif
dalam berdialog. Ada banyak hal dan juga pertanyaan-pertanyaan yang bisa
kusampaikan padanya. Dari cara bermain musik yang bagus hingga pengalaman hidup
yang bisa kujadikan sebagai teladan.
Dan aku pun diajari tentang bagaimana
teknik-teknik bermain gitar yang bagus. Dari tangga nada hingga melatih suara
bernyanyi ia uraikan secara rinci walau sejujurnya dari apa yang ia uraikan
tersebut aku belum begitu paham sepenuhnya.
“Setiap nada dalam sebuah lagu mampu mewakili
ribuan bahasa hati, bahkan bisa dijadikan sebagai media berkomunikasi,
tergantung pada pencipta lagu-lagu tersebut. Apakah lagu yang ia buat
menggambarkan suasana hati yang sedang riang gembira atau sebaliknya. Disitulah
peran seorang pencipta lagu. Setidaknya ia dituntut untuk bisa jenuis dalam
menggubahnya sekalipun dengan sarana dan prasarana kurang memadahi.”
“Bagi mereka yang sudah terbiasa menciptakan
lagu, maka dengan sangat mudah ia menghasilkan ribuan lagu dalam kurun waktu
tertentu. Tapi, bermusik tidak sekedar membuat lagu, dinyanyikan, atau laku
dijual, tapi lebih daripada itu. Seorang komponis selain dituntut jenius dalam
menggubah lagu, ia harus bisa membuat lagu yang benar-benar bermutu,
berkualitas, serta memiliki citarasa yang tinggi. Tak hanya sekedar bisa
menyelesaikan dengan tuntas, enak didengar, lalu laku di pasaran. Lagu atau
karya apapun yang hanya sekedar memenuhi selera pasaran bisa dipastikan akan
segera hilang ketika pasar itu sudah tak berminat lagi pada karya tersebut.
Beda halnya dengan lagu, musik, atau sebuah karya yang benar-benar digubah
dengan kesungguhan hati, memperhatikan mutu serta kualitas. Selain tahan lama,
bisa dipastikan musik atau karya tersebut enak didengar serta tahan lama. Salah
satu buktinya adalah lagu atau instrument dari kompuser tempo dulu yang sangat
populer serta akrab dipendengaran kita bahkan bisa dinikmati hingga kini
seperti karya Mozart, Beethoven, Paganini, dan yang lainnya,” terangnya secara
gamblang serta lugas.
“Orang-orang yang berkualitas biasanya selalu
memilih sesuatu yang memiliki citarasa tinggi dan berkualitas, bukan segala
sesuatu yang bersifat instan dan berselera pasaran,” ujarnya dengan intonasi
menegaskan. “Perlu dimaklumi bahwa karya yang memiliki mutu serta kualitas
cenderung kurang diminati, bahkan nyaris tak laku, dibandingkan dengan karya
pasaran. Perlu digarisbawahi pula bahwa dalam hal ini tiap orang selalu tak
sama ketika menilai sebuah karya. Menurut kita bagus, belum tentu menurut orang
lain adalah bagus. Karena yang berbicara dalam hal ini adalah selera tiap
masing-masing orang terhadap sebuah karya,” lanjutnya dengan intonasi
menegaskan.
Di sela-sela itu kami saling berkisah tentang
masa lalu atas kehidupan yang telah kami lewati. Ia pun mengisahkan betapa
kehidupan yang ia jalani selama ini hanyalah bagai sosok yang berjalan
sendirian di tengah malam gulita. Ia merasa bahwa gemerlap dan gelimang
kemewahan yang ada di sekitarnya semakin membuat hidupnya terpuruk dalam kubang
kesendirian tak berujung. Ia merasa bagaikan hidup di tengah-tengah
fatamurgana.
“Sayangnya, semua kebahagiaan ini hanya seperti
fatamurgana dalam kehidupanku sendiri,” ungkapnya. “Di lain sisi aku memang
mendapatkan banyak fasilitas dan bisa dibilang bahwa aku selalu dalam
kecukupan. Apapun yang kuinginkan sebagian besar pasti terkabulkan. Tapi di
sisi lain pula, aku seperti air di atas daun talas. Aku merasa hidup dalam
kesendirian di tengah-tengah kedua orangtuaku sendiri. Kebersamaanku dengan
mereka bahkan bisa dihitung dengan jari, dan itu pun tak pasti. Mereka lebih
banyak menghabiskan waktu di luar rumah. Orangtuaku begitu ambisi dengan urusan
mereka, sehingga aku dibiarkan tumbuh dan besar bukan atas perhatian penuh dari
mereka, melainkan dari orang lain, walaupun mereka yang turut membesarkan,
mengasuh, dan merawatku adalah kakek-nenekku sendiri. Aku benar-benar merasakan
hampa, kesepian, dan seolah hidup sendirian atas keberadaan kedua orangtuaku
sendiri dalam kehidupanku. Dan hal itulah yang membuatku selalu merasa iri
dengan mereka-mereka yang mendapatkan kasih-sayang serta perhatian penuh dari
kedua orangtuanya walau dalam kondisi kekurangan.”
Ia menghela nafas pelan, lalu mengembuskan ke
udara. Sepetinya ia ingin membebaskan beban yang menyesak dalam dadanya.
“Bahkan kadang aku dititipkan pada orang lain
jika kakek dan nenek sedang bepergian jauh atau sedang ada urusan lain yang
tidak bisa diganggu. Ini memang terasa tak menyenangkan, tapi apa boleh buat?
Semua harus aku terima dengan lapang dada. Aku masih bersyukur masih memiliki
kakek-nenek yang begitu sayang dan mencintaiku setulus hati. Perhatian serta
curah kasih sayang yang mereka berikan sedikit bisa melipur kepedihan yang
begitu dalam kurasakan. Sungguh tak bisa kubayangkan jika kelak mereka sudah
tiada. Aku benar-benar tak tahu apakah kelak kehidupanku akan jauh lebih baik,
atau hidupku justru akan sebaliknya. Sebab aku tak yakin bisa hidup bahagia
bersama kedua orangtuaku jika mereka masih tetap dengan kondisi dan cara yang
seperti itu terhadapku. Entahlah?! Aku merasa pesimis, dan rasa pesimisku pada
kenyataan sudah sedemikian akut hingga keyakinanku terasa memudar seiring
waktu,” lanjutnya dengan mimik sedih.
Ia mendesah. Lalu menyeka bulir-bulir
airmatanya yang jatuh berlinang. Tersirat dari wajahnya kisah pilu yang ia
simpan jauh di kedalaman lubuk hatinya. Denting perih yang ia rasakan terasa
tembus ke dalam dinding jiwaku. Aku pun turut merasakan sebagian dari apa yang
sedang ia rasakan dan memercik diantara desir aliran darahku hingga menyusup
dalam rasa yang kutelan ketika itu.
Meski ia terlahir dari keluarga yang
berkecukupan, namun ia sama sekali tak ingin memperdulikan hal itu. Ia justru
memilih jalannya sendiri; pilihan hidup yang membuatnya nyaman, aman, tentram,
dan tentunya bisa membuat keseluruhan hidupnya bahagia. Hal itu ia buktikan
dengan ketidakmauan dirinya untuk ikut bersama kedua orangtuanya, sekali pun
kedua orangtuanya cukup mampu untuk memenuhi segala apa yang ia butuhkan. Tapi
tidak untuk keinginannya. Ia justru lebih memilih atau perpikir lain yakni
hidup serta tinggal di rumah kakek-neneknya.
“Aku tidak membenci mereka. Mereka masih kedua
orangtuaku yang telah melahirkan aku, merawat, mendidik, serta membesarkan aku.
Aku masih menaruh rasa hormat serta baktiku pada mereka. Aku hanya tak suka
dengan gaya hidup mereka. Cara pandang hidup antara kami itulah yang membuat
kebersamaan kami terasa renggang, bahkan beda adanya. Dan dari hal itu pula aku
lebih memilih jalan hidupku sendiri daripada harus mengikuti atau menuruti
keinginan mereka,” ungkapnya.
“Mereka seringkali bilang padaku kalau semua
itu dilakukan untukku. Tapi semua yang mereka lakukan justru membuatku merasa
semakin jauh dari mereka. Aku benar-benar merasa asing di tengah-tengah mereka.
Bahkan aku merasa ada dalam ketiadaan diantara kehidupan mereka.”
“Aku tak membutuhkan kecukupan materi,
sekalipun itu perlu, ada hal yang lebih penting dari pada sekedar mengurusi
harta benda, duniawi. Aku hanya ingin kasih sayang dan cinta mereka. Sikap
mereka itulah yang membuat hubungan antar kami kurang harmonis. Bagaimana
mungkin diantara kami bisa saling berinteraksi secara komunikatif jika
intensitas kebersamaan antara kami sangat jarang,” keluhnya.
Sejak rasa muak itu tak tertahankan dan meluap
dari dalam dirinya, ia memutuskan untuk pergi dari rumahnya yang tak kalah
mewah, bahkan mungkin lebih megah dari rumah yang ia tinggali saat ini.
Menurut apa yang ia kisahkan; bagaimana dirinya
akan merasa bahagia jika di rumahnya sendiri justru kurang bahkan hampir tidak
mendapat perhatian serta kasih sayang penuh dari kedua orangtuanya sendiri.
“Dari kebutuhan materi, aku memang tak pernah kekurangan, bahkan apa pun yang
aku minta pasti akan dikabulkan. Tapi aku tak bahagia dengan semua itu, bahkan
aku merasa tak mendapat apa-apa selain hanya rasa hambar dan tawar dalam
menjalani kehidupan,” ujarnya.
Pagi hari, sebelum subuh, ayahnya sudah pergi
dan lebih sering pulang ke rumah saat malam sudah sedemikian larut. Demikian
juga dengan ibunya, meski tidak sama persis seperti ayahnya, tetap saja
kehampaan yang ia dapatkan di rumahnya. Dan begitu seterusnya pemandangan yang
ia saksikan saban waktu. Kedua orangtuanya adalah pengusaha terkaya di daerah
tersebut. Selain menjadi pengusaha kaya, tentunya kedua orangtuanya cukup
terpandang serta memiliki tempat di pandangan masyarakat di daerah tersebut.
“Aku jenuh tiap hari dengan suasana seperti
itu. Aku hanya tahu bahwa mereka adalah kedua orangtuaku oleh karena kami hidup
dalam satu rumah. Selebihnya aku merasa seperti orang lain.”
“Harta duniawi. Lagi-lagi mereka selalu
membahas itu. Di rumah, bahkan di luar rumah. Mereka selalu membahas itu. Dalam
pikiran mereka yang ada hanyalah bagaimana caranya mendapatkan uang, meraih
keuntungan sebanyak mungkin. Tak perduli itu benar atau salah. Yang penting
mereka tak mau rugi,” ucapnya dengan rasa geram. Ketus.
“Secara materi dan apa yang tampak dari
pengelihatan luar, kami memang terlihat serba cukup, bahkan serba ada. Tapi,
jika kamu mencoba menelisik jauh ke dalam apa yang aku rasakan, kamu pasti akan
mendapati kekosongan tak bertepi, terutama dalam diriku,” terangnya. “Jika aku
bahagia dengan gelimang harta yang saat ini kamu lihat, tentu kamu takkan
pernah melihatku berada di tepi danau itu. Tentunya aku tak mencari kebahagiaan
lain dengan cara yang lain pula. Dan tentunya kamu takkan pernah melihatku
bermain biola di tepi danau itu. Barangkali aku sudah berada di tempat lain
dengan suasana yang lain pula. Tapi tidak! Aku sama sekali tak mendapati
kebahagiaan dari kemewahan yang diberikan padaku.”
“Aku bukan tidak bersyukur atas semua ini, tapi
aku merasakan ada sesuatu yang kurang lengkap dalam kehidupanku.”
“Aku justru merasa iri dengan mereka yang bisa
hidup merdeka tanpa harus memikul beban berat di pundaknya,” ungkapnya. “Mereka
bisa menjalani kehidupan dengan penuh kehangatan cinta kasih. Mereka hanya
merasa kurang secara materi, tapi mereka telah bahagia dengan jalan hidup yang
mereka pilih. Hal itulah yang belum aku dapatkan sejauh ini.”
Mendengar penjelasannya, aku hanya tersenyum.
Terenyuh.
“Kadang aku berkunjung ke rumah-rumah mereka.
Aku ingin merasakan hidup dan berbaur dengan apa yang mereka rasakan walau
sebenarnya itu belum cukup memuaskan dahaga yang kurasakan. Setidaknya dengan
caraku seperti itu lebih memberikan pemahaman bagiku tentang kehidupan. Banyak
hal yang kemudian aku dapatkan dari kehidupan mereka. Tak sekedar pemahaman
hidup, tapi kearifanbijaksanaan dalam memandang kehidupan itu sendiri.”
“Sesekali mereka bercerita tentang betapa
sulitnya mencari sesuap nasi untuk keluarganya. Mereka harus kerja seadanya,
tak perduli siang atau malam yang penting mereka bisa menutupi kebutuhan hidup.
Mereka harus memikirkan masa depan anak-anaknya yang terancam putus sekolah
hanya karena tidak tepat waktu membayar biaya. Tak hanya tidak tepat waktu tapi
juga harus melunasi kekurangan bulan sebelum-sebelumnya. Sungguh hal itu
berbeda jauh dengan kehidupanku.”
“Seringkali aku ingin membantu meringankan
beban mereka dengan membayar lunas utang atau membantu biaya sekolah anak-anak
mereka, namun mereka menolak dengan alasan sebuah tanggungjawab. Mereka enggan
meminta belas kasihan atau berpangkutangan pada orang lain selama mereka masih
mampu, sehat, dan masih tegap berdiri. Hal itulah yang membuatku benar-benar
merasa salut dengan mereka.”
“Jika aku lihat dari keseharian mereka,
kekuatan beribadah orang-orang seperti mereka jauh lebih kuat dan lebih tekun
dibandingkan mereka-mereka yang bergelimang harta kemewahan.”
Ia terus berkisah tentang pengalaman serta
pemahaman hidupnya. Dan aku terus menyimak dengan sesekali mengimbangi
pembicaraan.
Apa yang ia alami dalam keluarganya kurang
lebihnya hampir sama seperti apa yang aku rasakan dalam keluargaku sendiri.
Bedanya, jika ia bisa mendapatkan apa yang ia inginkan, maka aku adalah
sebaliknya. Aku harus mengusahakan sendiri semua yang aku inginkan. Jika ia
mendapat tempat dan sedikit curah kasih sayang dari kakek-nenaknya, maka aku
adalah sebaliknya. Selain itu ia juga memiliki kepekaan sosial tinggi,
sedangkan aku kurang begitu peka terhadap sesama.
Dalam keluargaku sendiri, aku hanya mendapati
sengketa, perseleisihan, kedengkian, dan prahara diantara kedua keluargaku
sendiri. Sekalipun aku tinggal bersama dengan kedua orangtuaku, namun aku sama
sekali tak merasakan kehangatan dan kebersamaan di dalamnya. Semua terasa
datar. Jangankan bercengkerama dan dukuk bersama secara akrab, berbicara saja
diantara kami hanya seperlunya. Aku sendiri sebenarnya bingung dengan semua
itu. Apa salah dan dosaku hingga harus mendapati suasana dalam keluargaku
seperti itu.
Kukira hal ini bukan karena lingkungan,
tradisi, atau adat kebiasaan warga, sebab teman-teman sepermainanku bisa akrab
dengan keluarganya. Tapi, mengapa aku tidak bisa mendapatkan dan merasakannya?
Hal inilah yang membuatku seringkali diliputi rasa iri dan terus diliputi tanda
tanya besar saban waktu. Terbesit pertanyaan-pertanyaan kecil dalam diriku: sebenarnya
aku ini siapa?
Seringkali aku mengalami trauma-trauma kecil
yang berimbas pada mental serta kejiwaaanku. Seringkali pula aku sakit hati dan
terluka oleh karena sikap yang diperlihatkan kedua orangtuaku terhadapku. Aku
memang tidak menerima kekerasan fisik, tapi aku selalu mendapat luapan amarah.
Aku sering dibentak hanya karena sebuah kesalahan kecil. Dan hal itu membuatku
merasa kecil nyali, terlebih tak jarang aku dimarahi di depan banyak orang dan
kesalahanku selalu diceritakan berulang-kali pada tiap warga sekitar rumah.
Tentunya aku semakin terpuruk dalam kubang malu.
Dari peristiwa itulah aku memutuskan untuk
pergi dari rumah. Aku berpikir mungkin lebih baik jika berpetualang dan mencari
pengalaman hidup yang lebih baik daripada tinggal di rumah tapi seperti hidup
dalam penjara. Banyak aturan-aturan yang harus aku ikuti dan taati, namun semua
itu justru tidak membuatku menjadi pribadi yang terdidik, berkembang, dan terpelajar,
tapi justru kian hari merasa semakin terkekang dan terbelakang, dan nyaris aku
seperti orang bodoh dan dungu yang kehilangan arah serta tujuan hidup. Aku
hanya merasa tangguh pada kenyataan, tapi aku rapuh pada diriku sendiri. Diam
dan berdialog dengan diri sendiri adalah pelampiasan atas ketakberdayaanku pada
nasib. Ingin aku tumpahkan semua jeritan hatiku, namun tak seorang pun ingin
perduli dan mendengar. Pada Tuhan, ya, seringkali aku mendialogkan semua apa
yang aku alami padaNya walau aku tak tahu apakah semua yang kukeluhkan sampai
pada-Nya, atau justru tersapu semilir angin.
Aku pun memberontak sekalipun bukan dengan
perlawanan fisik. Meski demikian sedikitpun tak tertanam dalam diriku untuk
menjadi anak durhaka, inilah pilihanku, pilihan hidupku. Memilih menjauh
daripada hidup dalam ketakmengertian.
Lamunanku buyar mendengar apa yang ia katakan
padaku, “Aku tidak mencari kebahagiaan dari hal semacam itu. Sebab hakikatnya
kebahagiaan tidak terletak di sana,” tegasnya.
“Aku lebih suka kehidupan yang lengang, jauh
dari hingarbingar keduaniawian yang sifatnya adalah fana belaka. Aku tak ingin
munafik, tapi itulah yang kuinginkan; yakni hidup dalam kesederhanaan. Hidup
dalam ketenangan batin.” “Dan aku menemukan itu semua itu di sini, di rumah
ini.”
“Tak ada jaminan bagi seseorang bahwa hidup
serba gelimang harta akan selalu mendapat kebahagiaan hidup yang sesungguhnya.
Bisa jadi itu adalah kebahagiaan yang hanya tampak dari luar, sedangkan di
dalamnya merupakan kebalikannya yakni hidup dengan penuh guncangan dan tekanan
batin tak terkira peliknya. Seseorang mungkin bisa menipu orang lain, tapi
mereka tak bisa menipu kenyataan hidup.”
“Bukankah kecukupan materi adalah impian serta
keinginan semua orang?” tanyaku.
“Itulah kekeliruan orang dalam melihat kehidupan.
Tiap orang menginginkan dirinya kaya raya dan memiliki harta melimpah agar
mendapatkan semua yang mereka inginkan dalam menjalani hidup. Segala cara
dilakukan untuk mewujudkan semua itu. Mereka akan bersusah payah untuk memenuhi
segala kebutuhan hidup yang mereka inginkan, namun itu adalah keinginan dan
tujuan yang salah. Semakin banyak harta dikumpulkan maka semakin banyak pula
waktu, pikiran, dan tenaga yang dikeluarkan atau dibutuhkan untuk mengurusi
semua itu. Bahkan secara tak langsung mereka akan menjadi budak kemewahan yang
dimiliki. Tanpa sadar mereka akan masuk dalam kubang kegilaan yang menjadikan
dirinya lupa pada dirinya sendiri. Mereka akan selalu dihantui rasa takut akan
kelaparan, kekurangan, kemiskinan, dan rasa khawatir jika akan mati dalam
keadaan perut kosong.”
“Mereka akan selalu berpikir bahwa menjadi
orang kaya yang banyak uang bisa membeli apa saja yang ia inginkan. Tapi perlu
diingat bahwa orang kaya sama sekali tak pernah bisa membeli kebahagiaan dan
kesederhanaan. Sebab kebahagiaan sama sekali tak bisa dinilai dan diukur dengan
sebesar atau sebanyak apa pun kekayaan. Dan hanya bagi mereka yang mampu meraih
kebahagiaan hidup itulah sebenar-benarnya orang merdeka, terlebih jika ia mampu
menyederhanakan kehidupannya, serta mampu berbagi kebahagiaan dengan orang
lain. Merekalah orang-orang yang paling bahagia dan paling kaya dalam menjalani
hidup.”
“Mungkin perlu kutegaskan sekali lagi bahwa
tiap orang bisa saja menipu orang lain dari apa yang tampak pada bagian
luarnya, namun siapa yang bisa menipu kebenaran yang ada pada dirinya sendiri?”
Tiap orang pastilah memiliki cara berpikir dan
juga pilihan ketika menjalani kehidupannya. Dan inilah bentuk lain dari
kebebasan yang diberikan Tuhan pada hambaNya, batinku di sela
penuturan panjang yang ia sampaikan padaku.
Matahari mulai meredup. Aku pun undur diri.
Sepanjang jalan aku merenung dan mencoba meresapi segapa apa yang hadir dalam
hati serta pikiranku.
“Aku takkan pernah mendapatkan pengetahuan
serta pemahaman seperti ini jika aku tetap bertahan di rumah. Kukira aku akan
menjadi pemuda yang tak pernah tahu tentang sisi lain dari kehidupan di dunia
ini. Tentunya, aku hanya akan menjadi pribadi yang datar, kurang pengetahuan,
dan tentunya kurang pengalaman,” batinku.[]
Yogyakarta, 11 Oktober 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar