Petir yang Jadi Air
PERLU membetik sedikit saja agar petir menjadi air
kalau pun mendung gagal menyimpan uap laut,
biarlah matahari akan terus bersembunyi
biarkan malam bernyanyi lagu cinta, tanpa jeda.
Mari menari di lantai dansa
tanpa alas kaki, bertelanjang saja
agar tak menggugah anak-anak bumi.
Relakan saja langit terpejam kelam
karena rembulan akan terus berkias
pada gemintang lewat puisi mimpimu.
Sedemikian liris jiwa menepi
di ujung relung gelisah
mengerumuni lara hati.
Yogyakarta, 12 Januari 2014
Musim-musim yang Berlari
MUSIM-musim yang berlari bersama waktu
bukanlah kisah kias dalam sebongkah batu
lalu kita pecahkan dengan kepal tangan
Musim-musim yang berlarian itu adalah penjuru
kadang datang dengan rupa pasai dan nyaris masai
jika hujan turun lebat, ia serupa jala lurus bak tirai
Dan musim-musim yang jatuh di halaman rumah
bukanlah kisah kias imajiner yang lahir dari mimpi
tapi ia adalah sekawanan isyarat dari negeri semesta
Yogyakarta, 14 Januari 2014
Dalam Pikiran yang Menari
NADA-nada ritmis melesat di kedua bola matamu
ia mengantarkan sebuah lagu tentang elegi negeri
pada jamuan bisu ia membisik di telingamu
dan suara-suara itu berdansa senada dawai biola
Kalau saja para penyair kehabisan kata-kata
tak dapat dibayangkan betapa merana jiwa perawan
pastilah tak ada jamuan rindu semanis madu
tak ada cumbu mesra dalam secawan cinta
sebab bujuk rayu tak lagi bernyawa di dada
Dalam pikiran yang tak jemu menari
desir-desir hati menjelma siluet kelabu
dalam pikiran yang meredam sengkarut
aliran rasa hanya menjadi awan, sarat benih hujan
ia hanya menunggu, dan menunggu, pergantian cuaca
lalu lekat hangat di bibir musim pasca pancaroba
laun tumpah lazimnya bah airmata di kantung matamu.
Yogyakarta, 04 Juni 2014
Puisi: Alda Muhsi
TANPA ARAH
DI antara tebing yang menyusut terhisap angin dan debu
mata-mata mereka masih saja menyilaukan tanya
menikam langit-langit malam nan kelam
tak pernah tersebar dan terdengar kabar tentang jawab yang diimpikan
hujan selalu menyertai pengharapan
ke mana lagi arah yang pantas dituju
sedangkan burung-burung telah berhenti terbang
pohon-pohon menggugurkan doa
Medan, Juni 2014
BIARKAN SAJA
BIARKAN saja angin membawanya pulang
melalui dahan-dahan pohon mangga dan juga daun yang dijalari nadi
di belakang istana sang raja ia berkutat dengan panas
luka yang semakin menganga
mencari satu-dua keping penawar lara
dalam tumpukan dosa
Medan, Juni 2014
BIBIR MERAH
BIBIR merah itu mewangi serupa mawar
tapi ia tanpa duri-duri di bagian tubuh
menyemerbakkan napas di antara ribuan demonstran
Bibir merah yang pagi tadi kulihat
mengapa telah lekat di bajuku
tak ada ruang tersisa
gambar-gambar yang tertera ditimpanya
melukis mimpi-mimpi indah di ujung mata
Bibir merah itu menjadi kusam setelah malam
ketika bintang-bintang menampakkan kilau
menelanjangi muda-mudi dalam selimut dan kamar mandi
Medan, Juni 2014
ALDA MUHSI: Lahir di Medan, 8 Maret 1993. Tercatat sebagai mahasiswa jurusan Sastra Indonesia Universitas Negeri Medan. Kini berdomisili di Jl. Amaliun No. 152 Medan. Penyuka puisi dan cerpen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar