Cerpen: Anam Khoirul Anam
Negeri Para Penyamun
LELAKI
bertubuh tambun itu luruh ke lantai setelah tiga butir peluru bersarang ke
dalam tubuhnya. Ia ambruk dengan kedua tangan terikat tali di belakang. Mulutnya
masih dililit sehelai kain putih berlumuran darah dari bibir dan juga mulutnya akibat
bogem popor senjata laras panjang. Ia disiksa sebelum darahnya muncrat ketika
butir peluru menghujam dada sebelah kiri, lalu disusul dua peluru di bahu dan
lengan kirinya. Ia mengerang bercampur desis menahan rasa sakit tak terikira. Tersengal-sengal.
Bersimbah darah. Darah itu menggenang, menelusur pada garis-garis lantai dan
menyisakan bercak-bercak merah saga. Ia pun gagal mengucapkan patah kata
terakhir sekalipun sebatas isyarat sebab nyawanya lebih dulu meregang dari
jasad. Ia telah sampai pada ajalnya.
“Ia
sudah mati?” tanya Habail pada rekannya. Tergesa ia pegang tubuh lelaki tambun
itu lalu mengarahkan telapak tangannya ke arah hidung untuk memastikan apakah
masih ada embus nafas atau tidak. Tak ada lagi nafas mengembus. Tak terdengar
detak jantung atau tubuh gemetar. Tubuh itu dingin.
Sementara
penembak itu masih berdiri mematung dengan tangan gemetar setelah melesakkan
tiga butir peluru hingga menewaskan seseorang yang sama sekali tak dikenalinya.
Ia telah menghabisi nyawa seseorang dalam hitungan menit. Ini adalah kali pertama
ia menjadi seorang pembunuh. “Entahlah?” hanya kata-kata itu yang keluar dari
mulutnya sebagai jawaban. Ia masih tak percaya dengan apa yang telah dilakukan
beberapa menit lalu. Mulanya, ia benar-benar ragu, namun karena terdesak, ia
pun menarik pelatuk pistol tersebut hingga melahirkan bunyi desing bercampur
suara ledakan peluru yang keluar dari moncong pistol tersebut. Saking tak
percaya pada apa yang baru saja terjadi, ia masih berdiri kaku seperti posisi orang
yang sedang melakukan gerakan kuda-kuda dalam ilmu persilatan. Kedua tangannya
masih mengacung ke depan sembari memegang pistol begitu kuat. Ia merasakan
aliran darahnya mengalir deras. Ada desir mengalir sampai ubun-ubun.
“Ia
sudah mati. Ini bayaranmu!” kata Pak Bos yang duduk di atas kursi goyang. Asap
putih mengepul dari mulutnya. Sebatang cerutu baru seperempat ia hisap. Ia
ambil beberapa ikat uang dari koper. Ia lemparkan beberapa ikat uang itu pada
pembunuh bayaran yang duduk di sampingnya. “Pergilah! Ingat, jangan sampai hal
ini diketahui orang banyak. Tutup mulutmu! Jika tidak, aku habisi hidupmu,
bahkan jika perlu seluruh keluargamu sekaligus. Jangan berbuat macam-macam,
sebab aku punya ‘kaki-tangan’ yang akan memata-matai gerak-gerikmu di luar
sana. Jika aku membutuhkanmu, akan kuhubungi nanti. Tak perlu takut. Apa yang
kamu lakukan ini takkan dilaporkan ke pihak berwajib. Ini urusanku dan
tanggungjawabku. Urusanmu sudah selesai sampai di sini. Silakan pergi dan bawa
upahmu!”
Ia
mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Ia pergi berlalu dari hadapan Pak Bos
dan juga anak buahnya. Ya, ia masih pemula jadi pembunuh bayaran. Ia masih
amatir. Ini adalah kali pertama baginya, dan hal itu ia lakukan karena terpaksa.
Ia
hitung uang itu. Uang itu lebih dari cukup untuk dijadikan tebusan, bahkan
cukup untuk melunasi utang-utangnya.
Sama
sekali tak ada niat baginya menjadi seorang pembunuh, namun karena desakan
hidup yang datang bertubi-tubi, didukung dengan situasi dan kondisi yang cukup
mendesak, ia pun memilih jalan pintas. Memang masih ada pilihan lain selain
menjadi seorang pembunuh. Masih ada pekerjaan lain selain membunuh. Namun waktu
tak bisa menunggu. Ia butuh uang secara cepat. Segera dan sesegera mungkin.
Esok ia harus membayar tebusan Rumah Sakit jika ingin anak istrinya pulang ke
rumah. Ia tak ingin berlama-lama berurusan dengan instansi tertentu, terlebih
jika hal itu ada kaitan dengan keuangan. Bukankah semakin lama istri dan
anaknya ditahan di dalamnya, maka akan semakin banyak biaya yang dikeluarkan
untuk menebusnya? Ia memang masih memiliki orang tua, sanak saudara, atau teman
yang mungkin bisa dipinjami uangnya. Namun tidak! Ia tak mau melakukan itu
lagi. Ia trauma dengan urusan pinjam meminjam. Ia pernah dipermalukan bahkan
diremehkan oleh orangtuanya sendiri karena pinjam uang pada adiknya sendiri,
“Kerjamu selama ini hasilnya apa? Bertahun-tahun kerja tak kelihatan hasilnya.
Lihat adikmu! Dia sekarang sudah punya rumah. Sudah punya mobil. Dan sebentar
lagi akan membuka cabang usahanya di berbagai kota.” Kata-kata itu benar-benar
menyulut kepedihan dalam hatinya. Ia tahan rasa sakit dalam dadanya. Ia mencoba
bersabar atas sikap yang selama ini ditunjukkan padanya. Selama ini ia selalu
mengalah. Selalu saja ia dibanding-bandingkan dengan orang lain, terutama
dengan adiknya. Ia tak terima, tapi tak dapat mengelak untuk menerima. Rasa
sakit yang ia pendam dan redam tak berhenti sampai di situ. Adik kandung yang
ia kira tulus membantu justru melontarkan kata-kata yang juga tak kalah
menyakitkan, “Aku malu pada suamiku. Sudah berapa tahun uang itu tak segera
dikembalikan. Kalau memang sudah punya uang, segeralah kembalikan, jangan hanya
diam seeneknya sendiri. Kerja bertahun-tahun tak jelas hasilnya. Memangnya uang
hasil kerjamu untuk apa?” Ya, kata-kata itu dilontarkan adiknya setahun setelah
ia diremehkan oleh sebagian besar keluarganya sendiri. Ia dipandang oleh sebagian
keluarganya terlalu merepotkan dan hanya bisa menyusahkan keluarga. Berawal
dari itulah ia merasa tak perlu lagi berbagi beban hidup dengan keluarganya.
Berawal dari itu pula ia berusaha menyelesaikan masalah-masalah hidupnya
sendiri. Sayangnya, meski sudah berupaya hidup mandiri, tanpa mengharap belas
kasih dari keluarganya, tetap saja ia masih diremehkan.
Akhirnya,
pada satu titik tertentu, ketika dirinya dihadapkan pada persoalan pelik dan
sangat mendesak, ia pun memilih tawaran menjadi seorang pembunuh bayaran dari
seseorang yang baru saja ia kenal. Perkenalan itu terjadi begitu cepat. Awal
mulanya pada suatu hari ia menulis di akun jejaring sosial pribadinya. “Aku butuh pekerjaan. Aku butuh uang cepat
untuk operasi persalinan istirku.” Begitu ia menulis. Lalu ada beberapa
orang mengomentari dan ada beberapa orang menawari pekerjaan. Ada yang menawari
menjadi angen penjual produk tertentu. Ada yang menawari kerja di pabrik, dan
lain sebagainya. Namun setelah dipikir-pikir pekerjaan yang ditawarkan membutuhkan
waktu cukup lama untuk bisa menghasilkan uang banyak secara cepat dan singkat.
Ia harus menebus biaya operasi persalinan istrinya dalam waktu dekat.
Menghasilkan uang sepuluh juta dalam sehari tentu bukan perkara mudah. Di lain
sisi, ia tak punya jaminan untuk berutang ke Bank atau ke pihak lainnya. Tak
ada barang yang bisa ia gadaikan. Satu-satunya sepeda motor yang ia pergunakan
untuk kerja pun jika dijual takkan cukup untuk tebusan. Pinjam pada
teman-temannya belum tentu ada dan sudi meminjami. Tentunya, ia tak ingin
pinjam lagi pada saudaranya, pasalnya pinjaman yang pertama belum ia bayar
hingga kini, padahal adiknya sudah berulangkali menagih. Selain merasa malu, ia
juga merasa dipermalukan. “Saudara itu orangnya, tapi tidak untuk uangnya.”
Begitu kata salah satu rekannya, dan memang benar bahwa saudara itu hanya
orangnya, tapi bukan untuk harta bendanya.
Ya,
ditengah-tengah situasi yang kalut semacam itu tak ada pilihan lain selain
mencari cara dan jalan lain agar anak istirnya bisa segera keluar dari Rumah
Sakit. Beberapa hari kemudian, ada seseorang menelepon. Nomor baru dan tentunya
ia tak tahu ataupun mengenalnya. Setelah berbicara panjang lebar lelaki itu
menawari pekerjaan padanya.
“Saya ada pekerjaan dan kemungkinan besar akan
lebih cepat membantu menyelesaikan masalah yang sedang Anda hadapi,” begitu
kata lelaki di seberang sana dengan suara agak serak.
“Pekerjaan
apa itu?”
“Kita ketemu saja. Nanti saya jelaskan
tentang pekerjaan ini.”
Awalnya
ia ragu, namun mengingat waktu yang terus bergulir dan ia tak ingin
berlama-lama tenggelam dalam masalah, akhirnya ia menemui penelepon tersebut.
Dan pada akhirnya dari pekerjaan itu pula ia berhasil membawa uang tebusan
sekali pun dengan cara yang salah besar.
Entahlah?
Hanya itu yang ada dalam pikirannya. Mendapat uang sebagai tebusan biaya
persalinan.
Ia
tak tahu apakah menjadi anak durhaka atau tidak. Pasalnya, ia tak memberi kabar
pada orangtuanya perihal kelahiran anaknya itu. Ia sudah terlanjur sakit hati atas
sikap dan perilaku yang ditunjukkan serta diberikan padanya selama ini. Akibat
rasa sakit hati yang ia rasakan, lebih dari sepuluh tahun ia tak pulang kampung,
bahkan nyaris tak memberi kabar. Ia merasa lebih aman dan nyaman ketika jauh
dari keluarganya. Selalu saja ada hal-hal menyakitkan ketika berkumpul dengan
keluarganya. Keluarganya terlalu cerewet, suka ikut campur, dan terlalu dalam
mengorek urusan pribadi, bahkan kalau perlu ia pakai celana dalam pun akan
ditanyakan darimana asalnya atau dengan uang siapa membelinya. Hal itu
benar-benar sudah kelewat batas baginya. Jangan salahkan jika pada akhirnya ia
memutuskan angkat kaki dari rumah untuk meredam rasa sakit hatinya. Lebih baik
menjauh daripada dekat akan tetapi justru tak mendapat perlakuan secara
semestinya. Justru setelah ia berada jauh dari keluarganya membuat dirinya
lebih mandiri dan merasa tak diintimidasi oleh keluarga sendiri. Jika harus
bertanya pada hati nuraninya, tentu ia tak ingin berbuat atau bersikap demikian
terhadap keluarga, terutama orangtuanya. “Apa salah dan dosaku hingga aku
diperlakukan seperti ini? Bukankah aku anaknya, bukankah aku juga keluarganya,
darah dagingnya? Mengapa aku selalu saja diperlakukan sedemikian menyakitkan?”
batinnya.
***
ENTAH
iblis mana yang berhasil menghasut dirinya sampai-sampai ia memilih menjadi
pembunuh bayaran daripada menjadi pekerja atau pengusaha lainnya. Ia berpikir
itu adalah cara tercepat untuk menunjukkan kemampuan di hadapan keluarganya. Ia
ingin sesegera mungkin mengobati rasa sakit hatinya. Ia sudah tak tahan
mendengar cibiran, kata-kata nyinyir, bahkan sikap merendahkan yang ditunjukkan
padanya. Selain keterlaluan dan sangat berlebihan, tak sepantasnya orang tua
berbuat demikian pada anaknya. Sebuas-buasnya harimau, ia masih melindungi
anaknya dari malabahaya. Jujur, ia tak ingin balas dendam, ia hanya ingin
mengakhiri rasa sakit di dadanya yang sudah sejak sekian lama ditahan. Ia paham
betul bagaimana sifat atau watak orangtuanya, mereka hanya ingin bukti bukan
sekedar omong kosong belaka.
Ia
kembali menghubungi Pak Bos dan menyatakan diri untuk ikut kerja bersamanya.
Tanpa menuai kendala, ia pun dinyatakan telah bergabung dalam komplotan
pembunuh bayaran alias menjadi anak buah Pak Bos. Awalnya canggung, lambat laun
tak hanya jadi amatir melainkan sangat profesional. Dari pekerjaan itu, ia
mendapatkan bayaran cukup besar. Pekerjaan itu tentu menjadi rahasia dirinya.
Istrinya tak tahu, apa lagi keluarganya. Istrinya hanya tahu kalau tiap pagi ia
pergi kerja ke kantor walau kadang pulang tak pasti, bahkan tak pulang selama
beberapa hari.
Tak
ayal dari usahanya itu ia bisa membeli rumah, membeli mobil, dan apa saja yang diinginkan.
Perubahan itu pun berdampak pada sikap kedua orangtuanya. Mereka berubah
pikiran, semula mencibir sekarang berubah pandangan dan anggapan bahwa anaknya
sudah tajir. Dulu dianggap kere karena tinggal di kontrakan, sekarang tinggal
di rumah gedongan. Dulu dengan nada sinis, sekarang bertutur kata manis. Padahal
mereka tak tahu jika anak yang sekarang disanjungpuji adalah seorang pembunuh
bayaran.
Tahun
1998 ia terlibat dalam aksi perampokan. Karena sudah dilatih dan terlatih ia
pun dengan mulus membobol Bank. Merampok toko. Menjarah pusat perbelanjaan, dan
beragam modus kejahatan lainnya. Dari pembunuhan secara manis sampai dengan
pembunuhan secara sadis telah dilakukannya. Dari menggunakan alat sederhana
yang tumpul sampai menggunakan alat paling tajam dan mengadung racun berbahaya.
Dari senjata api sampai setrum berteganggan tinggi. Semua sudah ia lakukan.
Perilaku keji itu pun dipuji oleh Pak Bos yang menjuluki dirinya pembunuh
paling kejam di dunia. Sang Predator.
Semua ia lakukan secara rapi dan nyaris tanpa gagal. Ya, karena selalu
berhasil, sampai detik itu namanya masih bersih di mata istirnya maupun
keluarga besarnya. Ia begitu cerdik dan pandai menyimpan rahasia. Dari usaha
yang selama ini sudah dilakukan, ia melihat kebahagiaan di wajah-wajah
keluarganya, namun ada rasa pilu bercampur sakit kian kelu di dadanya. Ia
menelan senyum asam yang kemudian berubah getir dan pahit. Ia tak mampu
mendustai rasa pilu yang menohok dadanya.
***
BARANGKALI
Tuhan tidak ingin membiarkan kejahatan terlalu lama merajalela di muka bumi.
Tentunya, Alam juga tidak ingin berlama-lama memutuskan ketetapan hukumnya.
Kejahatan apapun pasti akan menuai hasilnya. Kejahatan apapun akan sampai pada
ujungnya. Bangkai yang terlalu lama ditimbun pasti akan tercium pula bau
busuknya.
Suatu
hari ia lupa menaruh pistolnya di tempat biasa; tempat di mana ia biasa
menyembunyikan benda berbahaya itu dari jangkauan siapapun. Kecerobohan dan
keteledoran itu merupakan awal tersingkapnya tabir rahasia yang sudah ia tutupi
selama kurang lebih dua puluh tahun. Lebih mengejutkan lagi, senjata itu
ditemukan oleh anak ragilnya yang baru berumur 3 tahun. Pistol itu pun dibuat
mainan. Mungkin karena terinspirasi dari film laga dari manca negara dan juga
banyaknya mainan serupa, anak itu menarik pelatuk pistol revolver tersebut seperti ketika ia sedang memainkan senjata
mainannya. Dor…..bunyi itu pecah
dalam ruangan. Bunyi itu bergema. Biji peluru itu memantul dari tembok dan
bersarang di kepala ayahnya yang sedang menonton televise. Meildar Saah—si
pembunuh bayaran terkeji se-dunia, si Predator, tewas seketika di atas kursi
sofa. Dan sore itu adalah akhir cerita bagi sang Predator yang ternyata sudah
menjadi Daftar Pencarian Orang (DPO) dari Dalam Negeri maupun dari Luar Negeri.
Tak
ayal jika Meildar Saah yang dikenal baik, pendiam, dan suka menolong atau
memberi itu adalah seorang pembunuh bayaran kelas kakap. Siapa nyana di balik
penampilannya yang ramah itu ada rahasia besar disembunyikan. Bermula dari
senjata yang kali pertama ia pergunakan untuk membunuh—dan kini menjadi senjata
makan tuan—adalah awal penyidikan demi penyidikan dari pihak Kepolisian.
Perlahan, dari hasil investigasi membuahkan hasil yang menyatakan bahwa Meildar
Saah telah terlibat dalam banyak kasus pembunuhan, perampokan, dan aksi
kejahatan lainnya. Tak hanya secara organisir tapi juga dilakukan di berbagai
tempat, bahkan hampir ke berbagai belahan dunia. Satu kejahatan yang tak pernah
dilakukannya adalah kejahatan seksual. Selama menjadi pembunuh bayaran ia
pantang melakukan tindak kejahatan seksual. Padahal jika ia mau melakukannya,
bukan merupakan sesuatu hal mustahil baginya. Tapi tidak! Ia tidak mau
melakukan hal itu. Apa alasannya, tentu Meildar Saah yang lebih mengetahui.
Barangkali ia tak ingin menghianati istirnya. Ia hanya jahat secara perilaku,
tapi dalam hal cinta ia tak ingin menjadi penjahat ataupun penghianat.
Berawal
dari kematian Meildar Saah itu pula terungkap jaringan-jaringan yang pernah
terlibat di dalamnya. Sayangnya, proses pengusutan itu berhenti sampai di
tengah, tak sampai puncak atau sampai ke akar-akarnya. Sama sekali tak tuntas. Investigasi
itu tak sampai menyentuh wilayah kekuasaan Pak Bos yang telah membawa
perjalanan Meildar Saah menjadi seorang pembunuh bayaran.
Kabar
kematian Meildar Saah dengan begitu cepat menyebar ke seantero jagat. Tak hanya
secara nasional, berita kematiannya juga tersiar sampai media internasional.
Kabar berita kematiannya disiarkan oleh seluruh stasiun televisi lokal,
nasional, dan juga internasional. Menjadi tajuk utama pemberitaan media massa.
Menjadi topik pemberitaan di halaman paling depan dan paling atas. Menjadi
perbincangan hangat di berbagai media-media lainnya. Apa yang tidak diketahui
oleh kebanyakan orang selama ini, pelan tapi pasti, satu demi satu, tindak
kejahatan yang dilakukannya mulai terbongkar.
Apa
yang perlu disesali dari kejadian itu? Mungkin hanya kekecewaan yang tersisa di
hati keluarga Meildar Saah. Kalau pun ingin marah, rasanya juga percuma. Semua
sudah terlanjur terjadi. Ikhlas? Mungkin bisa, tapi berat. Mungkin itu pula
alasan Meildar Saah selalu tutup mulut jika ditanya perihal pekerjaannya lebih
jauh atau lebih mendalam. Selain karena tak ingin diketahui, ia juga tak ingin
keluarganya terlibat dalam kasus hukumnya. Bukankah ketika orang lain atau
keluarganya tahu justru akan menyeret keluarganya ke dalam masalah pribadinya,
dan tentunya jika ia bercerita pada keluarganya pasti akan dijadikan sebagai
saksi atas tindak kejahatannya? Bukankah dengan ia bersikap diam tidak akan ada
yang dijadikan saksi, sekali pun tetap saja akan menjadi saksi. Tutup mulut
merupakan cara efektif baginya. Setidaknya cara itu tidak akan memberatkan
keluarganya lebih jauh. Ia tak ingin keluarganya lantas menderita setelah semua
keburukan yang ia simpan terkuak. Mungkin ia benar, tapi tetap saja keliru.
Bisa saja setelah meninggal tidak akan terkena sangsi hukum, tapi tidak untuk
hukum lainnya, termasuk cacat yang akan ia tinggalkan pada keluarganya. Bisa
saja selepas kematiannya keluarga yang ditinggalkan akan divonis sebagai
keluarga pembunuh, atau tuduhan-tuduhan lainnya. Mungkin anaknya akan diejek teman
sebayanya sebagai anak dari seorang pembunuh. Atau mungkin tuduhan-tuduhan lain
yang justru lebih berat dari apa yang ia pikirkan. Ia mungkin bisa menghidari
hukum dan hukuman, tapi tidak untuk mereka yang ditinggalkan. Mungkin ia
pandai, tapi bisa jadi ia adalah orang bodoh yang gegabah dalam bersikap. Ia
adalah tupai yang jatuh di tempat yang salah.[]