Kamis, 19 Desember 2013

Cerpan: Ocha Thalib



Ruang Hampa

Malam belum terlalu larut, tapi waktu serasa lamban merayap. Suara hujan dan angin yang bersahut-sahutan di luar rumah, terdengar seperti rintihan dan erangan bagi Laras. Ada yang terasa sesak di dadanya, seakan meluap-luap siap memuntahkan gumpalan-gumpalan yang membuatnya sulit bernafas. Detak jantungnya berdentam-dentam bak irama musik cadas yang tak beraturan ritmenya. Memekakkan gendang telinga dan serasa seperti dinamit yang siap-siap meledak di rongga dada.
Laras bertanya-tanya di dalam hati, apa yang terjadi pada dirinya? Sempat terlintas akan penyakit jantung, yang membuat beberapa temannya berpulang pada Sang Pencipta secara tiba-tiba. Rasanya tak mungkin, karena ia rajin memeriksakan diri dan juga rutin berolahraga. Asupan makananpun sangat teliti ia jaga bagi dirinya maupun seluruh anggota keluarga. Lalu, kenapa?
Larasati Hermawan, begitulah nama yang sering menjadi buah bibir, terutama menjadi topik utama para ibu-ibu dikala arisan. Suara-suara yang terdengar penuh kekaguman dan tak jarang terselip rasa iri dari para wanita-wanita disekelilingnya. Bagaimana tidak, diusianya yang menginjak usia 40 tahun, ia telah memiliki segalanya.
Paras dan penampilan Laras yang rupawan, suami yang baik dan telah memberinya anak-anak dengan prestasi yang membanggakan. Dan yang tak kalah penting, jaminan kesejahteraan hidup yang layak telah ia dapatkan. Sungguh merupakan kehidupan yang ideal bagi kebanyakan orang. Hal itu pula yang membuat orang-orang berharap dapat menjalani kehidupan seperti yang telah didapatkan Laras selama ini.
Kerongkongan Laras terasa kering. “Mungkin dengan segelas air dapat menyejukkan kerongkonganku”, ucapnya dalam hati. Segera ia coba bangkit dari pembaringannya, tapi kedua kakinya tak dapat digerakkan. Dicobanya sekali lagi dengan mengerahkan seluruh tenaga yang tersedia. Percobaan yang berulang-ulang ia lakukan, menguras seluruh tenaganya. Laras terkulai lemas dan pasrah.
Matanya mulai menyusuri tiap jengkal tubuhnya beserta seluruh sudut ruangan kamarnya yang tak sempat ia perhatikan sebelumnya. Mungkin dengan melakukan hal itu ia akan menemukan penyebab ketidak berdayaannya.
Hey...sepasang kakinya yang putih mulus itu terpasung. Laras mendapati sepasang palang kayu dengan gembok yang terkunci pada ujung kayu tersebut, hingga menyebabkan kakinya tak dapat leluasa bergerak. Terdapat lebam merah pada pergelangan kakinya.
Hal ini membangkitkan ingatannya pada film "Perempuan Dalam Pasungan", sebuah film drama era tahun 80an yang sangat terkenal itu. Film yang menceritakan tentang Fitri, seorang perempuan yang dipasung dan disekap oleh orangtuanya karena disangka mengalami gangguan kejiwaan. Potret seorang perempuan khas Indonesia yang cantik, sederhana, penurut juga lembut tetapi diperlakukan semena-mena oleh keluarga maupun lingkungan sekitarnya dimana ia tinggal.
Cerita yang sangat menyedihkan, yang membuat Laras teringat ia pernah menitikkan airmata saat menyaksikan film tersebut di bioskop bertahun-tahun yang lalu. Hukum Pasung, hukuman yang tidak berperikemanusiaan.
Laras menggeleng-gelengkan kepalanya seolah-olah mengibaskan kenangan masa lalunya dan berusaha mengingat kembali akan kondisinya saat ini. Berbagai pertanyaan berkecamuk dan bermunculan dibenaknya. Mengapa kakinya terpasung pada palang kayu yang terlihat sangat kokoh ini? Siapa yang setega ini berbuat padanya? Gilakah ia seperti tokoh Fitria di film "Perempuan Dalam Pasungan" sehingga harus dihukum pasung? Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang butuh jawaban akan hidupnya kini.
"Mas Heeeeer", Laras berteriak sekeras-kerasnya dan berharap suaminya akan menghampiri dan menjelaskan apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Mendengar teriakannya sendiri membuat Laras terkejut. Selama hidupnya belum pernah sekalipun ia berteriak, berbicara dengan nada tinggi atau marah pada siapapun. Ia dikenal sebagai wanita yang berhati lembut, bertutur kata halus dan penurut.
Semua sia-sia, teriakan kerasnya hanya dijawab oleh suara hujan dan angin yang masih tetap bersahut-sahutan di luar rumah. Laras memang hanya memanggil nama suaminya saja, karena sudah beberapa tahun belakangan ia hanya tinggal bersama suami tercinta, asisten rumah tangga dan supir pribadi. Ketiga anak mereka masing-masing bersekolah di beberapa universitas terkenal di luar negeri. Sementara setiap akhir pekan, mereka selalu memberikan libur pada asisten rumah tangga dan juga supir pribadi.
Begitu pula di saat itu. Perbedaannya kali ini, Mas Hermawan, suaminya tak berada di rumah. Sudah sedari pagi suaminya pamit untuk mendampingi rekan bisnis yang sedang berkunjung ke Indonesia, sehingga tak ada seorangpun di rumah yang dapat menjelaskan dan menjawab tanda tanya besar yang berputar-putar di kepalanya.
Kesendirian yang amat sangat mengguncang batinnya. Selanjutnya, jebollah bendungan air matanya meskipun telah ia jaga sekuat tenaga. Aliran air matanya sederas hujan yang tak juga berhenti, seakan-akan turut menangisi nasib Laras. Tanpa rasa sungkan dan malu ia menangis sesenggukkan, melampiaskan beban hati yang selama ini disimpannya seorang diri selama bertahun-tahun.
"Apa salahku hingga diberikan hukuman sekejam ini? Tak cukupkah peranku selama ini menjadi wanita ideal?” Laras bertanya pada dirinya sendiri.
Laras memejamkan matanya dan mulai menyusun kembali potongan potret-potret kehidupan dalam benaknya. Tak ada seorangpun yang tahu tersiksanya ia selama ini, selalu tunduk pada keinginan suami, keluarga dan tuntutan orang-orang di sekitarnya yang menokohkan dirinya sebagai wanita sempurna, ibu rumah tangga berhati lembut, penurut dan nyaris tanpa cela.
Senyum penuh kesabaran dan rasa ikhlas selalu menaungi wajahnya. Sebentar...Laras meralat pikirannya, lebih tepatnya adalah dengan berkedok topeng itulah Laras menjalani hari-harinya. Ada amarah yang membara saat terbayang ia sedang mengenakannya. Dibalik topeng senyuman tersembunyilah kehidupan yang jauh dari kata bahagia.
Didikan keluarga membuatnya tumbuh menjadi wanita yang "melayani". Sejak kecil ia selalu menjadi anak manis yang membanggakan, panutan bagi anak-anak seusianya dan selalu patuh pada orang tua. Saat beranjak dewasa dan menikahpun, lagi-lagi ia mendapat petuah dari orang tuanya untuk patuh pada suami hingga akhir hayat. Begitu banyak wanita lain yang ingin bertukar posisi dengannya apabila diberikan sekali lagi kehidupan di dunia ini.
"Wanita itu seperti bunga yang mampu memberi kebahagiaan melalui kecantikannya, penghasil madu bagi sang kumbang, juga berfungsi sebagai tempat penyerbukan dan pembuahan. Kau harus bisa seperti itu ya, nak", terngiang pesan ibunya pada Laras.
"Iya, bu", jawab Laras dalam perannya sebagai anak yang patuh pada orangtua.
Setelah bertahun-tahun dan mulai lelah dengan perannya sebagai wanita sempurna, Laras merasakan adanya ketidakadilan. Padahal ini zaman modern, berjuta cita-cita yang ingin ia wujudkan. Memang tak ada paksaan seperti dizaman RA Kartini, tetapi Laras tetap merasakan pasungan terhadap emansipasi ini dalam wujud yang terselubung. Jangankan untuk berkarir, ia bahkan tak punya hak untuk menyuarakan kata hatinya. Semua yang dikatakan suami maupun orangtua adalah keputusan yang tak dapat diganggu gugat.
"Inilah nasibku sekarang, hidup dengan pasungan palang kayu yang menyiksa batin dan ragaku," Laras berujar pada dirinya sendiri disela tangisnya.
Bukan...Bukan ia tak bersyukur akan apa yang telah didapatnya selama ini. Ia sangat bersyukur akan berlimpahnya kesenangan yang diterima, tapi ia juga merasa punya hak untuk menjadi dirinya sendiri untuk mengisi ruang hampa hatinya. Bukan pula wujud rasa ingin menang sendiri atau hal-hal negatif akan kesalah kaprahan dalam menerapkan arti emansipasi. Mungkin banyak juga yang akan menganggapnya kurang waras karena ketidak bahagiannya. Ia tak perduli lagi.
Laras masih memejamkan matanya mencari cara untuk mengakhiri pasungan terselubung ini. Dengan mengandalkan naluri ia meraba-raba, berusaha meraih kunci yang tergeletak tak jauh dari pembaringannya. Hal yang seharusnya sudah ia lakukan bertahun-tahun lalu untuk menghentikan penderitaannya.
Dimasukkannya anak kunci pada lubang gembok dan perlahan diputarnya, hingga gembok terbuka. Ahhh...lega sekali, Laras merasakan kebebasan pada kedua kakinya. Tak hanya pada kakinya, tapi juga seluruh tubuh dan juga kehidupannya. Hilang kesesakan di dada yang sebelumnya sering ia rasakan. Suara hujan dan anginpun terdengar seperti simphoni yang menyejukkan jiwanya.
Perlahan-lahan Laras membuka matanya. Kekhawatiran masih terlihat di wajahnya. Ia berharap kebebasannya bukanlah mimpi belaka. Saat matanya telah terbuka lebar, kembali diamatinya sekeliling pembaringannya dan  tak didapatinya lagi palang kayu yang sebelumnya telah memasung kakinya. Pada kenyataannya, batinnyalah yang terpasung selama puluhan tahun.
Laras menyunggingkan senyuman saat teringat kalimat "Life begins at forty", ternyata kalimat itu begitu nyata merasuki seluruh relung batin hampanya. Serasa terlahir kembali, Laras kini tahu apa yang harus ia lakukan pada kehidupannya kelak. Apapun resiko yang akan dihadapi ia telah siap melangkah.
Dipandanginya wajahnya di cermin, ada sebuah senyuman di sana. Senyuman tulus Laras yang telah menanggalkan topeng kehidupannya.[] 

Ocha Thalib, adalah nama pena dari Rosanthy Sari. Penulis kelahiran 9 November ini berdomisili di Depok, Jawa Barat. Penyuka musik, travelling dan menulis ini karyanya pernah memenangkan beberapa event dan telah diterbitkan dalam beberapa antologi.  Penulis dapat dihubungi melalui email: areek99@yahoo.com, Twitter: OchaTh, FB: Rosanthy Sari dan FP: Ocha Thalib. 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar