Malam belum terlalu larut,
tapi waktu serasa lamban merayap. Suara hujan dan angin yang bersahut-sahutan
di luar rumah, terdengar seperti rintihan dan erangan bagi Laras. Ada yang
terasa sesak di dadanya, seakan meluap-luap siap memuntahkan gumpalan-gumpalan
yang membuatnya sulit bernafas. Detak jantungnya berdentam-dentam bak irama
musik cadas yang tak beraturan ritmenya. Memekakkan gendang telinga dan serasa
seperti dinamit yang siap-siap meledak di rongga dada.
Laras bertanya-tanya di dalam
hati, apa yang terjadi pada dirinya? Sempat terlintas akan penyakit jantung,
yang membuat beberapa temannya berpulang pada Sang Pencipta secara tiba-tiba.
Rasanya tak mungkin, karena ia rajin memeriksakan diri dan juga rutin
berolahraga. Asupan makananpun sangat teliti ia jaga bagi dirinya maupun
seluruh anggota keluarga. Lalu, kenapa?
Larasati Hermawan, begitulah nama yang sering menjadi buah
bibir, terutama menjadi topik utama para ibu-ibu dikala arisan. Suara-suara
yang terdengar penuh kekaguman dan tak jarang terselip rasa iri dari para
wanita-wanita disekelilingnya. Bagaimana tidak, diusianya yang menginjak usia
40 tahun, ia telah memiliki segalanya.
Paras dan penampilan Laras
yang rupawan, suami yang baik dan telah memberinya anak-anak dengan prestasi
yang membanggakan. Dan yang tak kalah penting, jaminan kesejahteraan hidup yang
layak telah ia dapatkan. Sungguh merupakan kehidupan yang ideal bagi kebanyakan
orang. Hal itu pula yang membuat orang-orang berharap dapat menjalani kehidupan
seperti yang telah didapatkan Laras selama ini.
Kerongkongan Laras
terasa kering. “Mungkin dengan segelas air dapat menyejukkan kerongkonganku”,
ucapnya dalam hati. Segera ia coba bangkit dari pembaringannya, tapi kedua
kakinya tak dapat digerakkan. Dicobanya sekali lagi dengan mengerahkan seluruh
tenaga yang tersedia. Percobaan yang berulang-ulang ia lakukan, menguras
seluruh tenaganya. Laras terkulai lemas dan pasrah.
Matanya mulai menyusuri tiap jengkal tubuhnya beserta seluruh
sudut ruangan kamarnya yang tak sempat ia perhatikan sebelumnya. Mungkin dengan
melakukan hal itu ia akan menemukan penyebab ketidak berdayaannya.
Hey...sepasang kakinya yang putih mulus itu terpasung. Laras
mendapati sepasang palang kayu dengan gembok yang terkunci pada ujung kayu
tersebut, hingga menyebabkan kakinya tak dapat leluasa bergerak. Terdapat lebam
merah pada pergelangan kakinya.
Hal ini membangkitkan
ingatannya pada film "Perempuan Dalam Pasungan", sebuah film drama
era tahun 80an yang sangat terkenal itu. Film yang menceritakan tentang Fitri,
seorang perempuan yang dipasung dan disekap oleh orangtuanya karena disangka
mengalami gangguan kejiwaan. Potret seorang perempuan khas Indonesia yang
cantik, sederhana, penurut juga lembut tetapi diperlakukan semena-mena oleh
keluarga maupun lingkungan sekitarnya dimana ia tinggal.
Cerita yang sangat
menyedihkan, yang membuat Laras teringat ia pernah menitikkan airmata saat
menyaksikan film tersebut di bioskop bertahun-tahun yang lalu. Hukum Pasung,
hukuman yang tidak berperikemanusiaan.
Laras menggeleng-gelengkan kepalanya seolah-olah mengibaskan
kenangan masa lalunya dan berusaha mengingat kembali akan kondisinya saat ini.
Berbagai pertanyaan berkecamuk dan bermunculan dibenaknya. Mengapa kakinya
terpasung pada palang kayu yang terlihat sangat kokoh ini? Siapa yang setega
ini berbuat padanya? Gilakah ia seperti tokoh Fitria di film "Perempuan
Dalam Pasungan" sehingga harus dihukum pasung? Dan masih banyak lagi
pertanyaan-pertanyaan yang butuh jawaban akan hidupnya kini.
"Mas Heeeeer", Laras berteriak sekeras-kerasnya dan
berharap suaminya akan menghampiri dan menjelaskan apa yang sebenarnya sedang
terjadi.
Mendengar teriakannya sendiri
membuat Laras terkejut. Selama hidupnya belum pernah sekalipun ia berteriak,
berbicara dengan nada tinggi atau marah pada siapapun. Ia dikenal sebagai
wanita yang berhati lembut, bertutur kata halus dan penurut.
Semua sia-sia, teriakan kerasnya hanya dijawab oleh suara hujan
dan angin yang masih tetap bersahut-sahutan di luar rumah. Laras memang hanya
memanggil nama suaminya saja, karena sudah beberapa tahun belakangan ia hanya
tinggal bersama suami tercinta, asisten rumah tangga dan supir pribadi. Ketiga
anak mereka masing-masing bersekolah di beberapa universitas terkenal di luar
negeri. Sementara setiap akhir pekan, mereka selalu memberikan libur pada
asisten rumah tangga dan juga supir pribadi.
Begitu pula di saat itu.
Perbedaannya kali ini, Mas Hermawan, suaminya tak berada di rumah. Sudah sedari
pagi suaminya pamit untuk mendampingi rekan bisnis yang sedang berkunjung ke
Indonesia, sehingga tak ada seorangpun di rumah yang dapat menjelaskan dan
menjawab tanda tanya besar yang berputar-putar di kepalanya.
Kesendirian yang amat sangat mengguncang batinnya. Selanjutnya,
jebollah bendungan air matanya meskipun telah ia jaga sekuat tenaga. Aliran air
matanya sederas hujan yang tak juga berhenti, seakan-akan turut menangisi nasib
Laras. Tanpa rasa sungkan dan malu ia menangis sesenggukkan, melampiaskan beban
hati yang selama ini disimpannya seorang diri selama bertahun-tahun.
"Apa salahku hingga
diberikan hukuman sekejam ini? Tak cukupkah peranku selama ini menjadi wanita
ideal?” Laras bertanya pada dirinya sendiri.
Laras memejamkan matanya dan mulai menyusun kembali potongan
potret-potret kehidupan dalam benaknya. Tak ada seorangpun yang tahu
tersiksanya ia selama ini, selalu tunduk pada keinginan suami, keluarga dan
tuntutan orang-orang di sekitarnya yang menokohkan dirinya sebagai wanita
sempurna, ibu rumah tangga berhati lembut, penurut dan nyaris tanpa cela.
Senyum penuh kesabaran dan
rasa ikhlas selalu menaungi wajahnya. Sebentar...Laras meralat pikirannya,
lebih tepatnya adalah dengan berkedok topeng itulah Laras menjalani
hari-harinya. Ada amarah yang membara saat terbayang ia sedang mengenakannya.
Dibalik topeng senyuman tersembunyilah kehidupan yang jauh dari kata bahagia.
Didikan keluarga membuatnya tumbuh menjadi wanita yang
"melayani". Sejak kecil ia selalu menjadi anak manis yang
membanggakan, panutan bagi anak-anak seusianya dan selalu patuh pada orang tua.
Saat beranjak dewasa dan menikahpun, lagi-lagi ia mendapat petuah dari orang
tuanya untuk patuh pada suami hingga akhir hayat. Begitu banyak wanita lain
yang ingin bertukar posisi dengannya apabila diberikan sekali lagi kehidupan di
dunia ini.
"Wanita itu seperti bunga yang mampu memberi kebahagiaan
melalui kecantikannya, penghasil madu bagi sang kumbang, juga berfungsi sebagai
tempat penyerbukan dan pembuahan. Kau harus bisa seperti itu ya, nak",
terngiang pesan ibunya pada Laras.
"Iya, bu", jawab Laras dalam perannya sebagai anak
yang patuh pada orangtua.
Setelah bertahun-tahun dan mulai lelah dengan perannya sebagai
wanita sempurna, Laras merasakan adanya ketidakadilan. Padahal ini zaman
modern, berjuta cita-cita yang ingin ia wujudkan. Memang tak ada paksaan
seperti dizaman RA Kartini, tetapi Laras tetap merasakan pasungan terhadap
emansipasi ini dalam wujud yang terselubung. Jangankan untuk berkarir, ia
bahkan tak punya hak untuk menyuarakan kata hatinya. Semua yang dikatakan suami
maupun orangtua adalah keputusan yang tak dapat diganggu gugat.
"Inilah nasibku sekarang, hidup dengan pasungan palang
kayu yang menyiksa batin dan ragaku," Laras berujar pada dirinya sendiri
disela tangisnya.
Bukan...Bukan ia tak bersyukur
akan apa yang telah didapatnya selama ini. Ia sangat bersyukur akan
berlimpahnya kesenangan yang diterima, tapi ia juga merasa punya hak untuk
menjadi dirinya sendiri untuk mengisi ruang hampa hatinya. Bukan pula wujud
rasa ingin menang sendiri atau hal-hal negatif akan kesalah kaprahan dalam
menerapkan arti emansipasi. Mungkin banyak juga yang akan menganggapnya kurang
waras karena ketidak bahagiannya. Ia tak perduli lagi.
Laras masih memejamkan matanya mencari cara untuk mengakhiri
pasungan terselubung ini. Dengan mengandalkan naluri ia meraba-raba, berusaha
meraih kunci yang tergeletak tak jauh dari pembaringannya. Hal yang seharusnya
sudah ia lakukan bertahun-tahun lalu untuk menghentikan penderitaannya.
Dimasukkannya anak kunci pada
lubang gembok dan perlahan diputarnya, hingga gembok terbuka. Ahhh...lega
sekali, Laras merasakan kebebasan pada kedua kakinya. Tak hanya pada kakinya,
tapi juga seluruh tubuh dan juga kehidupannya. Hilang kesesakan di dada yang
sebelumnya sering ia rasakan. Suara hujan dan anginpun terdengar seperti simphoni
yang menyejukkan jiwanya.
Perlahan-lahan Laras membuka matanya. Kekhawatiran masih
terlihat di wajahnya. Ia berharap kebebasannya bukanlah mimpi belaka. Saat
matanya telah terbuka lebar, kembali diamatinya sekeliling pembaringannya
dan tak didapatinya lagi palang kayu
yang sebelumnya telah memasung kakinya. Pada kenyataannya, batinnyalah yang
terpasung selama puluhan tahun.
Laras menyunggingkan senyuman saat teringat kalimat "Life
begins at forty", ternyata kalimat itu begitu nyata merasuki seluruh
relung batin hampanya. Serasa terlahir kembali, Laras kini tahu apa yang harus
ia lakukan pada kehidupannya kelak. Apapun resiko yang akan dihadapi ia telah
siap melangkah.
Dipandanginya wajahnya di cermin, ada sebuah senyuman di sana.
Senyuman tulus Laras yang telah menanggalkan topeng kehidupannya.[]
Ocha
Thalib, adalah nama pena dari Rosanthy Sari. Penulis kelahiran 9 November ini
berdomisili di Depok, Jawa Barat. Penyuka musik, travelling dan menulis ini
karyanya pernah memenangkan beberapa event dan telah diterbitkan dalam beberapa
antologi. Penulis dapat dihubungi
melalui email: areek99@yahoo.com,
Twitter: OchaTh, FB: Rosanthy Sari dan FP: Ocha Thalib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar