Anjing Tetangga
GABRIEL
itu anjing tetanggaku. Ia mati bukan karena bunuh diri, pun tak dibunuh orang.
Ia mati keracunan roti kadaluarsa. Beberapa hari lalu memang ada hajatan besar
pernikahan di RT sebelah. Dan yang menikah itu kebetulan adalah kekasihku yang
sebulan lalu memutuskan hubungan denganku. Sebelum meregang nyawa, ada busa
keluar dan memenuhi moncong mulutnya. Kedua matanya berkedip-kedip. Meredup.
Lalu tertutup. Roti kadaluarsa itulah penyebab nyawanya meregang. Pemiliknya
sering memberi makan secara sembarangan. Setahuku, anjing itu tak pernah ke mana-mana
selain di tempatnya dengan leher terikat pada tiang dekat kandangnya sendiri.
Tiap hari ia hanya keluar masuk kandang dengan kondisi serupa, leher terikat.
Si pemilik anjing tak mau melepaskan ikatan itu karena tak ingin cari masalah
dengan tetangga. Anjing itu masih sulit dijinakkan. Galak. Anjng itu akan
menggongong kalau ada orang melintas di depan rumah majikannya. Itu sangat
menakutkan bagiku. Takut jika sewaktu-waktu lepas dan aku tak siap lari sekencang-kencangnya
untuk menyelamatkan diri.
Dan, kekhawatiranku
benar-benar terjadi.
Masih
hangat diingatan tentang bagaimana mula kesialan itu terjadi padaku. Sore itu,
ya, sore itu, seperti biasa aku hendak bermain bola dengan teman-teman selepas
salat Ashar. Namun siapa nyana jika secara tiba-tiba seekor anjing besar
menubruk tubuhku dari arah samping. Aku tak sempat lari. Aku tak sempat
menghindar. Aku tak dapat berkutik. Tak ada suara menggonggong sebelumnya. Aku
baru mendengar gonggongan anjing itu setelah berjarak kurang lebih tiga
langkah. Jarak sedekat itu tentu menjadi hal tersulit untuk berpikir tentang
bagaimana cara menghindari bahaya. Terlebih rasa takut dan panik campur aduk jadi
satu, hal itu semakin mempersulit langkahku beranjak. Kalau pun aku bisa lari,
tentu tak seperti larinya seorang yang dalam kondisi siap siaga. Benarlah. Aku
lari pontang-panting. Jatuh terjengkang setelah menubruk tong sampah. Kaki
kiriku jadi sasaran. Betisku digigitnya hingga luka parah. Betisku bersimbah
darah. Susah payah kulepaskan gigitan. Aku menjerit. Aku meringis. Histeris.
Merintih menahan pedih perih. Namun usahaku melepaskan diri hanya sia-sia.
Warga
sekitar segera menyelamatkanku dari maut yang nyaris mengancam keselamatan
jiwaku. Ah, hari itu aku memang benar-benar sial. Beruntung bukan leherku yang
digigit. Jika itu terjadi, mungkin aku akan mati. Ruhku akan terenggut dan
meregang dari raga. Aku hanya diberi beberapa lembar uang sebagai ganti
pertanggungjawaban dan sebagai biaya berobat dari pemilik anjing tersebut.
“Maaf atas kejadian ini. Ini untuk berobat!” kata lelaki itu sembari
menyodorkan beberapa lembar uang padaku. Aku ingin menolak, tapi aku tak
munafik. Uangku tak cukup untuk biaya pengobatan. Kuterima uang itu meski
dengan setengah hati. Kasus yang
menimpaku memang bisa jadi kasus hukum, tapi aku tak ingin memperpanjang
urusan. Sebab kutahu jika masuk ke ranah itu urusan takkan pernah selesai
dengan memuaskan. Bahkan takkan pernah selesai karena dianggap sebagai kasus
murahan serta tidak menguntungkan. Terlebih lawanku adalah orang berduit.
Percuma jika diperpanjang. Hanya cari masalah buat diri sendiri. Biarlah! Rasa
sakit jasmani dan rohani kutanggung sendiri. Toh, nyawaku tak melayang
karenanya.
Ada
keteledoran dari pemilik anjing itu ketika mengikat hewan piaraannya dan lupa
menutup pintu gerbang. Biasanya pintu gerbang itu selalu tertutup sekali pun
penghuninya berada di dalam rumah. Setelah diselidiki mengapa anjing itu bisa
terlepas, ternyata tali pengikatnya sudah retas. Sudah seringkali warga
memperingatkan agar anjing itu diikat dengan rantai, bukan dengan tali dari
bahan kain, sekali pun itu khusus untuk anjing, namun teguran itu hanya jadi
angin lalu baginya. Sudah banyak korban, dan mungkin saat itu adalah giliranku
mendapatkannya. Entah karena merasa paling kaya, atau karena faktor lain hingga
ia bersikap seperti itu. Kata para warga, pemilik rumah mewah itu memang nyaris
tak pernah berkumpul dengan warga. Bahkan ketika mendapat undangan, entah
kegiatan kampung, atau acara kampung, nyaris tak pernah datang. Sikapnya tak
ramah. Bahkan pernah seorang anak kecil umur 10 tahun diusir secara kasar
karena sudah merusak pot bunga yang ada di teras rumahnya. Tak hanya memecut
dengan kata-kata kasar, tapi juga disertai dengan gagang sapu. Sudah tentu
orangtua bocah itu tidak akan banyak tuntut, sebab jika hal itu dilakukan pasti
hanya akan cari masalah. Buang tenaga, dan sia-sia.
Anjing
itu telah mati. Mati karena makan roti kadaluarsa yang diberikan majikannya
sendiri. Pemilik anjing itu memang sering buang-buang makanan. Hal itu
ditegaskan dengan adanya tumpukan sampah yang sebagian besar adalah sisa
makanan. Orang kaya itu sering buang sisa makanan yang masih utuh atau pun sisa
makanan yang sudah basi. Sudah bisa dipastikan, jika tukang sampah terlambat
datang, bau busuk dari sisa makanan dalam tong sampah itu akan sangat menyengat
dan mengganggu pengguna jalan yang sedang melintas. Kini tak lagi terdengar
suara gonggong anjing itu. Rumah besar itu akhirnya sepi dari suara-suara.
Terkecuali pertengkaran dalam rumah tangga yang nyaris terjadi tiap hari.
***
AKU
belum membasuh bekas gigitan anjing itu hingga tujuh kali, karena sampai saat
ini sayatan luka yang mengoyak betisku makin parah. Sejak kejadian itu, aku
hanya membersihkan sisa darah di betisku dengan air. Aku tidak kuat menahan
perih jika membasuh dengan sabun. Aku juga takut infeksi jika menggunakan debu,
karena lingkungan tempat tinggalku begitu kumuh, kotor, dan jorok. Banyak
kotoran ayam, kambing, sapi, anjing, dan binatang lainnya berkeliaran di
mana-mana. Lebih parahnya, lingkungan sekitar lebih suka buang air sembarangan
padahal ada sungai dan sudah disediakan WC umum. Tapi warga lebih memilih cara
lain untuk buang kotoran secara sembarangan. Hanya sampah atau limbah rumah
tangga yang secara tertib dikelola dengan baik. Alasan utama mengapa hanya
libah rumah tangga yang dikelola, karena mendatangkan keuntungan finansial
serta keuntungan-keuntungan lainnya. Sepertinya akan menjadi najis jika aku
memaksakan diri untuk membasuh lukaku dengan debu. Pengetahuanku tentang agama
dan kedokteran masih cekak, jadi aku tak mau ambil resiko atas ketidaktahuanku
hingga akhirnya berakibat fatal.
Kata
dokter kakiku harus diamputasi. “Ini akan sangat berbahaya jika dibiarkan. Kaki
Anda harus segera diamputasi,” terang Dokter setelah mendiagnosa bekas gigitan
anjing itu di betisku. Tapi aku menolak karena aku ingin tampil normal. Aku tak
ingin sakit. Aku tak ingin cacat seumur hidup. Aku yakin pasti ada solusi atau
alternatif lain selain harus mengamputasi kakiku.
Karena
belum membasuh tujuh kali kakiku dengan debu dan air, tentu aku tak boleh salat
karena tubuhku masih najis. Aku
tak lagi suci. Konsekuensi pun harus kutanggung. Tetangga sekitar kemudian
menghukum serta menghakimi diriku sebagai kafir. Aku dianggap demikian karena
telah meinggalkan kewajiban lima waktu. Ketika kali pertama aku datang ke
kampung itu, warga sekitar mengakui jika diriku adalah pemuda yang rajin
beribadah. Tapi anggapan itu memudar, bahkan berbalik negatif. Di kampung itu aku
adalah pendatang. Aku berasal dari desa terpencil di Jawa Timur. Keputusanku
membiarkan luka gigitan anjing itu menuai cibiran. Keputusanku untuk tidak
bertanya pada ‘orang pintar’ perihal kasus yang menimpaku berbuntut masalah
serta membuatku dijauhi. Nyaris aku dimusuhi. Masih untung aku tidak diusir.
Bagaimana aku akan bertanya pada ‘orang pintar’ di kampung itu jika sebelum
bertanya aku sudah dibenci karena tak sepemikiran dengannya. Tak se-mazhab dengannya. Aku bertanya pada
‘orang pintar’ lewat surat elektronik (e-mail) tak juga kunjung ada jawaban.
Menunggu jawaban dari jarak jauh yang tak segera dibalas sama seperti
membiarkan waktu terus terulur sedangkan ada sesuatu yang tak bisa dibiarkan
menunggu terlalu lama. Menunggu jawaban tak pasti semacam itu tentu akan
membiarkan lukaku makin meradang. Mencari lewat buku, nyatanya tidak tuntas
dalam mengupas, bahkan untuk kasus yang kucari tak juga kutemukan jawabnya. Aku
tak puas dengan apa yang dikupas. Justru melahirkan rasa ragu.
Aku
masih punya iman, hanya saja aku tak melaksanakan kewajiban karena tubuhku
terhalang najis yang tak kunjung kubersihkan. Perlu ditegaskan bahwa aku tak
pernah menyatakan diri jika telah menjadi kafir. Jika aku menyatakan diri
sebagai kafir, aku harus mengubah identitas agamaku sebagai kafir, bukan lagi
tertulis: Islam atau Muslim. Tapi tidak! Lingkungan sudah sedemikian kejam
menudingku seperti itu. Jadi, bagi lingkunganku, aku telah kafir, sekali pun
pada dasarnya aku tak menyatakan diri sebagai seorang murtad.
Makin
hari luka gigitan anjing itu semakin membusuk. Bau busuk itu semakin menyengat
ketika pembalutnya kubuka. Sontak hal itu memicu kemarahan orang sekitar. Sudah
pasti mereka akan merasa mual bahkan muntah bila mencium bau busuk dari kakiku.
Seringkali orang di sekitarku menyarankan untuk segera berobat. Tapi itu hanya
seruan saja, bukan memberi solusi bijak. Mana mungkin aku bisa berobat jika
uangku hanya cukup untuk makan sehari-hari. Biaya berobat untuk penyakitku
tentu jauh lebih mahal dari biaya hidupku. Terlebih penghasilanku yang tak
pasti tiap bulannya, didukung dengan status sosialku yang hanya dari kalangan
bawah. Tentu ini akan semakin mempersulit jalanku mendapatkan layanan
kesehatan. Kalau pun mendapatkan, pasti tak ramah.
Mungkin
karena mendapat pengaduan dari warga, akhirnya seorang lelaki berperawakan
tambun datang ke tempatku. Lelaki itu adalah pak RT. “Atas pengaduan warga
sekitar. Saya datang untuk memberitahukan pada Saudara agar mempertimbangkan lebih
matang untuk tetap tinggal di kampung ini, atau ingin pindah tempat tinggal di
kampung yang lain,” begitu tegur pak RT, menyampaikan pengaduan warga yang
dialamatkan padanya. Tak lama ia bertamu di tempatku. Ia pun pergi dengan
ekspresi yang kurang enak dipandang. Mungkin karena tak tahan dengan bau busuk,
atau karena memang mengharapkan diriku segera angkat kaki dari kampung
tersebut.
Aku
hanya diam.
Hampir
sepekan aku memikirkan keputusanku selanjutnya. Antara bertahan di kampung itu,
atau pindah ke tempat lain. Kondisi ini tentu tidak bisa diulur-ulur lebih
lama, terlebih sudah ada teguran dari ketua RT. Tentu hal ini sudah krtitis dan
perlu keputusan tegas. Semakin aku mengulur akan semakin meruncing masalah.
Semakin lama aku mengulur waktu, tentu akan semakin berdampat tak baik bagiku
dan juga lingkungan sekitarku. Aku harus segera ambil keputusan. Ini sudah
sangat genting.
“Tuhan.
Maafkan hambaMu yang bersikap dzalim ini,” ucapku dalam batin yang perih.
Suasana
di luar rumah begitu hening. Hanya ada beberapa orang yang tampak berseliweran
namun tak menyusutkan keheningan yang ada.
Aku
pergi ke dapur. Kulihat ada sebilah parang berukuran sedang tergeletak di atas
jubin. “Mungkin ini lebih baik,” pikirku. “Kalau pun aku harus pindah tempat,
hasilnya juga sama saja. Bahkan mungkin akan memicu kemarahan lebih besar lagi.
Aku pasti akan dibenci dan dimusuhi, bahkan lebih sengit dari kampung ini.
Dengan cara ini, tentu aku tak perlu keluar biaya lebih banyak lagi. Tak perlu
meresahkan warga lebih banyak lagi karena masalah kakiku ini. Keputusanku ini
tentu akan membebaskan diriku dari beban. Selain itu aku juga akan terbebas
dari penyakit yang mungkin akan menjalar bahkan mungkin akan menjangkit.
Tentunya keputusanku ini akan mendapat kembali ijin tinggal di kampung ini. Aku
sudah malas beradaptasi dengan lingkungan baru,” batinku.
Aku
memejamkan mata. Menghirup nafas dalam-dalam. Semakin dalam dan makin dalam
hingga terasa lega. Aku merasa ada gigitan yang terasa begitu sakit. Perih
bercampur nyeri. Lama aku terpejam. Setelah rasa sakit yang menggigit itu
mereda, tanpa beban dan secara pelan-pelan kubuka kedua mata. Dan aku sudah
mendapati kakiku tinggal sebelah, hanya tinggal sebelah kanan, selebihnya sebagian
kiri sudah terlepas. []
Yogyakarta,
18 Desember 2013