Sabtu, 31 Mei 2014

Coba Renungkan!

"Ah, kamu nyebelin," katanya.
"Memangnya kenapa?" tanya temannya.
"Nggak tahu. Aku disuruh begini, disuruh begitu. Tapi apa hasilnya coba? Ah, bikin sakit hati."
"Salah kamu sendiri sih. Sudah kubilang dia itu manusia nggak bener. Dari dulu dia emang udah begitu."

Begitu seterusnya, tanpa narasi, tanpa permainan kata-kata, dan hanya dialog biasa sampai lembaran terakhir. Bacaan seperti itu tentu akan lebih mudah memicu rasa bosan, bahkan mungkin akan membuat orang lain malas membaca. Masih untung kalau dibaca, kalau tidak?

Coba bandingkan dengan gaya penulisan semacam ini:

Dia melipat wajahnya karena menahan rasa kesal. Ia merobek-robek kertas di genggaman tangannya sembari menggerutu, "Dia sangat menyebalkan. Tak tahu terima kasih." Dengan wajah marah ia terus melumat-lumat kertas itu sampai berkeping-keping.

Lalu, teman sekampusnya datang menghampiri dan melipur rasa kesal yang ia rasakan. "Sudah berulangkali kukatakan padamu jangan lagi cari masalah dengannya. Sekarang apa yang terjadi? Kamu pasti akan sakit hati karena sikapnya."

Tentunya, cara menulis yang kedua akan memicu ketertarikan untuk dibaca sekali pun tetap memiliki sisi kelemahan serta tidak menutup kemungkinan menjadi bacaan yang gagal dalam banyak hal. Setidaknya, cara menulis yang kedua jauh lebih bagus dibandingkan cara menulis yang pertama. Dan misalkan seorang redaktur dipaksa untuk memilih, kami kira yang bersangkutan akan memilih cara menulis kedua daripada yang pertama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar