"Ah, kamu nyebelin," katanya.
"Memangnya kenapa?" tanya temannya.
"Nggak tahu. Aku disuruh begini, disuruh begitu. Tapi apa hasilnya coba? Ah, bikin sakit hati."
"Salah kamu sendiri sih. Sudah kubilang dia itu manusia nggak bener. Dari dulu dia emang udah begitu."
Begitu seterusnya, tanpa narasi, tanpa permainan kata-kata, dan hanya dialog biasa sampai lembaran terakhir. Bacaan seperti
itu tentu akan lebih mudah memicu rasa bosan, bahkan mungkin akan
membuat orang lain malas membaca. Masih untung kalau dibaca, kalau
tidak?
Coba bandingkan dengan gaya penulisan semacam ini:
Dia melipat wajahnya karena menahan rasa kesal. Ia merobek-robek kertas
di genggaman tangannya sembari menggerutu, "Dia sangat menyebalkan. Tak
tahu terima kasih." Dengan wajah marah ia terus melumat-lumat kertas
itu sampai berkeping-keping.
Lalu, teman sekampusnya datang
menghampiri dan melipur rasa kesal yang ia rasakan. "Sudah berulangkali
kukatakan padamu jangan lagi cari masalah dengannya. Sekarang apa yang
terjadi? Kamu pasti akan sakit hati karena sikapnya."
Tentunya,
cara menulis yang kedua akan memicu ketertarikan untuk dibaca sekali
pun tetap memiliki sisi kelemahan serta tidak menutup kemungkinan
menjadi bacaan yang gagal dalam banyak hal. Setidaknya, cara menulis
yang kedua jauh lebih bagus dibandingkan cara menulis yang pertama. Dan
misalkan seorang redaktur dipaksa untuk memilih, kami kira yang
bersangkutan akan memilih cara menulis kedua daripada yang pertama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar