Sognare
Bunga
Kapuk
PEREMPUAN mana
yang sudi beranakkan perawan tua. Tiga perawan tua. Tentulah tiada. Apalagi
dengan tiada bergelung di rahimnya anak lelaki. Tiada sesiapa yang akan
menjadikan keluarganya dilirik orang, diperhitungkan dalam perundingan.
Terutama kabilah Kilaab sendiri. Inilah akibatnya bila bukan sesiapa.
Orang papa.
Sebagai empu,
tidaklah kupinta menantu yang muluk-muluk betul. Cukuplah ia telaten berdagang
dan gemar menggubah syair. Ai ai, Anakku dipinang seorang pujangga. Dengan
begitu, tentulah pesirah enggan berpongah lagi. Seluruh cecunguk kabilah
akan berebut menyalami. Memujamuji namanya, jua martabat keluargaku. Setumpuk
kudapan disuguhkan. Ketiga anak perempuanku dilayani bak permaisuri.
Kasidah-kasidah didendangkan tanpa lelah. Dihelat perayaan megah meriah. Ai,
bersitumpuklah hayal dalam benakku.
***
“APA hal yang membuat katup
matamu menghitam?” selidiknya. “Tidakkah Kau tidur dengan cukup?”
“Tidur, Tuan.
Hanya saja dengan mata terbuka.”
Senyum tersimpul
di bibirnya.
“Ai Fulan,
tidaklah itu tidur namanya.” Kugaruk kepala yang tidak gatal sama sekali.
“Agaknya
penembang kasidah itu menggelitik nalurimu, Anak muda.”
Umpama tukang
tenung, tepat benar terkaannya. Bukan main, pikirku. Tentu saja wajahku gegas
merona. Semua bermula di sana. Festival sastra di Zulmajaz.
“Putri ketiga
Muhallik dari kabilah Kilaab adalah dia. Penembang kasidah.” Wajahku merona.
Merona betul.
“Gubahlah syair,
baru bercinta,” sambungnya.
Tatapannya
tajam. Gigiku gemerutupan. Ragu menyelubungiku.
“Keluarga
Muhallik telah terabaikan. Lama. Lama sekali. Lantaran miskin, anaknya perawan
pula. Tiga perawan,” sirahnya.
“Maka gubahlah
syair. Dapat bercinta, pun mendapat martabat.”
Ia segera meraih
sebatang kayu yang mengiringi ayunan langkahnya. Gegas kususuli. Membuntuti
punggung majikanku. Kami berjalan beriringan. Telapak kaki tak lagi melepuh
oleh penat. Agaknya perjalanan tinggal sejengkal lagi. Menuju Majnah. Kabarnya
penyair ternama akan bertandang. Al A’sya.
Selain Zulmajaz,
Majnah dan Ukadz pun menggelar festival serupa. Selama dua puluh hari dihelat.
Mencari tujuh kasidah syair terbaik. Konon, kelak akan digantung di dinding
bangunan segi empat yang dahulu kala dibangun Ibrahim dan putranya. Ka’bah,
begitu mereka menyebutnya. Selepas ditulisi dengan tinta emas di atas kain sutra.
Di samping Latta dan Uzza. Sesembahan seisi kota.
***
SEBAGAIMANA
kedua kakakku. Tiadalah yang lain inginku. Selain dipinang seorang bujang.
Tiada yang lain. Pendatang pun tak apa. Asal ada. Asal suka. Asal ia bersedia.
Pun rela kuterima. Cuping telingaku resah sudah oleh tudingan tetangga.
Telunjuk teracung ke muka. Hina dibuatnya. Sejak kami didapati sebagai
perempuan. Bukan pasukan. Bukan pencabut pedang. Bukan pejuang. Hanya pemukul
gendang. Penari. Pelantun kasidah. Bukan penggubahnya. Bukan. Hanya perempuan.
Tiga perempuan. Perawan. Dari rahim perempuan papa. Dari air mani lelaki tak
berpunya.
Tiadalah yang
lain inginku. Selain dipinang seorang bujang. Bukan anting-anting. Bukan
gubahan syair. Bukan gundukan jamuan. Bukan setumpuk nampan sesak dengan
kudapan. Bukan. Tiada yang lain. Selain pinangan. Pendatang pun tak apa. Asal
ada. Asal suka. Asal ia bersedia.
***
KUDENGAR Al
A’sya akan ke bertandang. Seisi kota riuh membicarakannya. Tak sedikit yang
memuja. Adalah perkara biasa bagi pujangga yang selalu meraup kemenangan
bilamana festival dihelat. Selalu ada bait syairnya yang menggelayuti dinding
Ka’bah. Setiap tahun. Sekian tahun lamanya. Ah, untunglah bila benar ia akan
bertandang. Ke Majnah kabarnya.
Sudah lama niat
ini bergelung dalam dada. Kusimpan rapatrapat. Bahkan dari Muhallik, suamiku.
Takut ia menolak. Enggan. Apalagi ini mengenai harta terakhir yang dimilikinya.
Unta jantan. Ah, bukan masalah. Demi ketiga putrinya. Tiada perlu menjadi
perawan lebih lama.
Kudengar Al
A’sya akan bertandang. Dada bergemuruh riuh menghitung hari berlalu. Ah,
sedikit lagi. Sebagai empu, inilah dayaku satusatunya. Setelah sekian lama.
***
“KAU mesti
mengikuti kompetisi,” titahnya. Aku terkesiap. Terkejut.
“Gubahlah
syair.”
“Tidak adakah
cara lain, Tuan?” ia menggeleng. Tegas.
“Walau syairmu
tidak terpilih. Kau tetap terhormat. Sebagai penggubah syair. Luluhlah hati
seisi kota. Kau akan dibangga. Haa, luluh jualah hati si putri Muhallik,”
cetusnya. Aku mangut.
“Ajari aku,
Tuan,” pintaku setengah merengek.
Kulihat air
mukanya keruh. Menatapku lama. Nanar. Lalu, mencair. Jernih. Bersih. Aku pun
semringah. Lelaki tua itu mengulum tawanya.
***
SECARIK perkamen
kuterima. Ditulisi tinta hitam pekat beraroma pahit. Itu tidak menarik
perhatianku. Selain aksara yang berjejer di sana.
Jikalaulah
mentari hendak membelah remang-remang mimpi yang mengatup. Adalah hal baik
bilamana kupinang dahulu bundarnya purnama. Biar malam kepanjangan. Agar mimpi
berkelanjutan.
Siapa gerangan
yang menuliskannya? Indah nian. Apa hal yang menjadikanku sebagai penerima
syair ini? Ah, sibuklah diriku menerka-nerka.
Di tepi bawah,
kudapati sebaris kata. Agaknya sebuah nama. Musafir. Kembali kurekareka.
Nun, di ceruk dadaku. Ada selubung baru. Terdengar simponi merdu di dalamnya.
Walau ragu. Kugamit perkamen, kusisipkan dalam lipatan baju. Berlalu.
***
ADALAH hal mesti
bagiku untuk menemuinya. Segera. Kabarnya ia telah tiba. Sesegera mungkin
kujumpai. Ya, benar. Ia tentu tak akan berlamalama. Sebaiknya kususul ia. Di
pasar. Ya, benar. Mestinya ia melewati pasar. Tentu. Ya, aku yakin betul akan
hal itu.
Mendengar
kehadiran Al A’sya, beramairamailah seisi kota memadati jalan. Menyambut idola.
Sekadar bertatapan, atau berjabatan atau sekadar turut serta bersoraksorai
belaka. Hanya aku yang berniat lain.
Al A’sya
terkesiap, mendapati seorang perempuan paruh baya menghadang jalannya. Ia telah
melewati pasar. Kerumunan sudah tak membuntutinya lagi. Al A’sya pun meloncat
turun dari tunggangannya. Hendak mengetahui niat perempuan tua di hadapannya.
“Bersediakah
Tuan bilamana singgah sejenak ke gubuk kami? Ada jamuan yang sudah
dipersiapkan,” terangku sedikit memohon.
“Apa gerangan
yang membuatmu menjamuku?”
“Ah tidak, Tuan.
Hanya saja, sudah lama niat ini kuurungkan.”
Kulihat ia
menempelkan empu jari dan telunjuk di dagu. Seolah menimbang ragu. Sekejap ia
menaiki unta. Gusar sedikit dadaku.
“Baiklah, aku
akan datang. Nanti malam. Tiadalah patut menolak untung,” ujarnya sembari
mengayunkan temali unta. Beranjak. Bukan kepalang berbunganya hatiku. Gegas
kupulang. Menyiapkan jamuan. Juga mengabarkan suamiku untuk segera pulang.
Al A’sya akan
melakukannya. Aku yakin betul. Esok seisi Mekah akan riuh. Aku terkekeh
sendiri.
***
TIDAK hanya aku.
Kedua kakakku pun turut terkesiap. Tak percaya. Al A’sya datang bertandang ke
gubuk kecil kami yang teronggok di atas bukit.
Agaknya Ibu tahu
alasannya. Itu tidak menarik sama sekali. Selain unta milik kami satusatunya
mesti disembelih demi menjamu si tamu. Idola Mekah katanya. Meski kami
menggerutu. Ibu tetap enggan bicara.
“Esok, Kau akan
tahu,” bisik Ibu.
Sedangkan Al
A’sya, agaknya juga turut bertanya-tanya. Perihal apa yang diinginkan keluarga
Muhallik darinya. Perihal kedermawanan keluarga miskin itu. Unta jantan, harta
paling berharga milik mereka rela disuguhkan sebagai jamuan.
Alangkah
dermawannya, bisik batin Al A’sya.
***
SEISI kota riuh.
Entah apa gerangan. Al A’sya melantunkan syair kemarin. Di kerumunan kabilah.
Begitu kabarnya. Tidak tertarik sama sekali, gumamku.
“Syair itu
tentang Muhallik dan kedermawanannya.” Telingaku berdiri mendengarkan ocehan
majikanku.
“Seisi kota
memperbincangkan hal serupa.”
“Bila Al A’sya
saja berela hati menggubah syair tentang keluarga kecil itu, Kau tentu tahu
betul apa dampaknya.”
Aku bungkam.
“Semua bujang
sibuk. Berebut meminang ketiga putri Muhallik. Dari peladang hingga pedagang.
Juga bangsawan, Anak muda.”
Mataku
terbelalak. Darahku mendidih. Yang benar saja, bisikku.
Al A’sya,
penyair Arab Jahiliyah yang sering kudapati namanya di berbagai buku
kesusasteraan Arab, kini membuat perkara. Denganku. Benar. Perkara cinta.
“Aku tidak dapat tidur di malam
hari, bukan karena sakit ataupun cinta.”
“Sungguh banyak mata yang melihat api yang menyala di atas bukit
itu.”
“Api itu dinyalakan untuk
menghangatkan tubuh kedua orang yang sedang kedinginan di malam itu dan di
tempat itulah Muhallik dan kedermawanannya sedang bermalam.”
“Di malam yang gelap itu keduanya
saling berjanji untuk tetap bersatu.”
“Kamu lihat kedermawanan di wajahnya
seperti pedang yang berkilauan.”
“Kedua tangannya selalu benar, yang
satu untuk membinasakan sedang yang lain untuk menderma.”[1]
Sayup kudengar syair itu
dilantunkan. Dua biji mataku bergasing. Kepalaku linglung. Pusing. Perutku
diadukaduk. Tubuhku limbung. Tersungkur. Memamah pepasiran. Tiada kutahu bising
di sekitarku. Umpama dengingan ribuan nyamuk mendengung di liang telinga.
Seketika buram. Pekat. Lesap. Lenyap dalam sekejap.
Kudapati diriku berbungkus kain
sarung. Terjaga oleh lengkingan ketel mendesing. Dengan buku Sejarah
Kesusasteraan Arab bergelung di tanganku. Matahari sudah menggeliat. Bangun
dari rehat. Nun, di depan rumah susun tempat naunganku, jalanan Jakarta mulai
padat. Dengan rambut kusut, kuingat-ingat hal semalam.
Jikalaulah
mentari hendak membelah remang-remang mimpi yang mengatup. Adalah hal baik
bilamana kupinang dahulu bundarnya purnama. Biar malam kepanjangan. Agar mimpi
berkelanjutan.
Mimpi semalam masih terkenang.(*)
Surau Balai, 2013
[1] Ini
merupakan syair yang dilantunkan oleh Al A’sya (penyair Arab terkemuka) untuk
mengabadikan kedermawanan Muhallik dan isterinya. Riwayat ini banyak dijelaskan
dalam buku-buku kesusasteraan Arab Jahiliyah.
Yusrina Sri
Oktaviani. Sedang kuliah di IAIN Imam Bonjol Padang pada Fakultas Tarbiyah
dengan jurusan Pendidikan Bahasa Arab (PBA). Menulis cerpen, puisi, novel,
artikel dan opini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar