Ketika Puisi Melawan
Korupsi
Saat kerumunan berita ihwal
korupsi merebak di negeri ini; saat korupsi menjelma sebuah tradisi di sebuah
lembaga negara; saat korupsi terjebak di setiap pribadi—yang mulanya kita
percaya jika ia seorang yang jujur; sesungguhnya apa yang terjadi pada mimik
bangsa ini? Terkejut dengan penuh denyar yang panjang atau berpura-pura
mengamini atas tindakan itu. Dan seperti sebuah tamparan, korupsi seperti
sebuah wabah—yang menjalar, terkadang pula dilakukan secara massal (berjamaah).
Beberapa dari kita seperti
dihantui rasa ketidakpercayaan, katakanlah saat seorang yang pernah dipuja—ternyata
tak sesuci ucapan ataupun tindakannya—yang pernah kita lihat, dengar, atau
ketahui sebelumnya. Yang kita dapati rasa ketakpercayaan terhadap lembaga
negara pun makin melebar, membesar—sehingga kitapun terjangkiti phobia yang
sama bahwa tak ada lembaga/individu yang benar-benar bersih.
Dan puisipun menulisnya.
Setiap rangkaian kata-kata yang meluncur dari penyair, mengungkapkan borok
korupsi itu. Jika situasi negeri ini tengah genting, gawat dan kolaps. Puisi
seperti menyibaknya, dengan sejumlah asumsi—yang setidaknya turut pula
membeberkan setiap fragmen, rangkaian dari korupsi itu. Lalu dapatkah puisi
merampas itu semua? Katakanlah menjelma sebuah ”teguran” lewat untaian makna
yang terbalut di dalamnya, mungkin pula sekadar menyentil sisi-sisi
kemanusiaan. Dengan kata lain, teks puisi-puisi ihwal korupsi semacam sebuah
upaya untuk mengingatkan kita dari ”lupa” yang panjang. Mampukah puisi melawan
korupsi? Setidaknya lewat untaian diksi yang mengudap di dalamnya, puisi
semacam sebuah penanda. Penanda yang setia bagi zamannya, barangkali pula
merupa cermin, bagi kehidupan manusia.
Semacam apa yang dikerjakan
oleh Sosiawan Leak—koordinator gerakan puisi menolak korupsi, dengan
menerbitkan antologi puisi. Maka kitapun
berhadapan dengan sejumlah kerumunan kata—yang seperti ingin menghardik,
memaki, berteriak, atau sekadar menyentil perilaku para koruptor. Maka antologi
puisipun terbit, puisi yang menolak korupsi—terdiri dari dua buku jilid kedua a
dan b.
Di kumpulan puisi ini,
beragam kata ihwal korupsi singgah. Mungkin puisi-puisi itu menawarkan sebuah
kisah, yang ujungnya meminta kita berbenah. Kembali memikirkan negara ini yang
tengah sekarat dihujani budaya korupsi. Simak bagaimana Sosiawan menulis di
sampul belakang buku: Kini, biografi korupsi makin berseri. Terlebih saat
manunggal dalam jiwa & tubuh kekuasaan. Ia rajin mengumpulkan serpihan
biografi yang selama ini bertebaran. Serpihan-serpihan itu meramu diri menjadi
kesatuan yang utuh, kuat, saling berkait & berkelindan. Hingga ketika
menyelinap ke tubuh kekuasaan tak lagi sekadar menjadi spirit, bahkan telah
malih rupa sebagai sifat; jelmaan kekuasaan semata...
Memang dalam wilayah
kekuasaan (negara), korupsi paling banyak menjangkiti. Terlebih lagi mental
yang bobrok, sehingga membuat para individu yang bergelimang di dalamnya
menjadi silau. Maka uang pun didewakan, dijarah—tak peduli bukan haknya
sendiri. Rumitnya dinding birokrasi semakin menebalkan batasan itu. Dan yang
hadir ialah anggaran yang ”bodong”, tandatangan tender yang tidak pernah jelas,
ataupun segala hal fiktif yang disulap dengan lembaran kuitansi. Setelah itu,
hasilnya memang masuk ke kantong pribadi dengan memperkaya diri sendiri.
Di wilayah cemas yang ganas
itulah, puisi-puisi dalam antologi menolak korupsi berwujud. Sejumlah penyair
menawarkan rasa empati terdalam—yang mereka rasakan. Barangkali lewat pelbagai
berita yang hadir, bisik-bisik, ataupun fakta yang mereka temukan di
keseharian. Pun dalam tipisnya dinding imajinasi dan fakta yang tertuang pada
setiap puisi, mereka seperti menghidupkan sebuah ”jarak” terhadap korupsi itu
sendiri. Berupaya agar tidak masuk ke sisi personal setiap individu.
Puisi
adalah rangkaian imajinasi. Setiap pilihan kata, jeda antarkalimat merupakan
sebuah kesatuan yang menciptakan dunianya sendiri. Penyair dalam ruang
kesadaran batinnya, tentu akan bergerak mengambil sekelumit jarak,
merefleksikan semua daya yang pernah singgah dalam hidupnya. Dalam dunia puisi
yang dibentuknya, penyair mengolah timbunan tragedi, kenangan, separuh napas
kesunyian, atau pernyataan hidup yang getir. Pun untuk sebuah cinta, puisi
dapat menyentak, jika hidup tak melulu dipandang hitam putih, ada yang kelabu
(sebagaimana tertuang dalam sajak-sajak Goenawan Mohammad).
Di sinilah sayap imajinasi
puisi bergerak. Menciptakan gejala hubungan timbal-balik terhadap kehidupan itu
sendiri. Saya tak bermaksud mengungkapkan teori, bagi saya teori hanyalah
cecapan lidah, yang terkadang abai untuk dipraktekkan secara menyeluruh ketika
berhadapan dengan karya sastra. Membaca sastra adalah membaca “rasa” yang
seringkali berhadapan dengan sisi subyektif. Meskipun sebagai pembaca dibekali
dari pengetahuan yang sebelumnya. Pun imajinasi yang hadir dalam kumpulan puisi
ini, memberikan sebuah “sketsa” lain—persentuhan antara imajiansi dengan
realitas yang ada. Walaupun sebagian besar puisi dalam antologi ini aroma
peristiwa (berita/realitas) begitu kentara.
Simaklah bagaimana Acep
Zamzam Noor mengisahkannya: Ada banyak cara/Untuk bisa keliling dunia/ Salah
satunya/Karena dikejar KPK// Ada banyak cara/ Untuk menangkal tuduhan korupsi/
Salah satunya/ Bersedia digantung di Monas// (hal. 37; Puisi Menolak
Korupsi 2 a). Atau Isbedy Stiawan ZS yang mernulis akhir puisinya dengan
sentakan yang parau: kau tak pernah akan mengerti anakku,/ kenapa ayah
korupsi, kecuali ibumu yang tahu/ atau perempuan-perempuan yang kutemu di
jalan/ mau pun kamar hotel...// (hal. 9; Puisi Menolak Korupsi 2 b).
Antologi puisi ini terbit
dalam dua jilid. 2 a & 2 b; sebuah literer kata-kata yang panjang. Kumpulan
yang memberikan semacam ”kabar”—jika korupsi telah menjadi tradisi yang bebal
di negeri ini. Ditulis oleh 197 orang, yang setidaknya memberikan sejumlah
gambaran bila korupsi telah memasuki wilayah yang sangat kritis di negeri ini.
Suatu keadaan yang membuat citra negeri ini seperti tergadai, tak bisa bangkit
lagi. Bahkan lebih gilanya lagi, korupsi muncul menjadi lintah—yang tak pernah
kenyang untuk mengisap uang negara. Dengan berbalut pada sejumlah tender
proyek, dana fiktif anggaran, seperti sebuah akar yang kuat di setiap lembaga
negara. Akar yang mesti ”diamputasi”—tapi nyatanya muncul oknum-oknum yang
membuat terperangah ihwal perbuatan korup-nya.
Maka puisi-puisi yang hadir
memang sebentuk upaya untuk mengingatkan. Sekadar menepuk wilayah kesadaran
setiap orang—dengan balutan realitas yang terjadi supaya tidak tercebur ke
dalamnya. Jika korupsi, ternyata lebih berbahaya dari narkoba. Yang mematikan
daya hidup sampai ke anak cucu. Setiap nominal hasil korupsi, sesungguhnya
berasal dari tetes keringat orang banyak. Hak orang yang digunting—padahal
dalam kondisi yang sangat membutuhkan. Ihwal ”ketegaan” inilah yang menjangkiti
perilaku para koruptor. Seakan-akan tak memiliki hati nurani.
Di antara kebobrokan
masalah korupsi inilah, dengan kondisi yang mencemaskan puisi-puisi ditulis. Ia
semacam obat, mungkin—untuk membuka semua topeng yang melingkupi keadaan
sekarat negeri ini. Tentu harapannya, negeri ini tak segera tamat. Setidaknya,
puisi-puisi ini dapat menjadi cermin diri, yang menjadikan pakem saat melakukan
suatu tindakan. Menjadi tanda arah bagi generasi selanjutnya. Meskipun, ungkap
Sutardji Calzoum Bachri dalam puisi ”Jembatan”: Sedalam-dalam sajak takkan
mampu menampung airmata bangsa// (hal. 282; Puisi Menolak Korupsi 2 b).
Tentang Alex R. Nainggolan
Dilahirkan di Jakarta, 16 Januari 1982.
Menyelesaikan studi di FE Unila jurusan Manajemen. Tulisan berupa cerpen,
puisi, esai, tinjauan buku terpublikasi di Majalah Sastra Horison, Jurnal
Puisi, Kompas, Republika, Jurnal Nasional, Jurnal Sajak, Suara Pembaruan, Jawa
Pos, Seputar Indonesia, Berita Harian Minggu (Singapura), Sabili, Annida, Matabaca,
Majalah Basis, Minggu Pagi, Koran Merapi, Indo Pos, News Sabah Times
(Malaysia), Surabaya News, Radar Surabaya, Lampung Post, Sriwijaya Post, Riau
Pos, Suara Karya, Bangka Pos, Radar Surabaya, NOVA, On/Off, Majalah e Squire,
Majalah Femina, www.sastradigital.com,
www.angsoduo.net,
Majalah Sagang Riau, dll.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar