Sabtu, 31 Mei 2014
Bisa Karena Terbiasa
Bagi
mereka yang sudah terbiasa menulis, teknik menulis tentu bukan lagi jadi
persoalan. Ide, atau apapun yang ingin disuguhkan tentu bukan menjadi
halangan berat ketika menulis. Kemampuan yang sudah teruji, pengalaman
serta jam terbang yang cukup intensif tentu menjadi pemicu kelancaran
dalam berkarya. Sebaliknya, bagi pemula, kebanyakan masih berputar-putar
di sekitar pencarian identitas, pencarian media, dan mencari-cari
pangsa pasar yang tepat untuk karya perdananya.
Penulis Harus Cerdik
Cerdik
dalam bercerita tentu lebih baik daripada gagal bercerita. Sekali pun
cerdik dalam bercerita tak luput dari kegagalan, tapi dalam kecerdikan
itu selalu ada alasan yang akan memicu pertanyaan sekali pun juga
sama-sama mengecewakan bila tak sempurna dicerna. Sedangkan gagal
bercerita, selain tak memberi efek puas, tentu akan lebih mengecewakan.
Jangan Tergesa-gesa Menulis!
Tak
sedikit penulis yang gagal menulis di bagian tengah isi dan ingin segera
mengakhiri tulisannya. Padahal antara awal, tengah, dan penutup harus
benar-benar matang jika ingin menghasilkan bacaan yang bagus. Bagi yang
tak biasa berlatih dan belum terlatih sudah pasti rentan gagal dalam
menulis.
Menulis Saja Tak Cukup
Anda
akan benar-benar disebut sebagai penulis jika memiliki karya. Tapi, itu
belum cukup, Anda harus menerbitkan ke hadapan publik. Menerbitkan saja
belum cukup, Anda harus bekerja keras untuk memertahankan karya-karya
yang sudah diterbitkan tersebut. Dan Anda akan benar-benar disebut
sebagai penulis jika nama dan karya-karya Anda dikenang sepanjang jaman.
Siapa Penulis Itu?
Tiap
orang bisa menulis, tapi tidak semua orang mampu menulis secara baik dan
benar. Seorang penulis tentu sudah sangat terlatih dalam hal praktik
serta secara teoritis dan tentunya memiliki kematangan mumpuni di
bidangnya, sedangkan seseorang yang hanya bisa menulis cenderung menulis
sesuka-suka dirinya tanpa ada konsep atau pun kematangan dalam banyak
hal. Ruang menulis seorang penulis yang benar-benar menulis tentu
berbeda dengan ruang seorang yang sama sekali tidak benar-benar menulis.
Itulah perbedaan antara seorang penulis dan mereka yang bukan seorang
penulis.
Coba Renungkan!
"Ah, kamu nyebelin," katanya.
"Memangnya kenapa?" tanya temannya.
"Nggak tahu. Aku disuruh begini, disuruh begitu. Tapi apa hasilnya coba? Ah, bikin sakit hati."
"Salah kamu sendiri sih. Sudah kubilang dia itu manusia nggak bener. Dari dulu dia emang udah begitu."
Begitu seterusnya, tanpa narasi, tanpa permainan kata-kata, dan hanya dialog biasa sampai lembaran terakhir. Bacaan seperti itu tentu akan lebih mudah memicu rasa bosan, bahkan mungkin akan membuat orang lain malas membaca. Masih untung kalau dibaca, kalau tidak?
Coba bandingkan dengan gaya penulisan semacam ini:
Dia melipat wajahnya karena menahan rasa kesal. Ia merobek-robek kertas di genggaman tangannya sembari menggerutu, "Dia sangat menyebalkan. Tak tahu terima kasih." Dengan wajah marah ia terus melumat-lumat kertas itu sampai berkeping-keping.
Lalu, teman sekampusnya datang menghampiri dan melipur rasa kesal yang ia rasakan. "Sudah berulangkali kukatakan padamu jangan lagi cari masalah dengannya. Sekarang apa yang terjadi? Kamu pasti akan sakit hati karena sikapnya."
Tentunya, cara menulis yang kedua akan memicu ketertarikan untuk dibaca sekali pun tetap memiliki sisi kelemahan serta tidak menutup kemungkinan menjadi bacaan yang gagal dalam banyak hal. Setidaknya, cara menulis yang kedua jauh lebih bagus dibandingkan cara menulis yang pertama. Dan misalkan seorang redaktur dipaksa untuk memilih, kami kira yang bersangkutan akan memilih cara menulis kedua daripada yang pertama.
"Memangnya kenapa?" tanya temannya.
"Nggak tahu. Aku disuruh begini, disuruh begitu. Tapi apa hasilnya coba? Ah, bikin sakit hati."
"Salah kamu sendiri sih. Sudah kubilang dia itu manusia nggak bener. Dari dulu dia emang udah begitu."
Begitu seterusnya, tanpa narasi, tanpa permainan kata-kata, dan hanya dialog biasa sampai lembaran terakhir. Bacaan seperti itu tentu akan lebih mudah memicu rasa bosan, bahkan mungkin akan membuat orang lain malas membaca. Masih untung kalau dibaca, kalau tidak?
Coba bandingkan dengan gaya penulisan semacam ini:
Dia melipat wajahnya karena menahan rasa kesal. Ia merobek-robek kertas di genggaman tangannya sembari menggerutu, "Dia sangat menyebalkan. Tak tahu terima kasih." Dengan wajah marah ia terus melumat-lumat kertas itu sampai berkeping-keping.
Lalu, teman sekampusnya datang menghampiri dan melipur rasa kesal yang ia rasakan. "Sudah berulangkali kukatakan padamu jangan lagi cari masalah dengannya. Sekarang apa yang terjadi? Kamu pasti akan sakit hati karena sikapnya."
Tentunya, cara menulis yang kedua akan memicu ketertarikan untuk dibaca sekali pun tetap memiliki sisi kelemahan serta tidak menutup kemungkinan menjadi bacaan yang gagal dalam banyak hal. Setidaknya, cara menulis yang kedua jauh lebih bagus dibandingkan cara menulis yang pertama. Dan misalkan seorang redaktur dipaksa untuk memilih, kami kira yang bersangkutan akan memilih cara menulis kedua daripada yang pertama.
Menulis, Kirim, Publikasi
Penulis
yang karyanya sering muncul di berbagai media kurang lebih karena
sering menulis dan sering mengirimkan karyanya. Kalau tidak sering
menulis dan tidak sering mengirim, lantas darimana sebuah karya bisa
diseleksi dan dipublikasikan? Jadi, jangan membuat lelucon bagi diri
sendiri kalau tidak pernah mengirim dan berkaya lantas berharap
dipublikasikan atau menghasilkan karya luar biasa.
Catatan Ringan Redaksi
Salah
seorang redaktur suatu hari pernah berkata, "Kalau tulisan tidak bisa
dinikmati? Lantas apa yang perlu dinikmati dari sebuah tulisan? Pusing
karena tak sampai memahami esensinya, tentu jauh lebih baik daripada
pusing karena kekeliruan mendasar yakni keliru tanda baca dan keliru
segala-galanya. Kalau satu orang tidak bisa menikmati tulisan tersebut,
lalu bagaimana mungkin akan dinikmati secara lebih luas? Jadi, kalau
ingin mengirimkan karya, minimalkan kekeliruan elementer tersebut jika
belum bisa menghasilkan karya luar biasa."
Senin, 26 Mei 2014
Puisi-puisi: Ridhafi Ashah Atalka
Hujan Dan Angin
Aku
saksikan hujan dan angin bersekutu melahirkan dingin
Sementara
aku dan engkau terlahir dari persetubuhan musim
Dari
kekawin embun yang menetes dari daun
Dari
kedua mata Ya’qub yang rabun
Aku
saksikan hujan di matamu menggenang lalu turun pelan-pelan
Menjelma
telaga dan hampir pula mampu menawarkan samudra
Dan
angin aku saksikan masuk ke tubuhmu membawa seribu dingin
Seribu
cuaca yang pancaroba lalu aku ingin sekali bertanya
Seandainya
saja hujan dan angin tak pernah ada
Mungkin
mata aba Yusuf tak akan buta
2014
Kepada Darwis Yang Berpusing
Harum
anggurmu dari tanah Parsi kembali memabukkanku
Dan
sajakmu yang dua seuntai itu
Memaksaku
untuk selalu memburu dan diburu perahu-perahu
Aku
sengaja mencipta keruh telaga dan samudra
Tempat
diamnya batu-batu juga tempat berlayarnya biduk lapukku
Lalu
aku dengar samar-samar bagaimana tarian ikan melahirkan kecipak air
Mungkin
di sana anggurmu tumpah dan mengalir
Kini
aku ingin berteduh di kedaimu
Menyeduh
setetes saja dari sekian gelas penuh anggurmu
Dan
mataku ingin melihat langsung tarian-tarian mabuk
Lalu
memperbarui bidukku yang telah lapuk
2014
Kepada Pohon Yang Terus Tertawa
Tanggapan
atas puisi Alunk S Tohangnya
Kepada
pohon yang terus tertawa
Bergembiralah
burung-burung yang membuat sarang di dahannya
Dan
angin yang tidur di rimbun daun-daunnya bangun bergegaslah,
Tiupkan
kehangatan pertama kedinginan yang sempurna
Bumi
telah lama mengajari engkau dewasa
Mengajari
engkau bagaimana pula harus tumbuh
Bagaimana
setia dan senantiasa membuat teduh
Kepada
Pohon yang terus tertawa
Rekahkanlah
bunga-bungamu biarkan angin mengabarkannya padaku
Tentang
harum tentang merdunya kicau burung
Juga
tentang gemericik dari gesekan daun-daunmu itu
Kepada
pohon yang terus tertawa
Bergembiralah
sebelum datang senja usia
Sebelum
tumbang datang tiba-tiba
2014
Ridhafi Ashah Atalka:
lahir di Sumenep Madura, 21 September 1992. Kini tinggal
di Yogyakarta, dan bergiat di Lesehan Sastra Kutub (LSKY) Yogyakarta.
Jln, Parangtritis KM 7,5 Cabean,
Sewon Bantul, Yogyakarta.
Puisi-puisi: Kinanthi Anggraini
SEPUCUK ANGIN MERAH
darah
terserap sejarah
menatap ruh
yang mengawang-awang berkeramas
di telapak
senja. langit mengeropos dalam batin
meneriakkan
himne bagi rasa maaf yang gemetar
menyambut
kunjungan kasur hitam
yang lama
memeram rintik-rintik hujan dengan
rumput yang
semakin meninggi. mengetarkan mata
air yang sudi
memapah getir
sementara
malam terus menerus dikuliti oleh
kembang
mungil yang terbawa oleh badai
sementara bungabunga
tidur mengkristalkan api
di dagu perawan
yang menjahit benih di kebun hati
tatkala malam merendah, dan matahari memerah.
Magetan, 11 Mei 2014
BUNGA-BUNGA BUNUH DIRI DI BABYLONIA
lingkar cahaya
yang dibasuh sungai euphrates
berpendar derita
di atas semarak pujian himne lagu
kidungku
bersembunyi di getar nada penggoyah desah bayi
anak malam yang
telah nyenyak dalam hunian makam
seperti menyatukan
debur ombak dan burung malam
sembari meremas
jantung yang peka dan mata yang utuh
menjaga bagian-bagianya
yang telah meruntuh
berdiam diantara
bilik paru, meminum darah sendiri
pada pusara debu
yang beralih emas. penghargaan abadi
serupa pohon yang
tumbuh pada dahan, berdusta makna
menista rahasia
pinggul berwajah memikat. menjelajahi
kata di sekujur
rahana perawan berwarna pekat. tertikam belati
cinta di sepanjang
syair wangi
telah dikafani
oleh kematian dengan kerlap-kerlip patung berapi
berderai sudah
keabadian busuk berbisik pada anak pelangi
pada rintih cabang
pohon
dengan hati
mengkerut yang melahirkan kematian
dan hidup seperti
mayat-mayat
tertimbun di tujuh lembaran retak tanah liat
besanding ingatan
dalam kelopak yang tersisa,
untuk tumbal marduk yang mulia semesta raya
digantung oleh kasarnya tali nebuchadnezzar
daun-daun
merelakan matahari mengeringkan kulitnya
di kolam manis dan hati yang lapar, bunga Laurel
menggulung ke surga dalam lamunan taman sutra.
Magetan, 2 Mei 2014
MUSIM PELANGI HITAM
desiran udara dalam nafas senantiasa tercipta
dalam palung senja seluas segara. yang tak melupa
lihatlah sang waktu yang begitu kejam merajam
meninggalkan wajah yang berpaling tajam
keadaan jiwa tak dirasa hati. tetap melangkah
dan bergegas untuk pergi. pada rahasia dimensi
lekat diingat, mendaging di urat nadi
barangkali hara semakin lara
bergerimis di kabut yang tak kunjung mereda
membuang kertas usang bernyawa. yang terganti
langit karam pada desiran darah dari sungai langit
yang melimpah
hangat hijau daun dan kuning jagad bersumpah
berpagar bidadari yang sedang mandi suara
berbalut gerimis yang ketat menjaganya
inilah musim pelangi
dimana kekelaman mendawaikan selaput bumi
saat bulan berbantal bunga-bunga kasturi
bersama hujan yang menumbuhkan akar mati
di tanah yang menumbuhkan
rindu kembali
berteman warna kuas yang
lekas berganti.
Magetan, 24 Januari 2014
Tentang Penulis :
Lahir di Magetan,
17 Januari 1990. Menulis puisi dan reportase. Karya puisinya pernah
dimuat di puluhan media
massa antara lain: Indopos, Jurnal Masterpoem Indonesia, Banjarmasin Post, Lampung Post, Tanjungpinang Pos, Sumut Pos, Sriwijaya Post, Suara Merdeka, Solo
Pos, Pikiran Rakyat, Koran Haluan, Pos Bali, Metro Riau, Majalah Sagang, Majalah
Ekspresi, Joglo Semar, Buletin
Jejak , Harian Mata
Banua, Tabloid Hayati, Medan Bisnis, Kenthingan, dan lain-lain.
Juga dimuat dalam buku Antologi Merawat
Ingatan Rahim (2013), Kisah yang Berulang di Hari Minggu (2014), Solo
Menulis Puisi (2014), Timur Gumregah (2014), Negeri
Poci 5 (2014). Mahasiswi Pascasarjana Pendidikan Sains, UNS Solo
ini juga pernah menjadi model Hijab Moshaict tahun 2011.
Langganan:
Postingan (Atom)