Elegi
Dua Hati
SUATU
hari, saat matahari telah setinggi lima tombak, aku duduk di atas batu
berukuran cukup besar. Di atas batu itu aku tercenung sembari menatap beberapa
bunga yang tampak layu karena kekeringan. Meski demikian adanya namun aku masih
bisa merasakan aroma wangi yang ia tebarkan bersama embusan lembut semilir
angin yang datang menerpaku.
Kerinduan menghampiriku
bersama semilir angin, lalu berucap lirih dalam notasi merdunya, “Bila
pertemuan cinta telah berada di hadapmu, apa yang akan kamu lakukan?”
“Akan aku sampaikan salam
cinta dan rinduku, lalu biarkan jiwaku merengkuh erat tiap helai nafas yang
diembuskan Kekasihku,” sahutku.
Lalu kudengar dari dalam
jiwaku bisikan lirih:
Jika cinta telah memilih dan
ketika cinta telah menjatuhkan pilihannya, apa yang bisa kita lakukan selain
menerima-Nya dengan ketulusikhlasan serta menjalaninya dengan sukacita, meski
tak jarang waktu menguji dengan nestapa yang menjadikan jiwa berlinang air
mata? Jika sekutum bunga kutaruh dalam genggaman tanganmu mungkin ia akan iri
melihat dan merasakan getar hati yang berbunga-bunga karena cinta yang
sedemikian agung ini.
Di antara semak bunga yang
mulai meranggas tergerus musim kemarau panjang, aku melihat ada sekuntum bunga
yang masih tampak segar bugar walau yang lainnya terlihat layu; bahkan ada
beberapa yang sudah patah namun masih menggantung pada tangkainya. Dan ada pula
di antaranya yang sudah tumbang di atas tanah tandus dan kering.
Tangan-tangan sunyi
menghinggap di atas kegalauan hati dan mencengkeram ritme detak jantung hingga
resah hati semakin tak terperi. Udara panas yang dibawa embus angin memanggil
dahaga yang bersembunyi dalam keliman kerongkongan.
“Bagaimana caranya kamu bisa
bertahan di musim yang ganas ini?” ucapku pada kelopak bunga itu sembari
menciumnya. “Bukankah pada musim semacam ini tidak banyak yang mampu bertahan?
Jika tak layu, pastilah akan tumbang dan mati kekeringan? Lalu, apa yang
membuatmu bisa bertahan hingga sekarang; bahkan kamu sama sekali tak merasa
terusik dengan datangnya musim kali ini,” lanjutku tanpa melepaskan ciumanku di
kelopaknya.
Kudengar bunga itu berkata
padaku, tampak ia bergoyang-goyang diterpa laju angin, “Kekuatan cintalah yang
membuatku bisa seperti ini dan membuatku bisa bertahan di segala musim.”
Aku tertegun bercampur kagum
atas apa yang kusaksikan serta dengar kala itu.
“Apa yang sebenarnya terjadi
padamu? Sudah beberapa hari ini aku melihatmu tampak gelisah dan berwajah
murung?” tanya bunga itu.
“Apakah kamu memperhatikanku
selama ini?” tanyaku dengan perasaan terkejut.
Ia pun menjawab, “Ya. Aku
memperhatikanmu semenjak kamu datang dan duduk di atas batu itu.”
Mendengar hal itu wajahku
serasa meranum oleh karena menahan rasa malu tak terkira.
“Jika kamu ingin menceritakan
masalahmu, dengan senang hati aku akan menjadi pendengar yang baik untukmu.”
Tanpa rasa canggung aku pun
mengisahkan tentang apa yang sudah terjadi padaku. Tak hanya berkisah tentang
kehidupan pribadiku, tapi aku juga mengisahkan romantika cinta yang kini sedang
melanda diriku.
“Jika kamu ingin mengenali
ragam bunga, hal pertama yang harus kamu lakukan adalah kamu harus tahu lebih
dulu aroma harum yang ditimbulkan, setelah itu barulah rupa warnanya. Mustahil
kamu mengatakan bahwa aroma mawar adalah aroma yang sejatinya adalah aroma
milik bunga melati,” kata bunga itu dengan ungkapan yang belum bisa kumengerti
dan pahami.
“Bisakah kamu jelaskan padaku
perihal itu?” pintaku dengan mimik heran.
“Sekarang pungut bunga itu!”
pintanya sembari mengarahkan tangkainya pada sekerumun bunga melati.
Aku memetiknya walau dengan
penuh gumpalan tanda tanya di pikiranku.
“Ciumlah satu per satu kelopak
di antara kami secara bergantian! Lalu rasakan dan resapi aroma yang ada di antara
kami!”
Aku pun mengikuti apa yang ia
perintahkan padaku. “Apa yang kamu rasakan dan dapatkan dari kami? Adakah di antara
kami ada kesamaan atau perbedaan?” ujarnya.
“Secara fisik tentu di antara
kami beda, tapi adakah kesamaan atau perbedaan yang kamu temukan dari kami?”
“Aroma di antara kalian itulah
yang aku temukan,” jawabku tanpa memberi penjelasan lebih rinci.
“Kami memang dibedakan pada
aroma serta bentuk fisik, namun ada hal lain yang perlu kamu tahu dari
keberadaan kami.”
“Itulah yang aku tangkap dari
kisahmu tadi. Dan apa yang aku katakan tadi adalah gambaran dari masalah yang
sedang kamu hadapi saat ini.”
Aku mengerutkan jidatku. Aku
semakin dibuat tak mengerti dan kebingungan.
“Memang tak mudah menentukan
satu pilihan di antara dua hati yang benar-benar saling cinta mencintai. Jika
kita memutuskan untuk memilih salah satu di antara keduanya pastilah akan ada
yang terluka dan tersakiti,” terangnya.
“Mungkin kamu sudah mengerti
dengan kiasan yang aku berikan di awal tadi. Kedua orang yang mencintaimu
secara kodratnya adalah sama, tapi di antara mereka pasti memiliki perbedaan
serta kesamaan yang mungkin bisa kamu jadikan pertimbangan untuk mengambil
sebuah keputusan.”
“Dalam hal cinta mencintai
memang tidak melihat sisi persamaan atau perbedaan, sebab cinta lepas dan tak
melihat dari masalah semacam itu. Tapi kamu harus benar-benar jeli ketika
memutuskan sebuah pilihan untuk menjadikan seseorang sebagai pasangan hidupmu.
Tentunya kamu pasti tak ingin menyesal di kemudian hari atas kekeliruan
keputusanmu yang tak tepat itu.”
Aku merasakan kini diriku tengah
berdiri di tepi sebuah ngarai yang begitu curam. Dilema cinta yang kini
menghimpitku semakin sesakkan rongga dada. Jujur aku harus akui bahwa diriku
yang bersalah karena membiarkan rasa itu bermain dalam roman cinta yang sudah
kusemai di taman hatinya.
Kini aku harus dihadapkan pada
pilihan antara dua hati yang kini sama-sama mencintaiku. Aku harus dihadapkan
pada sebuah pilihan yang begitu sulit dan terasa pelik. Buah simalakama telah
ada di genggamanku. Tentunya aku harus menelan rasa pahit tak terkira bila
harus memakan buah itu. Namun alangkah sayang rasanya bila aku harus
membuangnya, sebab aku mendapatkan buah itu harus dengan cara melintasi
hamparan samudera dan memetiknya dari gunung yang bagitu terjal.
“Keberadaan kami adalah salah
satu di antara simbol keindahan serta mediasi untuk menyampaikan suatu isyarat
atas apa yang dirasakan hati pada pihak lain. Tak hanya luap kegembiraan, suka
cita, duka lara, atau sebagai hiasan semata. Dan kami adalah simbol kelembutan
serta kecantikan.”
Matahari beredar tepat di atas
kepala. Teriknya terasa begitu menyengat hingga terasa membakar kulitku.
Kulihat fatamurgana meliuk-liuk di hamparan sahara. Badai kecil berpusar-pusar
terbangkan dedaunan kering lalu menghempaskannya di atas pasir berkerikil.
“Apa yang perlu kujelaskan
terhadap mereka yang sama-sama sedang dilanda cinta? Tentunya sebuah penjelasan
tentang suatu perihal yang sama tidak membutuhkan adanya penjelasan, melainkan
adanya satu kesatuan rasa walau dengan pengamatan berbeda,” kilahnya.
“Apakah mereka yang sedang
mabuk kepayang akan mampu menjawab dengan jawaban sebenarnya perihal apa yang
dipertanyakan padanya dari mereka yang sama-sama mabuk pula?”
“Lalu, apa hubungannya
pertanyaanku dengan kita?”
“Bukankah saat ini kita
sama-sama sedang jatuh cinta? Bukankah dalam jiwa kita sama-sama sedang
dihinggapi cinta? Jadi, apakah mereka yang sama-sama sedang jatuh cinta akan
mampu mengungkapkan apa yang sedang dirasakan? Hanya mereka yang sedang jatuh
cinta itulah yang bisa merasakan apa yang sedang dirasakan, bukan yang lain.
Walau hal itu juga sulit untuk dijelaskan dengan pengungkapan sederhana.”
Ucapku hanya tercegat di
kerongkongan.
Tiba-tiba seraut wajah yang
beberapa pekan ini menghiasi hariku hadir penuhi benakku. “Benarkah bahwa aku
saat ini telah jatuh cinta padanya?” gumamku. “Sungguh aku tak mengerti dengan
segala apa yang sedang kurasa kini.”
“Mendekatlah padaku!”
pintanya.
“Mengapa engkau ragu padaku?
Bukankah saat ini kita adalah sama, dalam suasana jiwa yang sama. Bukankah aku
adalah isyarat hatimu untuk kekasihmu?” lanjutnya, menegaskan.
Mendengar itu wajahku berubah
berbinar-binar bercampur malu. “Sekarang sunting aku, pungutlah aku, dan
berikan aku pada kekasihmu. Dan aku akan menjadi isyarat bagi cinta kalian
berdua,” terangnya.
Dengan separuh keberanian, aku
pun segera bergegas menuju tanah lapang; dimana biasanya kami saling jumpa.
Setiba di tanah lapang; dimana
dulu kami saling bertemu, kulihat kekasihku sedang duduk termenung menatap
matahari yang ingin kembali ke peraduan.
Kudengar keheningan menawarkan
secangkir senyuman lalu memintaku untuk bersulang dengan kekasihku. “Kita sudah
berjalan begitu jauh hingga tanpa sadar bahwa kita sudah melewati banyak rintangan
yang menghadang. Dan kita seolah mengabaikan rasa letih dan lelah yang mendera
di antara tetes keringat yang mengalir pada tubuh kita.” ucapku sembari memegang
setangkai mawar dan mengangkatnya ke udara. Mawar di genggamanku terayun-ayun
oleh embusan angin senja.
Dengan nada lemah kekasihku
menyahut, “Dan kita tak tahu apakah kita akan menemukan kebun anggur yang kita
impikan, atau justru kita akan mendapati tanah gersang setelah melewati jalan
terjal bahkan sangat berliku untuk kita tempuh dengan kedua kaki telanjang
kita.”
“Perjalanan cinta kita ini
begitu banyak menguras sumber mata air yang mengalir dari jiwa kita. Kita harus
menyirami gandum dan pepadian sebagai bekal dalam perjalanan kita menuju kebun
anggur yang kita impikan.”
“Kita tak tahu mengapa harus
memilih kebun anggur daripada buah lainnya sebagai tujuan dari perjalanan cinta
kita ini. Sedangkan negeri cinta begitu subur dan kaya dengan beragam tanaman.
Kita hanya bersepakat dalam satu filosofi bahwa buah anggur bisa membuat kita
mabuk kepayang dalam cinta. Kadang ia terasa manis di antara rasa asam yang kita
kenyam. Dan kadang ia terasa pahit jika kita terlalu berlebihan meminumnya,
bahkan kita bisa mabuk karenanya. Bukankah rasa manis yang dikecap secara
berlebihan akan menjadi pahit rasanya?” terang kekasihku.
Warna merah saga menyisakan
gurat-gurat awan di ujung barat. Ia seakan melukiskan apa yang sedang kami
rasakan ketika itu. Burung-burung yang berterbangan seraya kembali ke sarang.
Dan kelelawar justru sebaliknya, ia mulai berkeliaran mencari buah-buahan masak
untuk dijadikan makan malam. Dan kami menyaksikan diorama itu dalam suasana
hati yang teduh.
“Aku melihatmu sebagai sosok
dewi yang tegar dan tangguh. Aku melihatmu sebagai perempuan yang penuh
kelembutan. Aku sama sekali tak pernah ingin memikirkan apakah kamu benar-benar
mengerti tentang diriku, mengerti tentang semua yang aku pikirkan dan juga apa
yang aku rasakan. Aku hanya memikirkan tentang bagaimana caranya aku bisa
mencintaimu secara baik meski kusadari bahwa cintaku belum sempurna. Aku juga
tak perduli apakah tubuhku masih mampu bertahan lebih dari waktu mencintaimu
dan juga memikirkanmu, sebab yang ada dalam pikiranku hanya ingin mencintaimu.
Aku juga tak ingin diperlakukan secara baik atau diperlakukan seperti
orang-orang terhormat, aku hanya ingin mencintaimu. Aku memang tak seperti keinginan-keinginanmu,
karena aku sadar bahwa aku masih belum bisa lepas dari ego kasarku. Tapi aku
lebih memikirkan bagaimana harusnya mencintaimu dan memperlakukan dirimu secara
baik dan mulia. Aku memang tak memaksakan diri dalam hal cinta mencintai, sebab
aku sadar cinta sama sekali tumbuh bukan atas paksaan. Cukuplah kini aku
mencintaimu, sebab cintaku akan semakin kuat melebihi apa yang kamu tahu
tentang diriku.”
“Sungguh beruntungnya aku bisa
mencintaimu dan dicintai olehmu. Maafkan aku bila selama ini tak sempurna memahamimu,”
ucap kekasihku sembari menyandarkan kepalanya di bahuku. Aku merasakan ada
tetes air mata jatuh berlinang di pundakku.
“Usap airmatamu! Jangan
bersedih sebab cinta menunggu kita dengan wajah tersenyum. Kita harus datang
padanya dengan wajah berseri-seri dan penuh senyum bahagia. Sebab Cinta
menginginkan kita bahagia.”
“Jika kelak kita ditakdirkan
bersatu dalam ikatan pernikahan, apakah kita mampu menghadapi semua pergolakan
ini?” tanya kekasihku dengan nada bimbang. Kulihat pada pelupuk matanya sebuah
harapan.
“Apa yang kita pikirkan
sebelum kita menikah akan jauh berbeda dengan kenyataan yang harus kita hadapi
setelah kita menikah,” jawabku. “Tak hanya dituntut untuk bisa hidup mandiri,
tapi terkadang kita harus menghadapi banyak hal tak terduga. Bahkan kita harus
mendapat perlakuan tak menyenangkan dari kedua belah pihak keluarga kita
masing-masing. Mungkin kita akan mendapat kesan diremehkan dan banyak hal
lainnya yang akan mengusik kekuatan cinta yang telah kita ikat dengan ikrar
suci pernikahan. Maka dari itu kita harus yakin pada kekuatan cinta kita, sebab
jika kita terlalu banyak mendengar omongan orang, tak hanya kita yang hancur,
kehidupan rumah tangga kita juga akan turut berantakan,” terangku sembari
mencium keningnya dan menyematkan kuntum mawar di telinganya..
“Apakah dengan menikah lantas
urusan percintaan antara kita, tentang semua pertanyaan, mimpi dan harapan kita
pada cinta sudah selesai?” tanyaku. “Tidak! Sama sekali urusan kita belum
selesai. Bisa jadi pernikahan adalah awal dari perjalanan cinta antara kita.
Jika kamu berpikir bahwa setelah menikah semuanya selesai, maka kamu adalah
salah satu di antara pecundang yang mengatasnamakan cinta dan agama. Kamu
sepenuh-penuhnya belum mengerti arti cinta dan pernikahan.”
“Cinta dan pernikahan bukan
sekedar ikrar atau janji yang diaklamasikan secara resmi di hadapan khalayak.
Cinta dan pernikahan juga bukan sekedar ritus sakral yang hanya cukup dijaga
atau dipertahankan. Tapi cinta dan pernikahan adalah menyatukan seluruh jiwa,
raga, keseluruhan rasa lahir dan batin, serta pikiran untuk merajut
benang-benang kehidupan sebagai perisai dari segala bentuk kejahatan orang lain
atau dari diri sendiri. Cinta dan pernikahan tak sekedar menghalalkan apa yang
haram, jika hanya menghalalkan apa yang haram maka cinta dan pernikahan
bukanlah ritus yang disakralkan, tapi lebih pada bermain-main atas nama cinta
dan agama dalam urusan cinta serta percintaan syahwati semata.”
Mendengar penuturanku, ia
hanya termangu dan menatapku dalam sorot mata kekaguman. “Inilah yang membuatku
semakin yakin terhadapmu atas cinta yang kamu berikan padaku. Aku tak sekedar
menemukan cinta, tapi aku menemukan apa yang tak pernah aku temukan dari
pencarianku selama ini dalam menjalani hidup dan cinta.”
“Sekarang mari kita persiapkan
diri dengan perisai-perisai sebagai tameng yang akan kita pergunakan untuk
melindungi jiwa dan raga kita dari amuk badai. Selain itu mungkin kita bisa
pergunakan untuk mencegah kejahatan yang tidak kita ketahui dari segala arah.”
Ia tersenyum padaku dan
semakin mengeratkan genggaman tangannya padaku.
Senja mulai meredup dan kami
menutup perjumpaan kami dengan setitik cium di keningnya. Aku melihat langkah
kakinya begitu berat. Meski ia tersenyum sebelum berlalu dari hadapanku, namun
ada setitik rasa sedih yang akan merasuki jiwa-jiwa kami yang dirundung sepi.
Kami adalah burung-burung yang
melintasi ruang, waktu, dan juga musim. Kami hidup dalam cungkup bumi yang
sedemikian luas. Kami adalah kehidupan yang hidup dalam hati para pemimpi. Kami
terbang dari harapan-harapan. Kami dibesarkan dari imaji-imaji. Dan kami
dilahirkan dari perkawinan semesta. Itulah diri kami.[]
Yogyakarta,
25 Desember 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar