Congklak
SEMUA
ini bermula dari permintaan istriku yang tak masuk akal suatu malam. Ia
membangunkanku pada suatu dini hari, dan seolah-olah sesuatu yang buruk baru
saja terjadi, ia menggoyang-goyangkan tubuhku memaksaku membuka mata dan
meresponnya. “Ada apa?” tanyaku, separuh malas. Alih-alih langsung menjawabnya,
ia memintaku untuk benar-benar membuka mata dan bangkit terduduk. Sedikit
kesal, aku melakukan apa yang dimintanya itu.
Apa yang dikatakannya kemudian sungguh membuatku
ingin menjatuhkan tubuh dan kembali menutup mata saat itu juga. Ia bilang, ia
ingin congklak. Ia ingin memiliki permainan itu dan memainkannya lagi dan
karenanya ia memintaku untuk mencarikan permainan itu dan membelikannya
untuknya. “Buat apa?” tanyaku. “Buat apa aku main congklak di usia segini?”
sahutnya. Aku mengangguk. Ia mengangkat bahu dan berkata bahwa ia sendiri tak
tahu. Keinginan itu muncul menyerangnya begitu saja. Begitulah katanya. Ia
bahkan mengaku baru saja memimpikan dirinya memainkan lagi permainan itu dan
tiba-tiba ia terbangun, dan keinginan untuk memiliki dan memainkan lagi
permainan itu begitu kuat dirasakannya. “Pokoknya carikan dan belikan aku
congklak,” ujarnya, setengah memelas setengah memaksa. Aku membuang napas
sambil menatapnya. Aku tahu saat itu ia bersungguh-sungguh. Nada yang setengah
memelas setengah memaksa biasa ia gunakan ketika ia benar-benar menginginkan
sesuatu dan sesuatu itu harus aku penuhi. Jika tidak, ia akan mendiamkanku
untuk waktu yang lama. Maka dini hari itu aku mengangguk dan ia tersenyum. “Kamu
benar-benar akan mencarikannya untukku, kan?” ujarnya, antusias. Aku
mengangguk. “Nanti akan kucari. Sekarang kita tidur lagi,” kataku. Saat itu aku
harus berusaha keras untuk benar-benar bisa terlelap lagi dan terbangun sekitar
dua jam kemudian. Di dalam tidurku, aku mengalami sesuatu yang aneh.
Di dalam tidurku itu aku terbangun dan menemukan
istriku masih terlelap di sampingku. Tak ada yang aneh darinya. Tapi
lambat-laun, ketika kuamati terus-menerus, sosok istriku itu berubah. Sedikit
demi sedikit berubah. Ia seperti menyusut. Tubuhnya, tangannya, kakinya,
kepalanya, sedikit demi sedikit mengecil. Mengecil dan terus mengecil. Ia telah
menjadi seukuran anak-anak ketika aku menyadari bahwa bukan hanya sosoknya itu
mengecil, ia pun telah kembali menjadi dirinya berbelas-belas tahun silam. Ia
kembali, menjadi sosoknya yang masih kanak-kanak. Aku bisa memastikan itu sebab
dulu kami adalah teman sepermainan. Kami berasal dari satu kampung di pelosok
Cianjur dan bertetangga dan sering menghabiskan waktu bersama ketika kecil.
Aku terbangun—benar-benar terbangun—ketika alarm di
jam weker berbunyi dan itu sudah jam lima. Istriku tak ada di sampingku, dan
kudengar suara-suara dari dapur dan ruang televisi. Pastilah ia sudah terbangun
beberapa belas menit yang lalu, pikirku. Setelah menyeka keringat, dan
mengumpulkan kesadaran yang seakan-akan tercerai-berai karena mimpi aneh itu,
aku bangkit menuju dapur, dan mendapati istriku tengah memanaskan air untuk
keperluan mandiku. “Nanti sore jangan lupa carikan aku congklak ya,” ujar
istriku, dan aku seperti tiba-tiba diseret ke beberapa jam sebelumnya. “Ya,
nanti akan kucari,” jawabku, setengah putus asa, mendapati ada sesuatu konyol
yang harus kulakukan hari itu.
CONGKLAK adalah sebuah permainan yang sering kami
mainkan bersama sewaktu kecil. Ia adalah alat, dan juga permainan itu sendiri.
Ia terdiri dari dua komponen: sebuah papan dengan “lubang-lubang” di sekujur
tubuhnya, dan sejumlah kuwuk berwarna
hitam yang biasanya terbuat dari plastik. Permainan itu sendiri adalah tentang
perencanaan dan perhitungan. Si pemain akan mengambil sejumlah kuwuk dari sebuah “lubang” dalam setiap
gilirannya. Satu per satu kuwuk yang
diambilnya itu ia jatuhkan ke “lubang-lubang” yang dilaluinya, dan langkahnya
terhenti saat kuwuk terakhir ia
jatuhkan. Tujuan utama dari permainan itu adalah mengumpulkan sebanyak mungkin kuwuk pada “lubang” besar yang berfungsi
layaknya gudang penyimpanan si pemain yang ukurannya lebih besar (dari
“lubang-lubang” lain) dan terletak di ujung-ujung papan.
Kami memainkan permainan itu berbelas-belas tahun
lalu, ketika kami masih sama-sama kanak-kanak, ketika kami masih tinggal di
sebuah kampung di pedalaman Cianjur, dan setelahnya, setelah kami cukup besar
dan memiliki permainan-permainan lain yang lebih mengasyikkan, tak pernah lagi.
Aku bahkan sudah sangat lupa bahwa dulu aku memainkan permainan itu, bahwa dulu
permainan seperti itu ada dan kami memainkannya bersama. Tahun-tahun berlalu,
dan kami bukan lagi kanak-kanak. Aku dan ia menempuh studi di perguruan tinggi
yang berbeda, di kota yang berbeda. Dan ketika kami telah kembali dekat satu
sama lain, dan hidup bersama dalam satu rumah, ia menyinggung permainan itu. Ia
tiba-tiba, menyinggung permainan itu. Siang itu di kantor konsentrasiku cukup
terganggu sebab di benakku aku terus membayangkan permainan itu dan
bertanya-tanya di bagian mana dari kota ini aku bisa mendapatkannya. Aku harus
mendapatkannya. Harus, atau ia akan mendiamkanku. Beberapa kali itu pernah
terjadi dan itu sungguh sesuatu yang tak menyenangkan.
Malam harinya ketika aku tiba di rumah, istriku
langsung menyambutku dengan pertanyaan-pertanyaan seputar permainan itu. Aku
menatapnya, dan merasa bersalah. “Hari ini aku belum sempat cari. Tapi lusa
pasti aku cari,” kataku, beralasan. Lusa adalah hari Sabtu dan di hari itu aku
libur. Satu-satunya tempat yang terbayang di benakku adalah pasar. Tentu saja
aku tak tahu di kios atau ruko mana aku bisa mendapatkan permainan—yang bisa
jadi telah punah—itu dan karenanya akan dibutuhkan waktu seharian untuk bisa
menemukannya, dan hari libur adalah hari yang tepat untuk melakukannya. Istriku
cemberut. Ia memang tak mengatakan apa pun tapi dari raut muka dan langkah
kakinya, aku tahu betul ia kesal, padaku.
Pada hari
Sabtu itu aku benar-benar menyibukkan diri di pasar mencari-cari permainan itu.
Congklak. Sebuah papan dengan bentuk semi oval dengan “lubang-lubang” di
sekujur tubuhnya. Benda seperti itulah yang aku cari. Sudah sangat lama sejak
terakhir kali aku melihatnya dan sejujurnya aku sedikit ragu apakah mataku akan
cukup jeli untuk bisa menemukannya di antara ribuan barang lain yang ada di
pasar itu. Aku terus membayangkannya, sembari melewati kios demi kios, ruko
demi ruko. Pada satu titik aku merasa lelah dan memutuskan untuk mampir di
sebuah kedai bakso dan memesan satu porsi tanpa mie. Beberapa jam kemudian,
ketika hari telah sore, aku pulang. Istriku kembali cemberut dan memalingkan
muka setelah didapatinya suaminya ini gagal memenuhi tugas khusus yang
diberikannya.
BESOK harinya aku kembali ke pasar itu dan mencoba
mencari permainan itu di kios-kios yang sehari sebelumnya tak sempat kulalui.
Aku mencarinya, sejak hari masih dingin sampai panas begitu menyengat. Aku
mencarinya, sejak tubuhku masih segar hingga lengket oleh keringat. Dan
sia-sia. Aku tak juga menemukannya. Aku pun kembali meninggalkan pasar itu
dengan rasa lelah yang parah seperti sehari sebelumnya. Terbayang sudah raut
muka masam istriku, dan betapa sunyi dan dinginnya malam, yang akan kulalui
hari itu.
Di dalam
angkot aku memikirkan permintaan aneh istriku itu. Congklak? Mengapa tiba-tiba
ia ingin bermain congklak? Ketika kami kecil dulu memang ada satu masa ketika
kami nyaris setiap hari memainkan permainan itu. Kadang kami bermain di
rumahnya. Kadang di rumahku. Ia lebih sering menang tapi bisa jadi ingatanku
keliru. Warna congklakku sendiri saat itu seperti apa, apakah biru apakah merah
apakah hijau, aku tak ingat lagi. Benar-benar tak ingat lagi. Yang pasti papan
itu terbuat dari plastik dan ringan dan mudah dibawa ke mana saja. Aku mungkin
menyimpannya di atas lemari di kamarku. Ia mungkin menyimpannya di salah satu
laci meja belajarnya.
Apa yang
menarik dari permainan itu? Entahlah. Jika pertanyaan itu dilontarkan kepadaku
sekarang, aku sungguh bingung bagaimana menjawabnya. Dua orang berhadapan,
bergantian mengambil sejumlah kuwuk dan
menjatuhkannya satu per satu seraya bergerak searah jarum jam, menimbun
sebanyak mungkin kuwuk di gudang
penyimpanannya masing-masing. Rasa-rasanya lebih cenderung membosankan
ketimbang mengasyikkan. Setidaknya tak sebanding dengan keasyikan yang
kuperoleh dari bermain Pro Evolution
Soccer (PES). Istriku sendiri kupikir akan berpendapat sama. Ia tentu punya
banyak alternatif permainan lain yang lebih bisa membantunya membunuh waktu
ketimbang congklak. Lagipula, siapa yang akan menemaninya memainkan permainan
purba itu. Aku? Ah, pastilah begitu. Ketika permainan itu kelak ada di
tangannya, ia pastilah akan memaksaku menemaninya memainkannya. Aku dan
istriku, bermain congklak, sementara tubuh kami tak lagi kecil dan jari-jari
kami telah sepanjang setengah bolpoin. Rasanya menggelikan. Sungguh
menggelikan.
Tapi
sepertinya aku tak punya pilihan lain selain mencari dan mendapatkan permainan
purba itu. Seperti yang kuduga, setibanya di rumah, istriku kembali menyambutku
dengan pertanyaan-pertanyaan seputar permainan itu, dan kembali cemberut dan
meninggalkanku ketika didapatinya suaminya ini kembali gagal mendapatkannya.
Malam itu di tempat tidur ia bahkan memunggungiku, dan tak menyahut ketika aku
mengajaknya bicara. Ketika tanganku menyentuh lengannya, ia membuat
gerakan-gerakan yang menandakan bahwa aku tak boleh menyentuhnya sama sekali.
Sama sekali.
TIGA hari berlalu dan istriku masih saja seperti
itu. Ini gawat, pikirku. Jika aku tak segera mendapatkan permainan itu,
bisa-bisa aku tak lagi punya tempat untuk pulang dan beristirahat, sambungku.
Maka selama di kantor aku terus memikirkannya dan memikirkannya. Beberapa kali
aku ditegur atasanku sebab menurutnya kerjaku lambat, dan kerap kali membuat
kesalahan. Teman-temanku bilang mukaku kusut dan tak enak dilihat.
Di saat
istirahat makan siang, ketika tengah mengambil wudu di musala kantor, aku
teringat sesuatu. Sesuatu, yang seperti air segar di siang terik di mana aku
begitu haus. Aku ingat, dulu ketika masih mahasiswa, hampir di setiap Minggu
pagi aku berjalan-jalan di sekitar kampus. Ada semacam pasar di sana, yang
mendadak ada di hari Minggu. Pasar kaget. Begitulah kami menyebutnya. Di sana kita
bisa mendapatkan banyak hal mulai dari pakaian, perabotan, makanan, sampai
hewan peliharaan. Dan jika aku tidak salah ingat, di salah satu “kios” di dekat
halte, di samping BNI, aku pernah menemukan permainan itu. Congklak. Ya,
rasanya aku pernah menemukannya di sana. Sebuah papan berwarna biru gelap,
dengan “lubang-lubang” di sekujur tubuhnya. Ia terselimuti plastik bening dan
sejumlah kuwuk hitam terkumpul di
dalamnya.
Ketika
teringat hal itu aku jadi begitu kesal sebab saat menemukan permainan itu dulu
aku tak langsung membelinya. Tapi apa boleh buat. Dulu itu aku tentulah sama
sekali tak punya keinginan, bahkan alasan, untuk memilikinya. Justru sangatlah
aneh kalau dulu itu aku membelinya, sementara aku tak akan memainkannya, atau
memberikannya kepada siapa pun. Istriku tentu tak bisa menyalahkanku karena aku
tidak membeli permainan itu saat menemukannya dulu.
Malam harinya
ketika aku tiba di rumah, aku langsung menghampiri istriku dan memberitahunya
tentang pasar kaget dan penggalan ingatan di mana dulu aku menemukan congklak
itu di sana. “Benarkah?” tanyanya, tak percaya, dan itu sedikit melukaiku.
Mungkin dipikirnya aku hanya sedang berusaha menyenangkan hatinya dengan
membohonginya. Tapi tidak. Aku tidak berbohong. Aku benar-benar menemukan congklak
itu di sana, dulu. Dan jika aku berasumsi bahwa kondisi pasar kaget itu tak
banyak berubah, maka aku punya peluang bagus untuk menemukan benda itu di sana.
“Hari Minggu nanti, aku akan ke sana. Atau kamu mau ikut?” tanyaku. Ia
menatapku sejenak, lalu mengangguk. Entah kenapa aku begitu senang dan
tiba-tiba aku memeluknya dan ia tak bertingkah. Pada hari Minggu empat hari
kemudian itu pun, pagi-pagi sekali, aku mengajak istriku ke Dramaga.
Namun sayang
sekali pasar kaget itu rupanya tak lagi sama. Ia mengalami sedikit perubahan.
Memang di sepanjang Jalan Bara aku masih menemukan kios-kios yang menjual mulai
dari pakaian, makanan, sampai perabotan. Dan di dekat pertigaan, aku juga masih
bisa menemukan hewan-hewan peliharaan seperti hamster, kelomang, dan kucing
anggora. Tapi setelah itu, di depan BNI dan di dekat halte, tak ada lagi yang
berjualan. Beberapa petugas berseragam tampak berjaga-jaga di sana.
Tempat-tempat itu bersih dari kios atau semacamnya. Hanya ada kios penjual
koran tepat di halte dan itu sama sekali tak menarik bagiku, dan istriku.
Aku menatap
istriku dan meminta maaf kepadanya telah mengajaknya menempuh sebuah perjalanan
yang sia-sia. Di dekat halte itu dulu aku menemukan congklak itu, dan karena di
sana tak ada lagi yang berjualan, maka pupus sudah harapanku menemukan benda
itu di sana. Istriku seketika cemberut, dan ia kembali mendiamkanku. Sambil
terus meminta maaf, aku mengajaknya melihat-lihat kios lain di sepanjang Jalan
Bara. Di dalam hati aku berharap menemukan benda itu di sana. Bisa jadi si
penjual berpindah tempat ke sana karena di dekat halte ia tak dibolehkan lagi
berjualan. Itulah yang kupikirkan. Tapi memang tak terbukti. Di sana kami bisa
menemukan banyak hal mulai dari pakaian, makanan, sampai perabotan. Tapi tidak
benda itu. Tapi tidak permainan itu. Kulihat wajah istriku semakin masam. Untuk
sedikit menghiburnya aku mengajaknya menikmati surabi-telur yang dijual seorang
nenek di dekat pangkalan ojek. Setidaknya ia menyantapnya dengan lahap meski
masih saja ia bersiteguh mendiamkanku.
SELANJUTNYA hari demi hari berlalu dalam keadaan
yang memprihatinkan. Istriku tak pernah bicara lagi padaku. Tak pernah.
Kalaupun ia sedang ingin mengatakan sesuatu ia akan mengungkapkannya lewat
gerakan tangan atau mata, atau bahasa tubuh lainnya. Aku tak mengerti, mengapa
istriku sampai bertingkah sejauh itu. Memang aku masih belum juga bisa
mendapatkan congklak yang ia minta itu tapi semestinya ia tahu bahwa aku telah
berusaha mencarinya, bahwa aku telah mengorbankan hari-hari liburku untuk
mencari benda itu. Dan semestinya, jika ia mempertimbangkan hal itu, meskipun
kecewa, ia tak perlu sampai mendiamkanku seperti itu.
Sempat aku
mengira ia sedang datang bulan. Biasanya perempuan bertingkah aneh ketika
sedang datang bulan. Mereka jadi terlampau sensitif, dan teramat mementingkan
hal-hal sepele, hal-hal kecil. Istriku sendiri seperti itu dan aku
menyaksikannya di beberapa waktu. Ia akan mudah marah-marah jika kenyamanannya
diganggu sedikit saja, atau jika ada sesuatu yang menurutnya tak semestinya
terjadi atau dialaminya. Tapi sesensitif apa pun istriku saat ia datang bulan,
setak-masuk-akal apa pun ia saat datang bulan, tak pernah ia meminta sesuatu
yang aneh seperti congklak. Congklak. Bayangkan, kau dibangunkan ketika hari
masih teramat dini, dan istrimu mengatakan padamu bahwa ia ingin kau mencarikan
dan membelikannya sebuah congklak. Kurang aneh apa permintaan itu?
Tapi tentu
kepada istriku, aku tak mengungkapkannya. Aku tahu betul bahwa jika aku
mengungkapkannya, ia akan sakit hati. Ia mungkin akan berdalih bahwa aku tak
lagi menganggap penting permintaan-permintaannya dan itu artinya aku tak lagi
menyayanginya. Tentu saja itu sebuah tuduhan yang melodramatis dan mungkin
sudah selayaknya aku mengabaikannya. Tapi ia istriku, dan aku menyayanginya.
Aku akan memilih terus mencari permainan itu ketimbang mengatakan padanya bahwa
permintaannya itu tak masuk akal.
Seperti
kubilang tadi, aku sempat mengira istriku sedang datang bulan, dan karenanya
permintaan tak masuk akal itu ia lontarkan. Dan aku, dengan konyolnya, sempat
mencari-cari bukti yang menandakan bahwa ia memang sedang datang bulan. Kau
bisa menebaknya sendiri, seperti apa bukti-bukti yang kucari itu. Tentu aku tak
mungkin menyibak dasternya saat ia masih terlelap dan mengintip apa yang tampak
di balik itu. Tentu aku juga tak mungkin menanyakan padanya apakah ia sedang
datang bulan atau tidak (sebab aku tahu itu akan sangat membuatnya kesal). Maka
yang kulakukan, tak lain dan tak bukan, adalah sesekali mengecek tempat sampah
di dapur dan kamar mandi. Jika istriku sedang datang bulan, maka ada pembalut
yang habis dipakai yang dibuangnya ke sana. Begitulah yang kupikirkan. Dan
kuberitahu, itu sungguh sebuah perbuatan yang konyol, dan terasa lebih konyol
lagi ketika aku tak menemukan pembalut-pembalut itu. Itu menjadi bukti sahih
bahwa istriku tidak sedang datang bulan. Tentu saja ia tak mungkin membuang
pembalut-pembalut itu ke tempat sampah tetangga sebab istriku adalah seseorang
yang sangat waras.
Maka dengan
tidak sedang datang bulannya istriku, aku kembali memikirkan permintaannya akan
congklak itu dan merasa terganggu. Atau mungkin, cemas. Jika permintaan dan
tingkah anehnya itu timbul karena ia sedang datang bulan, maka kupikir aku
tinggal menunggu datang bulannya selesai dan ia akan melupakan permintaannya
itu dan kembali normal seperti sedia kala. Dengan kata lain, semua ini soal
waktu, dan kesabaran. Setidaknya begitulah yang kupikirkan. Namun jika
penyebabnya bukanlah datang bulan, maka tentu aku tak bisa menyerahkan nasibku
pada waktu dan kesabaran. Aku harus menemukan benda itu, permainan itu. Harus.
Tidak boleh tidak. Dan ini mau tak mau memberikan pengaruh negatif terhadap
kinerjaku di kantor, dan pernah dalam seminggu aku sampai dipanggil tiga kali
menghadap atasanku, dan merelakan telingaku dihujani kata-kata tak sedap yang
berloncatan dari lidahnya.
Istriku
tentulah tak tahu betapa permintaannya yang aneh itu telah membuatku tidak
nyaman di tempat kerja. Ia tak tahu, dan tak berusaha mencari tahu. Yang ia
tahu adalah aku tak juga berhasil mendapatkan congklak itu dan karenanya ia
merasa belum saatnya menghentikan hukumannya padaku. Aku kesal, sejujurnya.
Bagiku sendiri, jika mau berkata jujur, sebenarnya masihlah ada hal-hal lain
yang lebih penting dan krusial untuk dipikirkan dan diurusi selain congklak.
Ibuku misalnya; ia mengharapkan aku segera memberikannya cucu pertamanya. Atau
adikku misalnya; ia beberapa kali meneleponku dan menceritakan keluh-kesahnya
mendapati ibuku tak mengizinkan ia menikah sebelum jadi sarjana.
Sewaktu-waktu
aku benar-benar terdorong untuk menghampiri istriku dan mengatakan padanya
bahwa permintaannya itu belum bisa kupenuhi, bahwa aku memiliki hal lain yang
harus aku pikirkan, yang juga sebenarnya demi dirinya. Tapi lagi-lagi niat itu
tak kuwujudkan. Entah kenapa, setiap kali aku melihat istriku, terutama raut
mukanya yang setengah sedih setengah kesal itu, timbul rasa iba. Aku yang
semula kesal, jadi begitu saja mengabaikan rasa kesalku. Aku yang semula ingin
memintanya mencabut atau menunda permintaannya itu, jadi begitu saja luluh, dan
malah di dalam hati kembali berjanji untuk memenuhi permintaannya itu. Dan
begitulah hari demi hari aku habiskan waktu-waktuku dengan memikirkan di bagian
mana di kota ini, atau di kota-kota lain di sekitarnya, aku bisa menemukan
congklak, sebuah permainan masa kecil yang tiba-tiba diinginkan istriku. Aku
bahkan sampai mencarinya di google dan menanyai beberapa teman di dunia maya.
Sayang sekali, tak benar-benar ada solusi. Tak benar-benar ada informasi yang bisa
membantuku.
TIBA-TIBA suatu hari, sekitar dua minggu setelah aku
mengajak istriku ke pasar kaget di Dramaga itu, istriku menghilang. Ia tak ada
di rumah ketika aku mengetuk-ngetuk pintu depan selepas magrib. Pintu itu
terkunci, dan aku terpaksa menggunakan kunci cadangan yang (untungnya) kusimpan
di tas. Aku memanggil istriku, dan ia tak menyahut. Aku mencari-cari sosoknya
di ruang-ruang yang ada, tapi gagal menemukannya. Itu sungguh sebuah sambutan
yang jahanam dan dalam sekejap aku merasa kepalaku begitu berat sampai-sampai
aku merasa akan terhuyung-huyung dan terjatuh. Di atas televisi, aku akhirnya
menemukan semacam memo yang ia tinggalkan.
Isi memo itu
singkat saja: Aku pergi. Jangan
mencariku. Kuamati beberapa lama dan benarlah itu tulisan tangan istriku.
Ketika aku membalik memo itu, aku menemukan tulisan lain di baliknya: Cari aku ketika kamu telah mendapatkan
congklak yang kuminta. Lagi-lagi, itu tulisan tangan istriku. Kepalaku yang
terasa berat itu semakin terasa berat dan aku benar-benar merasa akan
terhuyung-huyung dan terjatuh.
Aku mencoba
menelepon istriku sekitar setengah jam kemudian. Sayangnya, tak tersambung. Aku
terkena mailbox dan itu bisa berarti
dua hal. Pertama, ia mematikan
ponselnya. Kedua, ia memblokir
nomorku. Yang mana pun yang benar tetap saja aku kesal, dan marah, dan sedih,
dan cemas. Memang itu bukan kali pertama aku mendapati istriku tak bisa
kuhubungi. Ketika masih berpacaran dulu, hal semacam itu sering terjadi, dan
semestinya aku terbiasa. Tapi aku sungguh cemas, dan gelisah. Kubayangkan ia
berada di suatu tempat, menungguku menghampirinya dengan sebuah congklak yang
ia minta. Istriku tentulah tak akan meninggalkan memo semacam itu jika ia sudah
benar-benar tak ingin lagi melihat wajahku.
Dan aku pun
kembali mencari congklak itu, dengan lebih bersungguh-sungguh. Pada saat itu
aku baru menyadari bahwa ternyata, sebelumnya, ketika istriku belum menghilang,
aku tak benar-benar mengerahkan seluruh kemampuanku untuk mendapatkan permainan
itu. Bukan berarti aku tak bersungguh-sungguh. Bukan. Yang kumaksud adalah,
saat itu, meskipun aku berusaha keras untuk mencarinya, sampai-sampai aku
mengorbankan hari-hari liburku, namun prioritasku ternyata bukanlah itu. Ketika
aku harus bekerja aku memilih untuk bekerja. Ketika aku merasa lelah aku
beristirahat. Ketika aku harus mendengarkan keluh-kesah adikku aku
melakukannya. Mencari permainan masa kecilnya itu, baru benar-benar kulakukan,
ketika hal-hal itu tak menggangguku lagi. Dan aku pun merasa bersalah, dan
berpikir, jangan-jangan, inilah alasan di balik pergi dan menghilangnya istriku
itu. Sampai berhari-hari kemudian aku masih saja selalu gagal menghubunginya. Mailbox, dan mailbox. Aku semakin kacau dan berkali-kali aku kembali ditegur dan
dimarahi atasanku.
Beberapa
teman di kantor yang tahu bahwa aku sedang mencari sebuah congklak menyarankan
padaku untuk mengambil cuti satu dua hari dan mencarinya di belahan kota lain.
Mungkin di pasar-pasar alternatif, atau pasar-pasar lain. Begitulah mereka
berkata. Tapi tentulah aku tak menanggapi serius saran mereka itu. Bagaimana
mungkin, aku mengambil cuti, dengan alasan mencari sebuah congklak, sebuah
permainan yang bisa jadi tak lagi banyak orang yang tahu itu seperti apa.
Alih-alih sebuah saran, aku justru lebih melihat apa yang dikatakan
teman-temanku itu sebagai sebuah ejekan, sebuah olok-olok. Telah berkali-kali
kupikirkan dan memanglah sesuatu yang konyol seseorang di pertengahan dua
puluhan sepertiku sibuk memikirkan dan mencari sebuah permainan yang nyaris
punah. Kadang aku mengutuk diriku sendiri, atas masalah yang harus kuselesaikan
itu.
SUATU Minggu pagi, merasa putus asa setelah kembali
gagal menghubungi istriku, aku pergi ke Dramaga. Kau boleh mengataiku tolol
tapi saat itu aku berharap akan menemukan benda keparat itu di sana; sebuah
permainan masa kecil yang telah membuat istriku pergi dan menghilang. Dan
harapanku itu seketika sirna, ketika aku mendapati di dekat halte di samping
BNI itu kembali bersih dari kios dan semacamnya. Tak ada seorang pun berjualan
di sana. Tak ada. Namun rupanya aku menemukannya, justru di saat aku berjalan
malas di sepanjang Jalan Bara. Entah bagaimana, mataku menangkap benda itu;
sebuah plastik berbentuk semi-oval dengan “lubang-lubang” di sekujur tubuhnya;
sebuah benda sepanjang kira-kira setengah meter berwarna biru gelap. Aku
langsung menghampir si penjual dan membelinya tanpa menawarnya. Di dalam
diriku, sesuatu seperti hidup, dan menyala. Semacam api. Api yang menciptakan
hangat di dalam diriku. Aku pun tak menghabiskan waktu lebih lama lagi di sana,
dan langsung menyetop angkot menuju rumah. Di kepalaku, terbayang sebuah adegan
di mana aku dan istriku bertemu, dan ia begitu sumringah mendapati di tanganku
ada benda yang dimintanya itu. Kuamati berkali-kali congklak yang kubeli itu.
Sungguh lucu, pikirku. Sebuah permainan dari masa kecil, sebuah permainan yang
mungkin nyaris punah, tiba-tiba hadir dan menjadi bagian penting dari
keharmonisan rumah tangga kami. Jika ini benar kehendak Tuhan, maka pastilah
Tuhan sedang bercanda.
Berkali-kali
hari itu aku mencoba menghubungi istriku dan selalu saja gagal, dan akhirnya
menyadari bahwa itu sebuah masalah. Maksudku, aku telah mendapatkan apa yang
dimintanya itu, namun tak tahu bagaimana membuatnya tahu hal itu. Sebelumnya
aku tak begitu memikirkannya dan ketika kupikirkan saat itu kealpaanku itu
sungguhlah aneh. Mungkin karena sebelumnya perhatianku terlampau tersedot oleh
mencari dan menemukan benda itu, permainan itu, dan karenanya luput memikirkan
tak bisa dihubunginya istriku. Aku kembali cemas. Dan rasa cemasku jauh lebih
besar daripada yang kurasakan sebelumnya. Di mana istriku selama beberapa
minggu ini? Mengapa ia masih saja mematikan ponselnya atau memblokir nomorku?
Itulah yang kugumamkan di kepala. Menjelang sore aku nekat menempuh perjalanan
lintas kota ke Cianjur. Aku menduga istriku sedang berada di rumah orangtuanya.
Namun apa
boleh buat, perjalananku itu sia-sia. Istriku tak ada di sana. Ibu dan ayah
mertuaku justru bingung dan panik mendengar kabar anaknya meninggalkan rumah
dan belum juga kembali. Jangan-jangan ia diculik. Jangan-jangan ia terkena
sesuatu yang buruk. Begitulah ibu mertuaku bergumam, sambil dengan kuat
mencengkeram lenganku. Yang benar saja? pikirku. Memang kemungkinan itu terjadi
ada sebab istriku bagaimanapun seorang perempuan di pertengahan dua puluhan dan
para lelaki bejat pastilah melihat ia sebagai sosok yang menarik, dan mungkin
menggiurkan. Tapi istriku bukan orang bodoh. Ia pastilah tahu ke mana ia harus
pergi dan bersembunyi, di mana ia harus tinggal sementara waktu, apa saja yang
boleh dan tak boleh dilakukannya ketika itu. Pokoknya ia orang yang tahu
bagaimana menjaga diri. Aku tahu betul hal itu. Sebagai contoh, jika ia tak ada
di rumah orangtuanya, maka mungkin ia berada di rumah salah satu teman baiknya.
Ya, bukankah itu masuk akal? Konon teman dekat bisa lebih berarti daripada
anggota keluarga. Kau bisa saja merahasiakan sesuatu dari anggota keluargamu,
namun kau memilih menceritakannya kepada salah satu teman dekatmu. Tidakkah
sebagian besar dari kita seperti itu? Maka malam itu pun, di sepanjang perjalan
kembali ke Bogor, aku mencoba untuk sedikit menenangkan diri, menganggap bahwa
kecemasanku tak beralasan, dan bahwa istriku baik-baik saja meski aku tak tahu
ia di mana. Yang penting adalah, aku telah mendapatkan apa yang ia minta tempo
hari itu. Sebuah congklak. Sebuah permainan dari masa kecilnya. Sebuah
permainan dari masa kecil kami. Sebuah permainan yang pada satu masa sempat
membuat kami begitu akrab sampai-sampai orang-orang mengira kami kakak-adik.
Sekarang, aku
tinggal menjaga congklak ini dan menunggu ia pulang, pikirku. Ketika ia pulang
nanti, aku akan dengan senang hati menemaninya memainkannya jika ia memintanya,
sambungku. Itu pastilah akan menjadi detik-detik yang menyenangkan, sambungku
lagi.
Setibanya di
rumah menjelang jam sebelas, aku langsung merebahkan diri di tempat tidur. Tak
sempat aku mencuci muka atau berganti pakaian sebab aku begitu lelah. Tak butuh
waktu lama, aku pun tertidur, dan bermimpi. Di dalam mimpiku itu aku berhadapan
dengan istriku. Kami memainkan congklak yang baru kubeli itu, dan merasa waktu
seketika kembali ke masa silam, ke sebuah masa di mana kehidupan pedesaan
begitu nyaman. Istriku di hadapanku, mengambil dan menurunkan kuwuk-kuwuk itu. Tangannya begitu
mungil. Tubuhnya begitu mungil. Wajahnya begitu mungil. Baru beberapa menit
kemudian aku menyadari bahwa aku, di dalam mimpiku itu, masihlah aku yang
dewasa. Sedangkan istriku di hadapanku, telah kembali menjadi dirinya
berbelas-belas tahun silam; dirinya yang kanak-kanak; dirinya yang lugu dan
polos; dirinya yang belum tahu apa-apa tentang dunia yang sebenarnya; dirinya
yang belum terjebak dalam sistem yang membuatnya menjadi seseorang yang mau tak
mau harus memikirkan materi untuk bertahan hidup.(*)
Bogor, November
2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar