Minggu, 19 Januari 2014

Cerpen: Ardy Kresna Crenata



Congklak


SEMUA ini bermula dari permintaan istriku yang tak masuk akal suatu malam. Ia membangunkanku pada suatu dini hari, dan seolah-olah sesuatu yang buruk baru saja terjadi, ia menggoyang-goyangkan tubuhku memaksaku membuka mata dan meresponnya. “Ada apa?” tanyaku, separuh malas. Alih-alih langsung menjawabnya, ia memintaku untuk benar-benar membuka mata dan bangkit terduduk. Sedikit kesal, aku melakukan apa yang dimintanya itu.
Apa yang dikatakannya kemudian sungguh membuatku ingin menjatuhkan tubuh dan kembali menutup mata saat itu juga. Ia bilang, ia ingin congklak. Ia ingin memiliki permainan itu dan memainkannya lagi dan karenanya ia memintaku untuk mencarikan permainan itu dan membelikannya untuknya. “Buat apa?” tanyaku. “Buat apa aku main congklak di usia segini?” sahutnya. Aku mengangguk. Ia mengangkat bahu dan berkata bahwa ia sendiri tak tahu. Keinginan itu muncul menyerangnya begitu saja. Begitulah katanya. Ia bahkan mengaku baru saja memimpikan dirinya memainkan lagi permainan itu dan tiba-tiba ia terbangun, dan keinginan untuk memiliki dan memainkan lagi permainan itu begitu kuat dirasakannya. “Pokoknya carikan dan belikan aku congklak,” ujarnya, setengah memelas setengah memaksa. Aku membuang napas sambil menatapnya. Aku tahu saat itu ia bersungguh-sungguh. Nada yang setengah memelas setengah memaksa biasa ia gunakan ketika ia benar-benar menginginkan sesuatu dan sesuatu itu harus aku penuhi. Jika tidak, ia akan mendiamkanku untuk waktu yang lama. Maka dini hari itu aku mengangguk dan ia tersenyum. “Kamu benar-benar akan mencarikannya untukku, kan?” ujarnya, antusias. Aku mengangguk. “Nanti akan kucari. Sekarang kita tidur lagi,” kataku. Saat itu aku harus berusaha keras untuk benar-benar bisa terlelap lagi dan terbangun sekitar dua jam kemudian. Di dalam tidurku, aku mengalami sesuatu yang aneh.
Di dalam tidurku itu aku terbangun dan menemukan istriku masih terlelap di sampingku. Tak ada yang aneh darinya. Tapi lambat-laun, ketika kuamati terus-menerus, sosok istriku itu berubah. Sedikit demi sedikit berubah. Ia seperti menyusut. Tubuhnya, tangannya, kakinya, kepalanya, sedikit demi sedikit mengecil. Mengecil dan terus mengecil. Ia telah menjadi seukuran anak-anak ketika aku menyadari bahwa bukan hanya sosoknya itu mengecil, ia pun telah kembali menjadi dirinya berbelas-belas tahun silam. Ia kembali, menjadi sosoknya yang masih kanak-kanak. Aku bisa memastikan itu sebab dulu kami adalah teman sepermainan. Kami berasal dari satu kampung di pelosok Cianjur dan bertetangga dan sering menghabiskan waktu bersama ketika kecil.
Aku terbangun—benar-benar terbangun—ketika alarm di jam weker berbunyi dan itu sudah jam lima. Istriku tak ada di sampingku, dan kudengar suara-suara dari dapur dan ruang televisi. Pastilah ia sudah terbangun beberapa belas menit yang lalu, pikirku. Setelah menyeka keringat, dan mengumpulkan kesadaran yang seakan-akan tercerai-berai karena mimpi aneh itu, aku bangkit menuju dapur, dan mendapati istriku tengah memanaskan air untuk keperluan mandiku. “Nanti sore jangan lupa carikan aku congklak ya,” ujar istriku, dan aku seperti tiba-tiba diseret ke beberapa jam sebelumnya. “Ya, nanti akan kucari,” jawabku, setengah putus asa, mendapati ada sesuatu konyol yang harus kulakukan hari itu.

CONGKLAK adalah sebuah permainan yang sering kami mainkan bersama sewaktu kecil. Ia adalah alat, dan juga permainan itu sendiri. Ia terdiri dari dua komponen: sebuah papan dengan “lubang-lubang” di sekujur tubuhnya, dan sejumlah kuwuk berwarna hitam yang biasanya terbuat dari plastik. Permainan itu sendiri adalah tentang perencanaan dan perhitungan. Si pemain akan mengambil sejumlah kuwuk dari sebuah “lubang” dalam setiap gilirannya. Satu per satu kuwuk yang diambilnya itu ia jatuhkan ke “lubang-lubang” yang dilaluinya, dan langkahnya terhenti saat kuwuk terakhir ia jatuhkan. Tujuan utama dari permainan itu adalah mengumpulkan sebanyak mungkin kuwuk pada “lubang” besar yang berfungsi layaknya gudang penyimpanan si pemain yang ukurannya lebih besar (dari “lubang-lubang” lain) dan terletak di ujung-ujung papan.
Kami memainkan permainan itu berbelas-belas tahun lalu, ketika kami masih sama-sama kanak-kanak, ketika kami masih tinggal di sebuah kampung di pedalaman Cianjur, dan setelahnya, setelah kami cukup besar dan memiliki permainan-permainan lain yang lebih mengasyikkan, tak pernah lagi. Aku bahkan sudah sangat lupa bahwa dulu aku memainkan permainan itu, bahwa dulu permainan seperti itu ada dan kami memainkannya bersama. Tahun-tahun berlalu, dan kami bukan lagi kanak-kanak. Aku dan ia menempuh studi di perguruan tinggi yang berbeda, di kota yang berbeda. Dan ketika kami telah kembali dekat satu sama lain, dan hidup bersama dalam satu rumah, ia menyinggung permainan itu. Ia tiba-tiba, menyinggung permainan itu. Siang itu di kantor konsentrasiku cukup terganggu sebab di benakku aku terus membayangkan permainan itu dan bertanya-tanya di bagian mana dari kota ini aku bisa mendapatkannya. Aku harus mendapatkannya. Harus, atau ia akan mendiamkanku. Beberapa kali itu pernah terjadi dan itu sungguh sesuatu yang tak menyenangkan.
Malam harinya ketika aku tiba di rumah, istriku langsung menyambutku dengan pertanyaan-pertanyaan seputar permainan itu. Aku menatapnya, dan merasa bersalah. “Hari ini aku belum sempat cari. Tapi lusa pasti aku cari,” kataku, beralasan. Lusa adalah hari Sabtu dan di hari itu aku libur. Satu-satunya tempat yang terbayang di benakku adalah pasar. Tentu saja aku tak tahu di kios atau ruko mana aku bisa mendapatkan permainan—yang bisa jadi telah punah—itu dan karenanya akan dibutuhkan waktu seharian untuk bisa menemukannya, dan hari libur adalah hari yang tepat untuk melakukannya. Istriku cemberut. Ia memang tak mengatakan apa pun tapi dari raut muka dan langkah kakinya, aku tahu betul ia kesal, padaku.
  Pada hari Sabtu itu aku benar-benar menyibukkan diri di pasar mencari-cari permainan itu. Congklak. Sebuah papan dengan bentuk semi oval dengan “lubang-lubang” di sekujur tubuhnya. Benda seperti itulah yang aku cari. Sudah sangat lama sejak terakhir kali aku melihatnya dan sejujurnya aku sedikit ragu apakah mataku akan cukup jeli untuk bisa menemukannya di antara ribuan barang lain yang ada di pasar itu. Aku terus membayangkannya, sembari melewati kios demi kios, ruko demi ruko. Pada satu titik aku merasa lelah dan memutuskan untuk mampir di sebuah kedai bakso dan memesan satu porsi tanpa mie. Beberapa jam kemudian, ketika hari telah sore, aku pulang. Istriku kembali cemberut dan memalingkan muka setelah didapatinya suaminya ini gagal memenuhi tugas khusus yang diberikannya.

BESOK harinya aku kembali ke pasar itu dan mencoba mencari permainan itu di kios-kios yang sehari sebelumnya tak sempat kulalui. Aku mencarinya, sejak hari masih dingin sampai panas begitu menyengat. Aku mencarinya, sejak tubuhku masih segar hingga lengket oleh keringat. Dan sia-sia. Aku tak juga menemukannya. Aku pun kembali meninggalkan pasar itu dengan rasa lelah yang parah seperti sehari sebelumnya. Terbayang sudah raut muka masam istriku, dan betapa sunyi dan dinginnya malam, yang akan kulalui hari itu.
  Di dalam angkot aku memikirkan permintaan aneh istriku itu. Congklak? Mengapa tiba-tiba ia ingin bermain congklak? Ketika kami kecil dulu memang ada satu masa ketika kami nyaris setiap hari memainkan permainan itu. Kadang kami bermain di rumahnya. Kadang di rumahku. Ia lebih sering menang tapi bisa jadi ingatanku keliru. Warna congklakku sendiri saat itu seperti apa, apakah biru apakah merah apakah hijau, aku tak ingat lagi. Benar-benar tak ingat lagi. Yang pasti papan itu terbuat dari plastik dan ringan dan mudah dibawa ke mana saja. Aku mungkin menyimpannya di atas lemari di kamarku. Ia mungkin menyimpannya di salah satu laci meja belajarnya.
  Apa yang menarik dari permainan itu? Entahlah. Jika pertanyaan itu dilontarkan kepadaku sekarang, aku sungguh bingung bagaimana menjawabnya. Dua orang berhadapan, bergantian mengambil sejumlah kuwuk dan menjatuhkannya satu per satu seraya bergerak searah jarum jam, menimbun sebanyak mungkin kuwuk di gudang penyimpanannya masing-masing. Rasa-rasanya lebih cenderung membosankan ketimbang mengasyikkan. Setidaknya tak sebanding dengan keasyikan yang kuperoleh dari bermain Pro Evolution Soccer (PES). Istriku sendiri kupikir akan berpendapat sama. Ia tentu punya banyak alternatif permainan lain yang lebih bisa membantunya membunuh waktu ketimbang congklak. Lagipula, siapa yang akan menemaninya memainkan permainan purba itu. Aku? Ah, pastilah begitu. Ketika permainan itu kelak ada di tangannya, ia pastilah akan memaksaku menemaninya memainkannya. Aku dan istriku, bermain congklak, sementara tubuh kami tak lagi kecil dan jari-jari kami telah sepanjang setengah bolpoin. Rasanya menggelikan. Sungguh menggelikan.
  Tapi sepertinya aku tak punya pilihan lain selain mencari dan mendapatkan permainan purba itu. Seperti yang kuduga, setibanya di rumah, istriku kembali menyambutku dengan pertanyaan-pertanyaan seputar permainan itu, dan kembali cemberut dan meninggalkanku ketika didapatinya suaminya ini kembali gagal mendapatkannya. Malam itu di tempat tidur ia bahkan memunggungiku, dan tak menyahut ketika aku mengajaknya bicara. Ketika tanganku menyentuh lengannya, ia membuat gerakan-gerakan yang menandakan bahwa aku tak boleh menyentuhnya sama sekali. Sama sekali.

TIGA hari berlalu dan istriku masih saja seperti itu. Ini gawat, pikirku. Jika aku tak segera mendapatkan permainan itu, bisa-bisa aku tak lagi punya tempat untuk pulang dan beristirahat, sambungku. Maka selama di kantor aku terus memikirkannya dan memikirkannya. Beberapa kali aku ditegur atasanku sebab menurutnya kerjaku lambat, dan kerap kali membuat kesalahan. Teman-temanku bilang mukaku kusut dan tak enak dilihat.
  Di saat istirahat makan siang, ketika tengah mengambil wudu di musala kantor, aku teringat sesuatu. Sesuatu, yang seperti air segar di siang terik di mana aku begitu haus. Aku ingat, dulu ketika masih mahasiswa, hampir di setiap Minggu pagi aku berjalan-jalan di sekitar kampus. Ada semacam pasar di sana, yang mendadak ada di hari Minggu. Pasar kaget. Begitulah kami menyebutnya. Di sana kita bisa mendapatkan banyak hal mulai dari pakaian, perabotan, makanan, sampai hewan peliharaan. Dan jika aku tidak salah ingat, di salah satu “kios” di dekat halte, di samping BNI, aku pernah menemukan permainan itu. Congklak. Ya, rasanya aku pernah menemukannya di sana. Sebuah papan berwarna biru gelap, dengan “lubang-lubang” di sekujur tubuhnya. Ia terselimuti plastik bening dan sejumlah kuwuk hitam terkumpul di dalamnya.
  Ketika teringat hal itu aku jadi begitu kesal sebab saat menemukan permainan itu dulu aku tak langsung membelinya. Tapi apa boleh buat. Dulu itu aku tentulah sama sekali tak punya keinginan, bahkan alasan, untuk memilikinya. Justru sangatlah aneh kalau dulu itu aku membelinya, sementara aku tak akan memainkannya, atau memberikannya kepada siapa pun. Istriku tentu tak bisa menyalahkanku karena aku tidak membeli permainan itu saat menemukannya dulu.
  Malam harinya ketika aku tiba di rumah, aku langsung menghampiri istriku dan memberitahunya tentang pasar kaget dan penggalan ingatan di mana dulu aku menemukan congklak itu di sana. “Benarkah?” tanyanya, tak percaya, dan itu sedikit melukaiku. Mungkin dipikirnya aku hanya sedang berusaha menyenangkan hatinya dengan membohonginya. Tapi tidak. Aku tidak berbohong. Aku benar-benar menemukan congklak itu di sana, dulu. Dan jika aku berasumsi bahwa kondisi pasar kaget itu tak banyak berubah, maka aku punya peluang bagus untuk menemukan benda itu di sana. “Hari Minggu nanti, aku akan ke sana. Atau kamu mau ikut?” tanyaku. Ia menatapku sejenak, lalu mengangguk. Entah kenapa aku begitu senang dan tiba-tiba aku memeluknya dan ia tak bertingkah. Pada hari Minggu empat hari kemudian itu pun, pagi-pagi sekali, aku mengajak istriku ke Dramaga.
  Namun sayang sekali pasar kaget itu rupanya tak lagi sama. Ia mengalami sedikit perubahan. Memang di sepanjang Jalan Bara aku masih menemukan kios-kios yang menjual mulai dari pakaian, makanan, sampai perabotan. Dan di dekat pertigaan, aku juga masih bisa menemukan hewan-hewan peliharaan seperti hamster, kelomang, dan kucing anggora. Tapi setelah itu, di depan BNI dan di dekat halte, tak ada lagi yang berjualan. Beberapa petugas berseragam tampak berjaga-jaga di sana. Tempat-tempat itu bersih dari kios atau semacamnya. Hanya ada kios penjual koran tepat di halte dan itu sama sekali tak menarik bagiku, dan istriku.
  Aku menatap istriku dan meminta maaf kepadanya telah mengajaknya menempuh sebuah perjalanan yang sia-sia. Di dekat halte itu dulu aku menemukan congklak itu, dan karena di sana tak ada lagi yang berjualan, maka pupus sudah harapanku menemukan benda itu di sana. Istriku seketika cemberut, dan ia kembali mendiamkanku. Sambil terus meminta maaf, aku mengajaknya melihat-lihat kios lain di sepanjang Jalan Bara. Di dalam hati aku berharap menemukan benda itu di sana. Bisa jadi si penjual berpindah tempat ke sana karena di dekat halte ia tak dibolehkan lagi berjualan. Itulah yang kupikirkan. Tapi memang tak terbukti. Di sana kami bisa menemukan banyak hal mulai dari pakaian, makanan, sampai perabotan. Tapi tidak benda itu. Tapi tidak permainan itu. Kulihat wajah istriku semakin masam. Untuk sedikit menghiburnya aku mengajaknya menikmati surabi-telur yang dijual seorang nenek di dekat pangkalan ojek. Setidaknya ia menyantapnya dengan lahap meski masih saja ia bersiteguh mendiamkanku.

SELANJUTNYA hari demi hari berlalu dalam keadaan yang memprihatinkan. Istriku tak pernah bicara lagi padaku. Tak pernah. Kalaupun ia sedang ingin mengatakan sesuatu ia akan mengungkapkannya lewat gerakan tangan atau mata, atau bahasa tubuh lainnya. Aku tak mengerti, mengapa istriku sampai bertingkah sejauh itu. Memang aku masih belum juga bisa mendapatkan congklak yang ia minta itu tapi semestinya ia tahu bahwa aku telah berusaha mencarinya, bahwa aku telah mengorbankan hari-hari liburku untuk mencari benda itu. Dan semestinya, jika ia mempertimbangkan hal itu, meskipun kecewa, ia tak perlu sampai mendiamkanku seperti itu.
  Sempat aku mengira ia sedang datang bulan. Biasanya perempuan bertingkah aneh ketika sedang datang bulan. Mereka jadi terlampau sensitif, dan teramat mementingkan hal-hal sepele, hal-hal kecil. Istriku sendiri seperti itu dan aku menyaksikannya di beberapa waktu. Ia akan mudah marah-marah jika kenyamanannya diganggu sedikit saja, atau jika ada sesuatu yang menurutnya tak semestinya terjadi atau dialaminya. Tapi sesensitif apa pun istriku saat ia datang bulan, setak-masuk-akal apa pun ia saat datang bulan, tak pernah ia meminta sesuatu yang aneh seperti congklak. Congklak. Bayangkan, kau dibangunkan ketika hari masih teramat dini, dan istrimu mengatakan padamu bahwa ia ingin kau mencarikan dan membelikannya sebuah congklak. Kurang aneh apa permintaan itu?
  Tapi tentu kepada istriku, aku tak mengungkapkannya. Aku tahu betul bahwa jika aku mengungkapkannya, ia akan sakit hati. Ia mungkin akan berdalih bahwa aku tak lagi menganggap penting permintaan-permintaannya dan itu artinya aku tak lagi menyayanginya. Tentu saja itu sebuah tuduhan yang melodramatis dan mungkin sudah selayaknya aku mengabaikannya. Tapi ia istriku, dan aku menyayanginya. Aku akan memilih terus mencari permainan itu ketimbang mengatakan padanya bahwa permintaannya itu tak masuk akal.
  Seperti kubilang tadi, aku sempat mengira istriku sedang datang bulan, dan karenanya permintaan tak masuk akal itu ia lontarkan. Dan aku, dengan konyolnya, sempat mencari-cari bukti yang menandakan bahwa ia memang sedang datang bulan. Kau bisa menebaknya sendiri, seperti apa bukti-bukti yang kucari itu. Tentu aku tak mungkin menyibak dasternya saat ia masih terlelap dan mengintip apa yang tampak di balik itu. Tentu aku juga tak mungkin menanyakan padanya apakah ia sedang datang bulan atau tidak (sebab aku tahu itu akan sangat membuatnya kesal). Maka yang kulakukan, tak lain dan tak bukan, adalah sesekali mengecek tempat sampah di dapur dan kamar mandi. Jika istriku sedang datang bulan, maka ada pembalut yang habis dipakai yang dibuangnya ke sana. Begitulah yang kupikirkan. Dan kuberitahu, itu sungguh sebuah perbuatan yang konyol, dan terasa lebih konyol lagi ketika aku tak menemukan pembalut-pembalut itu. Itu menjadi bukti sahih bahwa istriku tidak sedang datang bulan. Tentu saja ia tak mungkin membuang pembalut-pembalut itu ke tempat sampah tetangga sebab istriku adalah seseorang yang sangat waras.
  Maka dengan tidak sedang datang bulannya istriku, aku kembali memikirkan permintaannya akan congklak itu dan merasa terganggu. Atau mungkin, cemas. Jika permintaan dan tingkah anehnya itu timbul karena ia sedang datang bulan, maka kupikir aku tinggal menunggu datang bulannya selesai dan ia akan melupakan permintaannya itu dan kembali normal seperti sedia kala. Dengan kata lain, semua ini soal waktu, dan kesabaran. Setidaknya begitulah yang kupikirkan. Namun jika penyebabnya bukanlah datang bulan, maka tentu aku tak bisa menyerahkan nasibku pada waktu dan kesabaran. Aku harus menemukan benda itu, permainan itu. Harus. Tidak boleh tidak. Dan ini mau tak mau memberikan pengaruh negatif terhadap kinerjaku di kantor, dan pernah dalam seminggu aku sampai dipanggil tiga kali menghadap atasanku, dan merelakan telingaku dihujani kata-kata tak sedap yang berloncatan dari lidahnya.
  Istriku tentulah tak tahu betapa permintaannya yang aneh itu telah membuatku tidak nyaman di tempat kerja. Ia tak tahu, dan tak berusaha mencari tahu. Yang ia tahu adalah aku tak juga berhasil mendapatkan congklak itu dan karenanya ia merasa belum saatnya menghentikan hukumannya padaku. Aku kesal, sejujurnya. Bagiku sendiri, jika mau berkata jujur, sebenarnya masihlah ada hal-hal lain yang lebih penting dan krusial untuk dipikirkan dan diurusi selain congklak. Ibuku misalnya; ia mengharapkan aku segera memberikannya cucu pertamanya. Atau adikku misalnya; ia beberapa kali meneleponku dan menceritakan keluh-kesahnya mendapati ibuku tak mengizinkan ia menikah sebelum jadi sarjana.
  Sewaktu-waktu aku benar-benar terdorong untuk menghampiri istriku dan mengatakan padanya bahwa permintaannya itu belum bisa kupenuhi, bahwa aku memiliki hal lain yang harus aku pikirkan, yang juga sebenarnya demi dirinya. Tapi lagi-lagi niat itu tak kuwujudkan. Entah kenapa, setiap kali aku melihat istriku, terutama raut mukanya yang setengah sedih setengah kesal itu, timbul rasa iba. Aku yang semula kesal, jadi begitu saja mengabaikan rasa kesalku. Aku yang semula ingin memintanya mencabut atau menunda permintaannya itu, jadi begitu saja luluh, dan malah di dalam hati kembali berjanji untuk memenuhi permintaannya itu. Dan begitulah hari demi hari aku habiskan waktu-waktuku dengan memikirkan di bagian mana di kota ini, atau di kota-kota lain di sekitarnya, aku bisa menemukan congklak, sebuah permainan masa kecil yang tiba-tiba diinginkan istriku. Aku bahkan sampai mencarinya di google dan menanyai beberapa teman di dunia maya. Sayang sekali, tak benar-benar ada solusi. Tak benar-benar ada informasi yang bisa membantuku.

TIBA-TIBA suatu hari, sekitar dua minggu setelah aku mengajak istriku ke pasar kaget di Dramaga itu, istriku menghilang. Ia tak ada di rumah ketika aku mengetuk-ngetuk pintu depan selepas magrib. Pintu itu terkunci, dan aku terpaksa menggunakan kunci cadangan yang (untungnya) kusimpan di tas. Aku memanggil istriku, dan ia tak menyahut. Aku mencari-cari sosoknya di ruang-ruang yang ada, tapi gagal menemukannya. Itu sungguh sebuah sambutan yang jahanam dan dalam sekejap aku merasa kepalaku begitu berat sampai-sampai aku merasa akan terhuyung-huyung dan terjatuh. Di atas televisi, aku akhirnya menemukan semacam memo yang ia tinggalkan.
  Isi memo itu singkat saja: Aku pergi. Jangan mencariku. Kuamati beberapa lama dan benarlah itu tulisan tangan istriku. Ketika aku membalik memo itu, aku menemukan tulisan lain di baliknya: Cari aku ketika kamu telah mendapatkan congklak yang kuminta. Lagi-lagi, itu tulisan tangan istriku. Kepalaku yang terasa berat itu semakin terasa berat dan aku benar-benar merasa akan terhuyung-huyung dan terjatuh.
  Aku mencoba menelepon istriku sekitar setengah jam kemudian. Sayangnya, tak tersambung. Aku terkena mailbox dan itu bisa berarti dua hal. Pertama, ia mematikan ponselnya. Kedua, ia memblokir nomorku. Yang mana pun yang benar tetap saja aku kesal, dan marah, dan sedih, dan cemas. Memang itu bukan kali pertama aku mendapati istriku tak bisa kuhubungi. Ketika masih berpacaran dulu, hal semacam itu sering terjadi, dan semestinya aku terbiasa. Tapi aku sungguh cemas, dan gelisah. Kubayangkan ia berada di suatu tempat, menungguku menghampirinya dengan sebuah congklak yang ia minta. Istriku tentulah tak akan meninggalkan memo semacam itu jika ia sudah benar-benar tak ingin lagi melihat wajahku.
  Dan aku pun kembali mencari congklak itu, dengan lebih bersungguh-sungguh. Pada saat itu aku baru menyadari bahwa ternyata, sebelumnya, ketika istriku belum menghilang, aku tak benar-benar mengerahkan seluruh kemampuanku untuk mendapatkan permainan itu. Bukan berarti aku tak bersungguh-sungguh. Bukan. Yang kumaksud adalah, saat itu, meskipun aku berusaha keras untuk mencarinya, sampai-sampai aku mengorbankan hari-hari liburku, namun prioritasku ternyata bukanlah itu. Ketika aku harus bekerja aku memilih untuk bekerja. Ketika aku merasa lelah aku beristirahat. Ketika aku harus mendengarkan keluh-kesah adikku aku melakukannya. Mencari permainan masa kecilnya itu, baru benar-benar kulakukan, ketika hal-hal itu tak menggangguku lagi. Dan aku pun merasa bersalah, dan berpikir, jangan-jangan, inilah alasan di balik pergi dan menghilangnya istriku itu. Sampai berhari-hari kemudian aku masih saja selalu gagal menghubunginya. Mailbox, dan mailbox. Aku semakin kacau dan berkali-kali aku kembali ditegur dan dimarahi atasanku.
  Beberapa teman di kantor yang tahu bahwa aku sedang mencari sebuah congklak menyarankan padaku untuk mengambil cuti satu dua hari dan mencarinya di belahan kota lain. Mungkin di pasar-pasar alternatif, atau pasar-pasar lain. Begitulah mereka berkata. Tapi tentulah aku tak menanggapi serius saran mereka itu. Bagaimana mungkin, aku mengambil cuti, dengan alasan mencari sebuah congklak, sebuah permainan yang bisa jadi tak lagi banyak orang yang tahu itu seperti apa. Alih-alih sebuah saran, aku justru lebih melihat apa yang dikatakan teman-temanku itu sebagai sebuah ejekan, sebuah olok-olok. Telah berkali-kali kupikirkan dan memanglah sesuatu yang konyol seseorang di pertengahan dua puluhan sepertiku sibuk memikirkan dan mencari sebuah permainan yang nyaris punah. Kadang aku mengutuk diriku sendiri, atas masalah yang harus kuselesaikan itu.

SUATU Minggu pagi, merasa putus asa setelah kembali gagal menghubungi istriku, aku pergi ke Dramaga. Kau boleh mengataiku tolol tapi saat itu aku berharap akan menemukan benda keparat itu di sana; sebuah permainan masa kecil yang telah membuat istriku pergi dan menghilang. Dan harapanku itu seketika sirna, ketika aku mendapati di dekat halte di samping BNI itu kembali bersih dari kios dan semacamnya. Tak ada seorang pun berjualan di sana. Tak ada. Namun rupanya aku menemukannya, justru di saat aku berjalan malas di sepanjang Jalan Bara. Entah bagaimana, mataku menangkap benda itu; sebuah plastik berbentuk semi-oval dengan “lubang-lubang” di sekujur tubuhnya; sebuah benda sepanjang kira-kira setengah meter berwarna biru gelap. Aku langsung menghampir si penjual dan membelinya tanpa menawarnya. Di dalam diriku, sesuatu seperti hidup, dan menyala. Semacam api. Api yang menciptakan hangat di dalam diriku. Aku pun tak menghabiskan waktu lebih lama lagi di sana, dan langsung menyetop angkot menuju rumah. Di kepalaku, terbayang sebuah adegan di mana aku dan istriku bertemu, dan ia begitu sumringah mendapati di tanganku ada benda yang dimintanya itu. Kuamati berkali-kali congklak yang kubeli itu. Sungguh lucu, pikirku. Sebuah permainan dari masa kecil, sebuah permainan yang mungkin nyaris punah, tiba-tiba hadir dan menjadi bagian penting dari keharmonisan rumah tangga kami. Jika ini benar kehendak Tuhan, maka pastilah Tuhan sedang bercanda.
  Berkali-kali hari itu aku mencoba menghubungi istriku dan selalu saja gagal, dan akhirnya menyadari bahwa itu sebuah masalah. Maksudku, aku telah mendapatkan apa yang dimintanya itu, namun tak tahu bagaimana membuatnya tahu hal itu. Sebelumnya aku tak begitu memikirkannya dan ketika kupikirkan saat itu kealpaanku itu sungguhlah aneh. Mungkin karena sebelumnya perhatianku terlampau tersedot oleh mencari dan menemukan benda itu, permainan itu, dan karenanya luput memikirkan tak bisa dihubunginya istriku. Aku kembali cemas. Dan rasa cemasku jauh lebih besar daripada yang kurasakan sebelumnya. Di mana istriku selama beberapa minggu ini? Mengapa ia masih saja mematikan ponselnya atau memblokir nomorku? Itulah yang kugumamkan di kepala. Menjelang sore aku nekat menempuh perjalanan lintas kota ke Cianjur. Aku menduga istriku sedang berada di rumah orangtuanya.
  Namun apa boleh buat, perjalananku itu sia-sia. Istriku tak ada di sana. Ibu dan ayah mertuaku justru bingung dan panik mendengar kabar anaknya meninggalkan rumah dan belum juga kembali. Jangan-jangan ia diculik. Jangan-jangan ia terkena sesuatu yang buruk. Begitulah ibu mertuaku bergumam, sambil dengan kuat mencengkeram lenganku. Yang benar saja? pikirku. Memang kemungkinan itu terjadi ada sebab istriku bagaimanapun seorang perempuan di pertengahan dua puluhan dan para lelaki bejat pastilah melihat ia sebagai sosok yang menarik, dan mungkin menggiurkan. Tapi istriku bukan orang bodoh. Ia pastilah tahu ke mana ia harus pergi dan bersembunyi, di mana ia harus tinggal sementara waktu, apa saja yang boleh dan tak boleh dilakukannya ketika itu. Pokoknya ia orang yang tahu bagaimana menjaga diri. Aku tahu betul hal itu. Sebagai contoh, jika ia tak ada di rumah orangtuanya, maka mungkin ia berada di rumah salah satu teman baiknya. Ya, bukankah itu masuk akal? Konon teman dekat bisa lebih berarti daripada anggota keluarga. Kau bisa saja merahasiakan sesuatu dari anggota keluargamu, namun kau memilih menceritakannya kepada salah satu teman dekatmu. Tidakkah sebagian besar dari kita seperti itu? Maka malam itu pun, di sepanjang perjalan kembali ke Bogor, aku mencoba untuk sedikit menenangkan diri, menganggap bahwa kecemasanku tak beralasan, dan bahwa istriku baik-baik saja meski aku tak tahu ia di mana. Yang penting adalah, aku telah mendapatkan apa yang ia minta tempo hari itu. Sebuah congklak. Sebuah permainan dari masa kecilnya. Sebuah permainan dari masa kecil kami. Sebuah permainan yang pada satu masa sempat membuat kami begitu akrab sampai-sampai orang-orang mengira kami kakak-adik.
  Sekarang, aku tinggal menjaga congklak ini dan menunggu ia pulang, pikirku. Ketika ia pulang nanti, aku akan dengan senang hati menemaninya memainkannya jika ia memintanya, sambungku. Itu pastilah akan menjadi detik-detik yang menyenangkan, sambungku lagi.
  Setibanya di rumah menjelang jam sebelas, aku langsung merebahkan diri di tempat tidur. Tak sempat aku mencuci muka atau berganti pakaian sebab aku begitu lelah. Tak butuh waktu lama, aku pun tertidur, dan bermimpi. Di dalam mimpiku itu aku berhadapan dengan istriku. Kami memainkan congklak yang baru kubeli itu, dan merasa waktu seketika kembali ke masa silam, ke sebuah masa di mana kehidupan pedesaan begitu nyaman. Istriku di hadapanku, mengambil dan menurunkan kuwuk-kuwuk itu. Tangannya begitu mungil. Tubuhnya begitu mungil. Wajahnya begitu mungil. Baru beberapa menit kemudian aku menyadari bahwa aku, di dalam mimpiku itu, masihlah aku yang dewasa. Sedangkan istriku di hadapanku, telah kembali menjadi dirinya berbelas-belas tahun silam; dirinya yang kanak-kanak; dirinya yang lugu dan polos; dirinya yang belum tahu apa-apa tentang dunia yang sebenarnya; dirinya yang belum terjebak dalam sistem yang membuatnya menjadi seseorang yang mau tak mau harus memikirkan materi untuk bertahan hidup.(*)
 Bogor, November 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar